Jumat, 11 Mei 2018

MENYELAMATKAN GENERASI

Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi beberapa tahun terakhir ini memberikan dampak dalam berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, dan budaya, dan sebagainya, baik dampak positif maupun negatif. Handphone, laptop, gadget yang dilengkapi internet mampu mendukung kegiatan manusia di setiap bidang. Dalam bidang ekonomi, kecanggihan teknologi memberikan dampak positif yang signifikan seperti jual beli online yang menjadi tren baru dalam transaksi. Selain itu akses informasi yang berkaitan dengan perekonomian dalam negeri dan luar negeri lebih mudah. Disisi lain, dampak negatif dialami oleh perusahaan offline yang sudah lama berkecimpung karena harus bersaing dengan sistem online yang memiliki banyak kelebihan seperti pemangkasan biaya operasional, waktu transaksi lebih cepat, dan komunikasi langsung antara penjual dan pembeli tanpa harus bertemu langsung sehingga jika terdapat saling percaya maka terjadilah transaksi.

Dampak positif di bidang sosial yang terpengaruh oleh kemajuan teknologi komunikasi antara lain terbangunnya jaringan baru melalui komunikasi teknologi sehingga dapat menunjang kegiatan manusia lainnya seperti dalam bisnis, pendidikan, akses informasi, dan sebagainya. Akan tetapi kemajuan teknologi ini juga memberikan dampak negatif yang mengkhawatirkan. Beberapa kasus yang sering terjadi dalam sosial akibat kemajuan teknologi adalah munculnya berbagai konflik dengan orang-orang terdekat karena kurang bijaksananya dalam penggunaan teknologi komunikasi seperti anak-anak yang terabaikan, atau bahkan ikut menggunakan teknologi seperti gadget tanpa mengenal batas waktu. Selain itu banyak konflik dengan pasangan juga akibat penggunaan teknologi.

Dalam bidang budaya, kecanggihan teknologi mampu mengubah perilaku seseorang seperti menutup diri, membuang waktu dengan lebih banyak beraktivitas sosial media dengan handphone, dan lebih parahnya adalah dapat meninggalkan kebiasaan dalam membaca. Kecanggihan teknologi komunikasi ini bahkan mampu membuat otak mengalami addict (ketergantungan). Seperti dikupas dalam lifestyle.kompas.com, gejala ketergantungan tersebut meliputi waktu bermain cukup lama (di atas 6 jam), terobsesi (anak akan marah, sedih, atau frustrasi kalau tidak bermain dan saat orangtua menolak meminjamkan gadget maka anak bisa naik pitam), enggan bersosialisasi dan anak lebih sibuk dengan gadget-nya, malas melakukan rutinitas seperti mandi dan makan, lalai mengerjakan tugas sekolah sampai bolos sekolah, serta pola tidur terganggu.

Kecanggihan teknologi komunikasi memang pesat dan mampu menunjang berbagai keperluan dalam berbagai bidang, akan tetapi jika tidak bijak dalam penggunaannya maka akan fatal akibatnya. Teknologi komunikasi semakin ‘menguasai’ manusia, masuk dalam kehidupan dari sisi manapun. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi seperti ini di luar kendali kita. Sudah banyak generasi yang menjadi korban penggunaan teknologi komunikasi seperti tidak dapat memanfaatkan waktu dengan baik karena terjebak dalam game online, sosial media, chat yang tidak perlu dan sebagainya sehingga akhirnya hal-hal yang pokok dan penting terbengkelai. Juga banyaknya generasi yang termakan hoax yang merupakan fitnah karena tidak pandai menyikapi suatu informasi.

Selain itu, komunikasi dengan teknologi mampu menjangkau dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, sehingga pemikiran dan sikap akan mudah terbawa dan terpengaruh. Seperti yang dialami oleh sebagian besar orang tua seperti saya, yang mengalami dan bertemu dengan banyak orang dengan berbagai pemikiran, agama, lingkungan ekonomi dan sebagainya yang mempunyai potensi untuk masuk dalam kehidupan saya.

Jika dari masa kecil hingga sebelum menikah saya hidup dalam lingkungan yang menerapkan agama Islam dengan kuat, maka saat ini saya dihadapkan dengan banyak orang yang bahkan berbeda agama. Hal ini juga akan mempengaruhi pemikiran saya mengenai pendidikan anak mengenai agama yang saya anut jika saya tidak selalu dikuatkan oleh orang tua, terutama ibu.

Nduk, yang membuat anak itu menjadi Islam, Kristen, Majusi, atau Yahudi itu kita, orang tua. Didik anakmu mengenal Islam dari dini, kita bertanggung jawab penuh dan kelak dimintai pertanggungjawaban atas amanah yang kita bawa itu”, begitu kata Ibu setiap kali kami pulang Klaten.

Saya sadar, pun dengan ibu saya bahwa saya hidup di dunia yang kompleks, dengan kehidupan yang semakin dinamis. Ini juga sebagai pengingat untuk saya sebagai orang tua yang menjadi madrasah bagi anak-anak dan generasi saya untuk lebih menghadirkan diri dalam mendidik mereka. Saya mengingat bahwa sebagian orang tua seperti saya di luaran sana membebaskan anak dan tidak mengarahkan anak dalam menjalankan pendidikan agama dengan alasan tidak ingin memaksa, membuat stres, atau melanggar hak asasi manusia dan berharap akan menemukan kepercayaan kepada agamanya sendiri.

Saya merenung lagi, benarkah seperti itu? Bagaimana sebuah hidayah dapat diperoleh tanpa adanya usaha untuk mencari dan  mengenal Rabb? Akan dibawa dan menjadi seperti apa anak-anak kita adalah tanggung jawab orang tua. Saya pun akan tetap mendisiplinkan anak untuk mempelajari agama Islam, membentenginya dengan nilai-nilai keislaman sejak dini. Pun saya mendidik bukan sekedar memaksa untuk menjalankan ritual semata, saya banyak belajar kenapa dan bagaimana setiap ritual agama diperintahkan untuk dilaksanakan karena anak saya akan selalu menanyakan kenapa, apa tujuannya setiap yang dilakukan. Bahkan hal sepele kenapa minum harus duduk dan menggunakan tangan kanan. Hal ini justru menjadikan saya sebagai ibu untuk belajar lebih sehingga mampu menjelaskan pada anak. Itulah cara saya membantu anak menemukan keislaman dalam dirinya, menguatkan dari dalam untuk bersama-sama menghadapi kompleksitas kehidupan yang semakin dinamis saat ini.

Di luar sana, saya mengenal banyak pasangan yang menikah berbeda agama. Ini fatal yang mungkin akibat adanya kebebasan yang diberikan orang tua sebagai pemenuhan hak anak dalam beragama, mengatasnamakan hak asasi manusia. Salah kaprah yang dianut oleh sebagian orang tua akibat pemikiran bahwa anak berhak menentukan agama sesuai keyakinan dan kepercayaannya, menemukan apa yang diyakininya. Pemikiran yang terlalu bebas tanpa berpedoman pada ajaran Islam. Kapasitas orang tua adalah mengarahkan anak berkehidupan, menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap sendi kehidupan. Bukan memaksakan kehendak kepada anak, tapi seperti inilah tanggung jawab orang tua dalam mendidik. Membiarkan mereka memilih selain Islam artinya menjerumuskan dalam ketidakridhoan Alloh, menuai kemurkaan Alloh di kehidupan dunia akhirat, meski terlihat bahwa itu membuat nyaman dan bahagia kehidupan anak, namun sebatas di dunia.

Banyak fenomena saat ini yang tidak bisa dihindari, menghadapi anak yang semakin kritis sehingga orang tua seperti saya harus lebih kritis, peka, dan berilmu untuk membentengi anak dalam menghadapi dunia yang penuh fitnah. Orang tua harus selalu hadir dalam kehidupan anak, berkomunikasi dengan baik mengenai apa saja aktivitas saat tidak bersama orang tua. Anak diajak untuk berdiskusi mengenai apa saja yang ditemuinya sehingga benar dan salah, boleh dan tidak, anak akan tahu. Hal ini penting mengingat anak yang tidak mendapat perhatian akan mencari perhatian di luar kita, dan ini sangat rawan disusupi pemikiran-pemikiran liberal yang mengikis nilai-nilai moral dan agama.

Kasus yang terakhir saya amati yaitu mengenai anak yang tidak mendapat perhatian orang tua, juga tidak tercukupi secara ekonomi. Anak ini merupakan anak yang sedang menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama. Kehidupan ekonomi yang termasuk di bawah garis kemiskinan, ditambah dengan orang tua yang single parent namun juga tidak memberikan pengetahuan agama membuat anak ini lebiih nyaman berada di lingkungan luar rumah. Anak yang seharusnya berkesempatan belajar agama dan sosial dengan baik justru mendapatkan sebaliknya. Ia enggan pulang, bergaul dengan bebas, dan pada akhirnya hamil di luar nikah sehingga harus putus sekolah dan menjalani kehidupan yang belum waktunya. Ini merupakan pembelajaran bagaimana suatu nilai keislaman perlu diterapkan sejak dini bagi anak. Kita harus banyak belajar dan mengambil hikmah dari setiap kejadian sehingga hal buruk tidak terjadi.

Mendidik satu anak laki-laki bagi saya bukan hal mudah karena memiliki karakter yang berbeda dengan anak lainnya. Saya tidak mau menuntut anak untuk memiliki kemampuan seperti anak lain yang terlihat perfect dalam akademis. Saya memfokuskan pada nilai-nilai Islam, sehingga jika saya tidak ada kelak maka saya tidak perlu khawatir bagaimana dia menjalani kehidupan. Seringkali bahwa anak saya terlihat tidak mandiri, minta ditemani kemanapun, bahkan kelas 2 SD saat ini. Di sisi lain saya punya alasan bahwa ini adalah kesempatan saya untuk mengawasi dan mendiskusikan berbagai hal saat kami bersama. Saya juga tidak mau ia lepas dari pengamatan saya yang menyebabkan ia tumbuh tanpa pengarahan. Saya dapat cepat mengoreksi apa yang menurut saya menyimpang dari nilai agama dan moral setiap harinya. Ini sebenarnya menyenangkan meskipun sangat melelahkan karena di sisi lain saya berharap ia menjadi anak yang melakukan aktivitas tanpa ditemani. Saya berusaha menanamkan positive thingking bahwa ini adalah cara Alloh untuk menjaga anak saya dari berbagai hal yang berpotensi merusaknya.

Jumat, 04 Mei 2018

JIKA KAU BERTEMU SESEORANG

Jika kau bertemu seseorang, jangan melihat kekurangannya
Jika kau bertemu seseorang, ambil baiknya
Jika kau bertemu seseorang, hindari sekedar mengagumi fisiknya
Jika kau bertemu seseorang, pastikan kau mengenalinya sebelum menilainya

Karena yang kau lihat dengan mata tak seperti adanya
Karena Dia menitipkan kelebihan diantara kekurangan
Karena dari buruknya, pasti ada sisi baiknya
Karena fisik pada dasarnya suatu fana
Dan karena suatu penilaian tidak selalu statis

Jika kau bertemu seseorang, ambil ilmu dan hikmah hidupnya
Jika kau bertemu seseorang, ambil nilai-nilai kehidupan yang dimilikinya
Jika kau bertemu seseorang, ambil waktu berharganya untuk berbagi kebaikan
Jika kau bertemu seseorang, ambil kebaikan dari cara pandangnya


Reminder: Nasehat untuk diri sendiri