Pesatnya
perkembangan teknologi komunikasi beberapa tahun terakhir ini memberikan dampak
dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, dan budaya, dan sebagainya, baik
dampak positif maupun negatif. Handphone,
laptop, gadget yang dilengkapi
internet mampu mendukung kegiatan manusia di setiap bidang. Dalam bidang
ekonomi, kecanggihan teknologi memberikan dampak positif yang signifikan seperti jual beli online yang menjadi tren baru dalam
transaksi. Selain itu akses informasi yang berkaitan dengan perekonomian dalam
negeri dan luar negeri lebih mudah. Disisi lain, dampak negatif dialami oleh
perusahaan offline yang sudah lama berkecimpung karena harus bersaing dengan
sistem online yang memiliki banyak kelebihan seperti pemangkasan biaya
operasional, waktu transaksi lebih cepat, dan komunikasi langsung antara
penjual dan pembeli tanpa harus bertemu langsung sehingga jika terdapat saling
percaya maka terjadilah transaksi.
Dampak positif di
bidang sosial yang terpengaruh oleh kemajuan teknologi komunikasi antara lain
terbangunnya jaringan baru melalui komunikasi teknologi sehingga dapat
menunjang kegiatan manusia lainnya seperti dalam bisnis, pendidikan, akses
informasi, dan sebagainya. Akan tetapi kemajuan teknologi ini juga memberikan dampak
negatif yang mengkhawatirkan. Beberapa kasus yang sering terjadi dalam sosial
akibat kemajuan teknologi adalah munculnya berbagai konflik dengan orang-orang
terdekat karena kurang bijaksananya dalam penggunaan teknologi komunikasi seperti
anak-anak yang terabaikan, atau bahkan ikut menggunakan teknologi seperti gadget tanpa mengenal batas waktu.
Selain itu banyak konflik dengan pasangan juga akibat penggunaan teknologi.
Dalam bidang budaya,
kecanggihan teknologi mampu mengubah perilaku seseorang seperti menutup diri,
membuang waktu dengan lebih banyak beraktivitas sosial media dengan handphone, dan lebih parahnya adalah
dapat meninggalkan kebiasaan dalam membaca. Kecanggihan teknologi komunikasi
ini bahkan mampu membuat otak mengalami addict
(ketergantungan). Seperti dikupas dalam lifestyle.kompas.com, gejala
ketergantungan tersebut meliputi waktu bermain cukup lama (di atas 6 jam), terobsesi
(anak akan marah, sedih, atau frustrasi kalau tidak bermain dan saat orangtua
menolak meminjamkan gadget maka anak
bisa naik pitam), enggan bersosialisasi dan anak lebih sibuk dengan gadget-nya,
malas melakukan rutinitas seperti mandi dan makan, lalai mengerjakan tugas
sekolah sampai bolos sekolah, serta pola tidur terganggu.
Kecanggihan teknologi
komunikasi memang pesat dan mampu menunjang berbagai keperluan dalam berbagai
bidang, akan tetapi jika tidak bijak dalam penggunaannya maka akan fatal
akibatnya. Teknologi komunikasi semakin ‘menguasai’ manusia, masuk dalam
kehidupan dari sisi manapun. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi seperti ini
di luar kendali kita. Sudah banyak generasi yang menjadi korban penggunaan
teknologi komunikasi seperti tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik karena
terjebak dalam game online, sosial
media, chat yang tidak perlu dan sebagainya
sehingga akhirnya hal-hal yang pokok dan penting terbengkelai. Juga banyaknya
generasi yang termakan hoax yang
merupakan fitnah karena tidak pandai menyikapi suatu informasi.
Selain itu, komunikasi
dengan teknologi mampu menjangkau dari berbagai latar belakang budaya yang
berbeda, sehingga pemikiran dan sikap akan mudah terbawa dan terpengaruh.
Seperti yang dialami oleh sebagian besar orang tua seperti saya, yang mengalami
dan bertemu dengan banyak orang dengan berbagai pemikiran, agama, lingkungan
ekonomi dan sebagainya yang mempunyai potensi untuk masuk dalam kehidupan saya.
Jika dari masa kecil
hingga sebelum menikah saya hidup dalam lingkungan yang menerapkan agama Islam
dengan kuat, maka saat ini saya dihadapkan dengan banyak orang yang bahkan berbeda
agama. Hal ini juga akan mempengaruhi pemikiran saya mengenai pendidikan anak
mengenai agama yang saya anut jika saya tidak selalu dikuatkan oleh orang tua,
terutama ibu.
“Nduk, yang membuat
anak itu menjadi Islam, Kristen, Majusi, atau Yahudi itu kita, orang tua. Didik
anakmu mengenal Islam dari dini, kita bertanggung jawab penuh dan kelak
dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang kita bawa itu”, begitu kata Ibu
setiap kali kami pulang Klaten.
Saya sadar, pun dengan
ibu saya bahwa saya hidup di dunia yang kompleks, dengan kehidupan yang semakin
dinamis. Ini juga sebagai pengingat untuk saya sebagai orang tua yang menjadi
madrasah bagi anak-anak dan generasi saya untuk lebih menghadirkan diri dalam
mendidik mereka. Saya mengingat bahwa sebagian orang tua seperti saya di luaran
sana membebaskan anak dan tidak mengarahkan anak dalam menjalankan pendidikan
agama dengan alasan tidak ingin memaksa, membuat stres, atau melanggar hak
asasi manusia dan berharap akan menemukan kepercayaan kepada agamanya sendiri.
Saya merenung lagi,
benarkah seperti itu? Bagaimana sebuah hidayah dapat diperoleh tanpa adanya
usaha untuk mencari dan mengenal Rabb?
Akan dibawa dan menjadi seperti apa anak-anak kita adalah tanggung jawab orang
tua. Saya pun akan tetap mendisiplinkan anak untuk mempelajari agama Islam,
membentenginya dengan nilai-nilai keislaman sejak dini. Pun saya mendidik bukan
sekedar memaksa untuk menjalankan ritual semata, saya banyak belajar kenapa dan
bagaimana setiap ritual agama diperintahkan untuk dilaksanakan karena anak saya
akan selalu menanyakan kenapa, apa tujuannya setiap yang dilakukan. Bahkan hal
sepele kenapa minum harus duduk dan menggunakan tangan kanan. Hal ini justru
menjadikan saya sebagai ibu untuk belajar lebih sehingga mampu menjelaskan pada
anak. Itulah cara saya membantu anak menemukan keislaman dalam dirinya,
menguatkan dari dalam untuk bersama-sama menghadapi kompleksitas kehidupan yang
semakin dinamis saat ini.
Di luar sana, saya
mengenal banyak pasangan yang menikah berbeda agama. Ini fatal yang mungkin akibat
adanya kebebasan yang diberikan orang tua sebagai pemenuhan hak anak dalam
beragama, mengatasnamakan hak asasi manusia. Salah kaprah yang dianut oleh
sebagian orang tua akibat pemikiran bahwa anak berhak menentukan agama sesuai
keyakinan dan kepercayaannya, menemukan apa yang diyakininya. Pemikiran yang
terlalu bebas tanpa berpedoman pada ajaran Islam. Kapasitas orang tua adalah
mengarahkan anak berkehidupan, menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap sendi
kehidupan. Bukan memaksakan kehendak kepada anak, tapi seperti inilah tanggung
jawab orang tua dalam mendidik. Membiarkan mereka memilih selain Islam artinya
menjerumuskan dalam ketidakridhoan Alloh, menuai kemurkaan Alloh di kehidupan
dunia akhirat, meski terlihat bahwa itu membuat nyaman dan bahagia kehidupan
anak, namun sebatas di dunia.
Banyak fenomena saat
ini yang tidak bisa dihindari, menghadapi anak yang semakin kritis sehingga
orang tua seperti saya harus lebih kritis, peka, dan berilmu untuk membentengi
anak dalam menghadapi dunia yang penuh fitnah. Orang tua harus selalu hadir
dalam kehidupan anak, berkomunikasi dengan baik mengenai apa saja aktivitas
saat tidak bersama orang tua. Anak diajak untuk berdiskusi mengenai apa saja
yang ditemuinya sehingga benar dan salah, boleh dan tidak, anak akan tahu. Hal
ini penting mengingat anak yang tidak mendapat perhatian akan mencari perhatian
di luar kita, dan ini sangat rawan disusupi pemikiran-pemikiran liberal yang
mengikis nilai-nilai moral dan agama.
Kasus yang terakhir saya
amati yaitu mengenai anak yang tidak mendapat perhatian orang tua, juga tidak
tercukupi secara ekonomi. Anak ini merupakan anak yang sedang menempuh
pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Kehidupan ekonomi yang termasuk di bawah
garis kemiskinan, ditambah dengan orang tua yang single parent namun juga tidak memberikan pengetahuan agama membuat
anak ini lebiih nyaman berada di lingkungan luar rumah. Anak yang seharusnya
berkesempatan belajar agama dan sosial dengan baik justru mendapatkan
sebaliknya. Ia enggan pulang, bergaul dengan bebas, dan pada akhirnya hamil di
luar nikah sehingga harus putus sekolah dan menjalani kehidupan yang belum
waktunya. Ini merupakan pembelajaran bagaimana suatu nilai keislaman perlu
diterapkan sejak dini bagi anak. Kita harus banyak belajar dan mengambil hikmah
dari setiap kejadian sehingga hal buruk tidak terjadi.
Mendidik satu anak laki-laki bagi saya bukan hal mudah
karena memiliki karakter yang berbeda dengan anak lainnya. Saya tidak mau
menuntut anak untuk memiliki kemampuan seperti anak lain yang terlihat perfect dalam akademis. Saya memfokuskan
pada nilai-nilai Islam, sehingga jika saya tidak ada kelak maka saya tidak
perlu khawatir bagaimana dia menjalani kehidupan. Seringkali bahwa anak saya terlihat
tidak mandiri, minta ditemani kemanapun, bahkan kelas 2 SD saat ini. Di sisi
lain saya punya alasan bahwa ini adalah kesempatan saya untuk mengawasi dan
mendiskusikan berbagai hal saat kami bersama. Saya juga tidak mau ia lepas dari
pengamatan saya yang menyebabkan ia tumbuh tanpa pengarahan. Saya dapat cepat
mengoreksi apa yang menurut saya menyimpang dari nilai agama dan moral setiap
harinya. Ini sebenarnya menyenangkan meskipun sangat melelahkan karena di sisi
lain saya berharap ia menjadi anak yang melakukan aktivitas tanpa ditemani. Saya
berusaha menanamkan positive thingking
bahwa ini adalah cara Alloh untuk menjaga anak saya dari berbagai hal yang
berpotensi merusaknya.