Novel
ini ditulis oleh Jazuli Imam (Mas Juju, yang merupakan pemilik kedai Djelajah
di Yogyakarta) yang juga diterbitkan sendiri oleh penerbit miliknya dengan nama
Penerbit Indie Djeladjah Pustaka dengan jumlah halaman sebanyak 300 lembar.
Mengisahkan tentang sepasang, El dan Sekar, pendaki dan petualang, dan
teman-temannya seperti Mas Dewo, Blankon, Kencing, Pejoh, dan teman-teman
pendaki lainnya yang masih memegang idealisme dan anti kapitalisme.
Novel ini mengangkat
kisah mereka (sebagian saya mengenal mereka), tentang penulis sendiri dan para sahabat
di Djelajah Yogyakarta (tepatnya di Jalan Kaliurang, samping Perumahan Banteng
3) yang dengan idealisme dan anti kapitalis bergerak dalam dunia literasi,
terutama El dan Sekar. Sekar dan El yang memiliki hubungan pribadi selama
beberapa tahun, dalam perjalanan kisahnya, Sekar ditinggalkan oleh El dan hanya
menyisakan sebuah surat panjang tanpa meninggalkan clue kemana perginya, pesan tentang kemerdekaan, “Dan sebagaimana
sumpah kita sebagai yang merdeka, Nona. Aku, kamu, menolak tunduk pada apa-apa
selain Allah”. Tidak hanya Sekar yang kehilangan, bahkan para sahabatnya pun
merasakan kehilangan. Kehilangan yang sangat, yang cukup membuat Sekar
kehilangan dirinya bertahun-tahun, mengobrol dengan dirinya sendiri dengan
bayangan El dalam benaknya. Pada akhirnya, titik balik dimulai, Sekar
memutuskan untuk “pulang”, menjadi dirinya sendiri seperti saat sebelum bersama
El, menjadi dirinya sendiri setelah sebelumnya “hilang” ditelan rasa
kehilangan. Djelajah, menjadi titik balik Sekar mengawali perjalanan
“pulangnya”.
Saya mengambil sudut
pandang bukan tentang hubungan pribadi El dan Sekar (meski disini menjadi tokoh
utama), tapi kegiatan El, Sekar, dan lingkup teman-temannya yang berjuang dalam
menggerakkan buku sebagai salah satu gerakan positif yang mereka perjuangkan.
Mengutip motto di
Djelajah, “Kejahatan dan kesia-siaan ada sebab manusia tidak sibuk dengan kopi,
buku, dan cinta”. Kopi, buku, dan cinta, ketiganya adalah simbol. Kopi sebagai
simbol guyub, lingkaran, musyawarah, atau interaksi-interaksi yangg baik
lainnya. Banyak sekali kejahatan dan perbuatan yang sia-sia yang bermula dari
salah paham, kurang ngobrol, kurang ngopi bareng. Sebuah masalah kalau
dibicarakan lewat layar kaca, telepon, mimbar, atau sekat lainnya berbeda jika
dibicarakan sambil minum kopi bersama.
Buku, pun sebuah
simbol. Orang bijak pernah berkata tentang ini, bahwa semakin banyak yang
seseorang baca maka semakin merasa tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, seseorang
menjadi lebih bijak dan mampu untuk menahan dan memproklamirkan
kebenaran-kebenaran yang diyakini, sebab punya kerendahan hati untuk merasa
tidak tahu apa-apa. Maka tidak jarang jika orang yang kolot atau berpikir
sempit dan dangkal terhadap suatu hal, sering dalam bahasa gaul dikatakan
pulangnya kurang malam, mainnya kurang jauh, bacaannya kurang banyak.
Cinta, konsep di
Djelajah adalah cinta universal. Termasuk dominan disana adalah kecintaan alam
dan kemanusiaan. Cinta adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan di dunia ini.
Sekar, pendaki
perempuan yang cukup keras kepala, dengan idealisme kuat, menentang
kapitalisme. Ia menjadi tokoh perempuan yang tangguh. Pun dengan Mas Dewo,
pemilik Djelajah yang sama-sama peduli dengan kemiskinan rakyat. Sebagai
penulis dan penggerak literasi cukup menyayangkan royalti bagi penulis yang
hanya berapa persen, sementara keuntungan paling besar adalah toko, yang
dianggap mereka sebagai monster, mencaplok toko-toko kecil sehingga tidak mampu
berkembang. Inilah yang mendasari penerbit indie, tanpa melibatkan toko dan
pemasaran secara online.
Gerakan literasi dalam novel ini banyak dilakukan di
jalur pendakian, misalnya mendirikan rumah baca di jalur pendakian Merbabu (lereng
Merbabu, tepatnya di dusun Krakas), yang juga didirikan oleh Sekar, El, Mas
Dewo, dan lainnya. Idealisme juga terlihat dari gambaran eksploitasi
penambangan pasir Merapi, baik yang legal maupun ilegal dimana dampak dan
rasanya sama saja bagi masyarakat secara dominan, mudharat, dan kekesalan.
Hingga saat ini, gerakan literasi ini tetap berjalan di berbagai tempat,
dilanjutkan oleh masyarakat itu sendiri setelah mendapatkan edukasi dari Mas
Dewo dan teman-temannya. Bahkan di Djelajah sendiri penulis benar-benar
menyediakan beberapa rak buku yang bisa dibaca sambil ngopi atau menu lainnya.