Senin, 30 April 2018

REVIEW NOVEL “JALAN PULANG”

Novel ini ditulis oleh Jazuli Imam (Mas Juju, yang merupakan pemilik kedai Djelajah di Yogyakarta) yang juga diterbitkan sendiri oleh penerbit miliknya dengan nama Penerbit Indie Djeladjah Pustaka dengan jumlah halaman sebanyak 300 lembar. Mengisahkan tentang sepasang, El dan Sekar, pendaki dan petualang, dan teman-temannya seperti Mas Dewo, Blankon, Kencing, Pejoh, dan teman-teman pendaki lainnya yang masih memegang idealisme dan anti kapitalisme.



Novel ini mengangkat kisah mereka (sebagian saya mengenal mereka), tentang penulis sendiri dan para sahabat di Djelajah Yogyakarta (tepatnya di Jalan Kaliurang, samping Perumahan Banteng 3) yang dengan idealisme dan anti kapitalis bergerak dalam dunia literasi, terutama El dan Sekar. Sekar dan El yang memiliki hubungan pribadi selama beberapa tahun, dalam perjalanan kisahnya, Sekar ditinggalkan oleh El dan hanya menyisakan sebuah surat panjang tanpa meninggalkan clue kemana perginya, pesan tentang kemerdekaan, “Dan sebagaimana sumpah kita sebagai yang merdeka, Nona. Aku, kamu, menolak tunduk pada apa-apa selain Allah”. Tidak hanya Sekar yang kehilangan, bahkan para sahabatnya pun merasakan kehilangan. Kehilangan yang sangat, yang cukup membuat Sekar kehilangan dirinya bertahun-tahun, mengobrol dengan dirinya sendiri dengan bayangan El dalam benaknya. Pada akhirnya, titik balik dimulai, Sekar memutuskan untuk “pulang”, menjadi dirinya sendiri seperti saat sebelum bersama El, menjadi dirinya sendiri setelah sebelumnya “hilang” ditelan rasa kehilangan. Djelajah, menjadi titik balik Sekar mengawali perjalanan “pulangnya”.

Saya mengambil sudut pandang bukan tentang hubungan pribadi El dan Sekar (meski disini menjadi tokoh utama), tapi kegiatan El, Sekar, dan lingkup teman-temannya yang berjuang dalam menggerakkan buku sebagai salah satu gerakan positif yang mereka perjuangkan.

Mengutip motto di Djelajah, “Kejahatan dan kesia-siaan ada sebab manusia tidak sibuk dengan kopi, buku, dan cinta”. Kopi, buku, dan cinta, ketiganya adalah simbol. Kopi sebagai simbol guyub, lingkaran, musyawarah, atau interaksi-interaksi yangg baik lainnya. Banyak sekali kejahatan dan perbuatan yang sia-sia yang bermula dari salah paham, kurang ngobrol, kurang ngopi bareng. Sebuah masalah kalau dibicarakan lewat layar kaca, telepon, mimbar, atau sekat lainnya berbeda jika dibicarakan sambil minum kopi bersama.

Buku, pun sebuah simbol. Orang bijak pernah berkata tentang ini, bahwa semakin banyak yang seseorang baca maka semakin merasa tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, seseorang menjadi lebih bijak dan mampu untuk menahan dan memproklamirkan kebenaran-kebenaran yang diyakini, sebab punya kerendahan hati untuk merasa tidak tahu apa-apa. Maka tidak jarang jika orang yang kolot atau berpikir sempit dan dangkal terhadap suatu hal, sering dalam bahasa gaul dikatakan pulangnya kurang malam, mainnya kurang jauh, bacaannya kurang banyak.

Cinta, konsep di Djelajah adalah cinta universal. Termasuk dominan disana adalah kecintaan alam dan kemanusiaan. Cinta adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan di dunia ini.

Sekar, pendaki perempuan yang cukup keras kepala, dengan idealisme kuat, menentang kapitalisme. Ia menjadi tokoh perempuan yang tangguh. Pun dengan Mas Dewo, pemilik Djelajah yang sama-sama peduli dengan kemiskinan rakyat. Sebagai penulis dan penggerak literasi cukup menyayangkan royalti bagi penulis yang hanya berapa persen, sementara keuntungan paling besar adalah toko, yang dianggap mereka sebagai monster, mencaplok toko-toko kecil sehingga tidak mampu berkembang. Inilah yang mendasari penerbit indie, tanpa melibatkan toko dan pemasaran secara online.

Gerakan literasi dalam novel ini banyak dilakukan di jalur pendakian, misalnya mendirikan rumah baca di jalur pendakian Merbabu (lereng Merbabu, tepatnya di dusun Krakas), yang juga didirikan oleh Sekar, El, Mas Dewo, dan lainnya. Idealisme juga terlihat dari gambaran eksploitasi penambangan pasir Merapi, baik yang legal maupun ilegal dimana dampak dan rasanya sama saja bagi masyarakat secara dominan, mudharat, dan kekesalan. Hingga saat ini, gerakan literasi ini tetap berjalan di berbagai tempat, dilanjutkan oleh masyarakat itu sendiri setelah mendapatkan edukasi dari Mas Dewo dan teman-temannya. Bahkan di Djelajah sendiri penulis benar-benar menyediakan beberapa rak buku yang bisa dibaca sambil ngopi atau menu lainnya.

Jumat, 27 April 2018

REMINDER: JANGAN IRI, JANGAN DENGKI

Jalan hidup setiap makhluk sudah digariskan, semua sudah mendapat bagian masing-masing. Bahkan, bagian kehidupan seseorang adalah pelengkap bagi kehidupan yang lain. Dalam filosofi Jawa, "urip iku ming sak dermo nglakoni" (hidup itu sekedar menjalani), menjalani apa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.

Jika dalam perjalanan hidup kita masih melirik duniawi yang lain sambil mengeluh, berarti kita masih "demo" dengan pemberianNya, tidak bersyukur, tidak terima, yang akhirnya hidup dipenuhi banyak energi negatif seperti kufur nikmat, iri, dengki, dan bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan bahkan bersaing secara duniawi dengan yang lain.

Padahal jika kita mau membuka hati, membuka diri untuk belajar kehidupan, ada banyak di luaran sana yang kurang beruntung. Hanya sekedar untuk makan saja sulit, hanya sekedar berlindung dari hujan dan panas saja tidak semuanya dapat, atau sekedar bernafas saja perlu perjuangan.

Jadi, apa yang mau kita irikan dan dengkikan dari orang lain? Bukankah Alloh sudah membaginya dengan begitu adil bagi setiap makhluknya? Lantas, apa yang bisa kita dapatkan jika hanya mengeluh dengan nikmat yang orang lain dapatkan? Kenapa tidak menghitung nikmat yang Alloh berikan untuk kita? Dengan begitu, Alloh lebih suka.

Bukankah dunia tidak lebih baik dari sehelai sayap nyamuk? Untuk apa Alloh memberikan dunia bagi seorang mukmin jika hanya menjadi fitnah? Untuk apa pula kita berlomba-lomba dalam keduniawian jika hanya memberikan mudhorot, bukan kebermanfaatan untuk dunia dan akhirat?

Ini adalah pengingat diri sendiri, ketika hati sedang gundah bagaimana menjalani hidup tanpa arah dan tujuan. Jangan sampai salah jalan pulang, kampung halaman kita adalah surga...

Iri boleh, tapi tentang apa dan kepada siapa dulu...

Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak diperbolehkan iri dan dengki, kecuali pada dua perkara. Pertama, seseorang yang diberi Alloh harta kekayaan lalu ia menghabiskan harta kekayaan itu pada jalan yang benar. Kedua, seseorang yang diberi ilmu lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya pada orang lain" (HR. Muslim).

Jadi sudah jelas bahwa iri dan dengki itu harus pada tempatnya :)

Senin, 23 April 2018

REMINDER: BERSABARLAH MENJADI IBU

Selalu ada introspeksi di setiap pekannya, hasilnya adalah perbaikan diri, baik sikap, pikiran, pengembangan potensi, dan sebagainya. Terlebih menjadi seorang ibu sekaligus tulang punggung yang memerlukan multitalent. Kehidupan pribadi orang lain tak menjadi penting kecuali hanya sekedar mengambil ilmu dan hikmah. Waktu menjadi sangat berharga, untuk anak, pekerjaan, dan menuntut ilmu.

Rangkaian aktivitas semakin padat, disisi lain mendidik menjadi fokus utama. Perlu kesabaran ekstra hanya sekedar memenuhi permintaan anak untuk membacakan buku, tetap membersamainya di sekolah meskipun teman-temannya tidak ditunggu, menjawab setiap pertanyaannya di sela-sela menjalankan pekerjaan, atau menyuapi meski sudah mampu makan sendiri (tentunya saat makan di rumah, yang teman-temannya tidak tahu karena sesungguhnya dia pemalu). Bahkan hanya memenuhi permintaannya untuk memetik talok yang di sekitar sekolah, saya lalukan. Ia sangat ingin membagi dengan teman-temannya yang jumlahnya 15 orang, yang artinya 15 biji dia perlukan. Saya paham bahwa bukan karena malas atau manja, dia hanya membutuhkan perhatian, dan ini adalah investasi yang sangat mahal. Dia merasa percaya diri dengan dukungan ibunya di sampingnya.

Saya tidak ingin anak saya menemukan kekosongan dalam diri ibunya, kehampaan dan kesepian hanya karena kesibukan pekerjaan ibunya. Saya tidak ingin mengisi hidupnya dengan kekecewaan karena abai ibunya. Saya tidak ingin dia merasa bahwa dirinya adalah beban buat saya. Saya tidak ingin kehidupannya penuh dendam karena masa kecil yang tidak seharusnya. Saya ingin dia merasa bahagia, dan bukan karena uanglah yang membuatnya bahagia.

Disinilah saya menempa kesabaran. Membangun hubungan ibu dan anak melalui berbagai aktivitas. Hal yang saat ini dilakukan adalah membacakan buku untuknya. Meskipun sudah lancar membaca, permintaan membacanya bukan berarti ditolak. Ini adalah salah satu pendekatan emosi antara ibu dan anak. Sejenak meletakkan pekerjaan, melambatkan ritme menyesuaikan dengan ritme anak. Melambat bukan berarti berkurang kualitasnya, tapi menjadi bagian 'menarik' ritme anak menjadi lebih tertata dan teratur. Anak akan merekam apa yang diberikan orang terdekat, maka ini adalah bekal untuk dia belajar, dari saya, ibunya.

Sabtu, 07 April 2018

MEMBANGUN JEJAK KEPENULISAN

Forum Lingkar Pena bukanlah nama yang asing sejak masaku di bangku SMA, tahun 2000 waktu itu. Mengenal dan membaca berbagai bukunya, bahkan mulai dari sanalah hijrahku dimulai dengan berhijab. Banyak cerita yang bisa diambil hikmah yang memberikan wacana lebih luas tentang agama, tanpa menggurui, tanpa menghakimi, namun cukup mampu mengambil hati.

Membaca memang menjadi rutinitas sejak SD, bahkan tidak terlewat satu hari pun tanpa membaca. Hingga SMA, membaca karya sastra, novel, cerpen, dan sebagainya masih rutin dilakukan. Pada masa SMA pun mulai menulis dan sempat masuk dalam majalah sekolah. Akan tetapi, keinginan menjadi penulis masih belum begitu kuat karena kesibukan belajar. Aktivitas yang rutin adalah membaca.

Masa kuliah yang masuk tahun 2003 masih sempat membaca beberapa buku cerita, akan tetapi mulai tenggelam dengan banyaknya materi kuliah yang harus dibaca. Masa membaca yang sempat hilang selama beberapa tahun, terlebih saat lulus dan mulai bekerja. Rasa-rasanya hanya membaca status yang sempat dilakukan, dan kembali pada rutinitas pekerjaan.

Saya mulai menemukan passion menulis pada tahun 2016, mulai mencoret-coret tentang cerita yang mungkin bisa dikembangkan menjadi sebuah bacaan. Alasannya adalah selama perjalanan hidup saya menemukan banyak cerita, menjadi tempat cerita teman, sahabat, maupun keluarga yang dapat menginspirasi. Bahkan pengalaman pribadi yang mungkin bisa menjadi ibrah untuk pembaca. Tahun 2017 mulai mengikuti berbagai event dan lomba kepenulisan. Sempat malu memang karena saingan adalah usia muda. Akan tetapi, malu adalah penghambat cita-cita, jadi jalan saja. Tahun 2017 pun sempat ingin menjadi anggota Forum Lingkar Pena wilayah Yogyakarta, namun mengetahui informasinya pada saat tahapan wawancara.

Tahun 2018 ini Allah mengijinkan untuk saya mencoba bergabung menjadi anggota FLP Yogyakarta. Informasi open recruitmen yang cukup awal saya terima membuat saya 'memburu' kesempatan itu. Banyak hal menarik yang membuat saya sangat kuat ingin bergabung menjadi penulis. Selain kesempatan menulis yang disana banyak penulis hebat yang saya kenal, nilai tulisannya juga tidak sekedar hiburan, namun juga nilai dakwah dan hikmah. Hal inilah yang membuat saya merasa bahwa saya dengan FLP sefrekuensi.

Informasi awal yang saya terima pun menjadi langkah saya untuk segera memenuhi syarat berjuang ke arah sana. Saya tidak perlu menunggu pengumpulan berkas sesuai jadwal. Mba Rias, narahubung sangat kooperatif untuk menerima berkas saya lebih awal, formulir, esai, dan cerpen.

Seleksi pertama lolos dan diikuti wawancara. Seleksi ini bukanlah penentu diterima sebagai anggota FLP. Kami yang lolos seleksi pertama diharuskan mengikuti Reading and Writing Class selama 4 kali pertemuan selama 1 bulan  setiap hari ahad, mulai pukul 08.00 - 12.00 WIB. Masa ini adalah masa yang menurut saya langkah awal menjadi seorang penulis yang baik. Tugas dan materi mulai diterima dan dipraktikkan selama masa Reading and Writing Class. Masa inilah yang menentukan lolosnya seleksi tahap 2 yang merupakan diterima atau tidaknya sebagai anggota FLP.

Lolos! Sebanyak 62 peserta dari 165 pendaftar termasuk saya lolos seleksi 2. Ini adalah langkah awal menjadi penulis Forum Lingkar Pena. Diawali dengan kegiatan PDKT dan Empatik yang diselenggarakan pada 31 Maret - 1 April 2018, materi kepenulisan tidak lepas dari kegiatan kami. Bahkan praktik selalu harus dilakukan selepas menerima materi.

Materi pertama, tanggal 31 Maret 2018 di IEC UNY, oleh Irsyad (@abenanza). Materi dengan judul Suspense merupakan materi bagaimana membuat suatu cerita seperti novel, cerpen dan sebagainya semakin menarik untuk dibaca, bukan cerita membosankan. Berbagai unsur dijelaskan didalamnya termasuk bagaimana membangun karakter tokoh, emosi tokoh, pengulangan rasa yang diterima indera, dan sebagainya. Seperti yang sudah-sudah, teori tanpa praktik hanya akan menjadi basi. Maka praktik menulis dengan menyusun berbagai unsur suspense sebagai clue, kemudian bertukar dengan teman sebelah yang bertugas untuk menyusun cerita, Seru memang karena disana mulai berimajinasi sehingga tersusun cerita yang tidak membosankan.

Materi kedua dilanjutkan di SMP Nurul Islam oleh Mba Muji, mantan ketua FLP Yogyakarta 2015-2017. Materi ini menjelaskan mengenai trik menyusun suatu cerita menggunakan berbagai kata yang ada. Misalnya terdapat kata gelas, laptop, batu, dan roti. Kami mulai berimajinasi menyusun cerita berdasarkan kata-kata tersebut. Tidak hanya itu, kami dilatih untuk menulis dengan berbagai kondisi emosional baik saat sedih, kemudian berubah menjadi gembira. Ini penting untuk menjaga emosi dalam cerita.

Materi ketiga di hari yang sama diberikan oleh Mba Fitri. Kali ini mengenai menyusun cerita berdasarkan gambar yang ada. Berbagai gambar disediakan dan kami sebagai calon penulis bisa memilih gambar sebagai media imajinasi. Gambar pun tidak hanya satu, bisa dilanjutkan dan dihubungkan dengan gambar yang lain. Tersusun juga sebuah cerita yang unik dari masing-masing peserta.

Malam dilanjutkan dengan mengikuti "Istana Impian", sebuah doa bersama untuk mengungkapkan mimpi masing-masing dalam dunia literasi. Hening, hanya lilin sebagai cahaya yang menemani doa-doa kami. Satu sama lain saling mengaminkan untuk berjuang bersama di dunia literasi, dengan dakwah untuk memberikan kebermanfaatan sebagai jalan ridho-Nya. Selesai acara, kami istirahat untuk menyiapkan hari berikutnya.

Tahajud dan subuh berjamaah menjadi awal kami mengawali hari, dilanjutkan dzikir pagi dan tilawah bersama. Acara dilanjutkan dengan olahraga. Seperti biasa, pemanasan pun tidak hanya sekedar fisik, tapi pemanasan otak dan jari untuk mulai menulis. Meskipun berkelompok, penyusunan cerita terkait satu sama lain diantara anggota, sehingga harus banyak berimajinasi lagi :). Selesai pemanasan, kegiatan dilanjutkan dengan sarapan dan kemudian Kajian Islam. Dilanjutkan pula dengan pementasan sebagai praktik dari literasi seperti pembacaan puisi, drama, dan sebagainya.

Acara terakhir adalah materi tentang sasaran kepenulisan, mulai dari media yang digunakan yang saat ini peluang tinggi melalui internet (blog, web, sosial media dan sebagainya), etika dalam menulis, tujuan dan motivasi menulis, kejujuran dalam menulis, dan sasaran tulisan yang akan penulis pilih. Dalam FLP, tulisan tidak hanya unsur hiburan dari cerita-cerita, namun disana ada dakwah, energi positif, dan hal lain yang membangun.

Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Forum Lingkar Pena berkaitan dengan 3 Pilar yaitu, Kepenulisan, Keislaman, dan Keorganisasian dimana ketiganya saling berkaitan. Maka acara terakhir adalah mengenai organisasi FLP khususnya wilayah Yogyakarta. Forum Lingkar Pena menjadi sebuah wadah bagi para penulis yang tidak hanya sekedar menulis, namun menulis dengan rasa tanggung jawab dan satu sama lain menjadi sebuah keluarga, keluarga Forum Lingkar Pena.

Resmi pada tanggal 1 April 2018 acara PDKT dan Empatik selesai, namun menulis menjadi sebuah tugas baru yang rutin harus dilakukan oleh seorang penulis FLP. Pun sepulangnya dari acara ini, masih ada 2 PR yang harus dikerjakan oleh kami, anggota FLP Yogyakarta angkatan 2018 :D. Berikutnya, menulis menjadi sebuah rutinitas dan menjadi langkah untuk mempublikasikan karya-karya kami.


Nyata Berkarya!!!


Yogyakarta, 07 April 2017.


http://flpyogya.org/







SINGLE NOT AVAILABLE

Setiap perempuan pasti memimpikan kehidupan yang baik untuk masa depannya. Pemahaman setiap orang tentang kehidupan yang baik memang relatif dan subyektif, namun sebagian besar menggunakan beberapa indikator seperti mendapatkan pasangan sesuai impian, mapan secara finansial, memiliki anak-anak yang sesuai harapan, karir dan pekerjaan yang bagus, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan sekitarnya, sebagai tolok ukur pencapaian kehidupan yang baik.
Gambaran kehidupan tersebut dianut oleh sebagian besar orang yang menjadi patokan ideal, dan sebagian kecil orang pun memiliki tolok ukur sendiri bagaimana sebuah kehidupan baik itu tercapai. Seperti beberapa perempuan yang kukenal, dan bahkan aku sendiri. Kami tidak menuntut banyak hal seperti orang pada umumnya untuk bisa memiliki kehidupan yang baik. Bagi kami, cukup berarti bagi orang-orang yang disayangi dan membersamainya dalam kehidupan sudah menggambarkan kehidupan yang baik, bahkan kami menangguhkan komitmen. Kami single, but not available. Kami memandang kehidupan yang baik dari sudut pandang berbeda.
Ada banyak alasan untuk tetap “single”, seperti aku dan kedua sahabatku. Dua alasan terbesarku untuk menunda menikah adalah orang tua dan kakakku. Secara logika, aku ingin memiliki pasangan seperti teman-teman yang lain, berkeluarga, memiliki anak-anak yang lucu, pasangan yang mendukung. Akan tetapi secara hati aku tidak sanggup melakukan itu karena aku masih ingin mempersembahkan waktu dan hidupku untuk berbakti pada orang tua. Di masa pensiun, fisik mereka sudah sangat lemah dan juga sering sakit, terutama ibu yang terkena jantung.
Aku mempertimbangkan bahwa dengan pernikahan mungkin aku akan disibukkan dengan keluarga, pasangan dan anak-anak. Jika saat ini aku masih sendiri akan sangat mungkin menggunakan waktuku secara totalitas untuk menjaga orang tua dan kakakku. Selain itu, belum tentu jika aku menikah, pasangan akan selalu rela memberikan waktuku untuk orang tua dan kakakku.
Sahabatku pun memilih jalan hidupnya sendiri dengan tetap menjadi single, dengan membesarkan keempat anaknya. Pernikahannya yang berusia 16 tahun tidak lagi dapat dipertahankan. Kekerasan rumah tangga yang membuatnya menggugat cerai untuk menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya. Tanpa sepengetahuan siapapun dan hanya orang tua, ia berjuang dengan mengeluarkan uang tabungan yang digunakan untuk membayar pengacara demi mendapatkan kebebasan. Pengadilan pun memutuskan untuk mengabulkan pengasuhan anak-anak tetap di tangannya. Hal itu membuatnya lega.
Masalah belum selesai dengan putusan pengadilan. Ancaman dari mantan suaminya terus berlangsung, yang memaksanya untuk mencari tempat aman dan bersembunyi sementara waktu. Tidak banyak yang tahu dimana mereka tinggal, bahkan rekan kerja di tempatnya mengajar. Semua tersimpan aman bertahun-tahun, yang akhirnya beberapa sahabat dekat mengetahui permasalahannya. Sebagian kecewa, namun sebagian tetap menghormati dengan keputusannya. Bahkan menawarkan untuk mencarikan pasangan hidup yang baru. Akan tetapi ia menolaknya, bukan karena tidak membutuhkan. Trauma dan rasa tidak aman akan ancaman mantan suaminya membuatnya berpikir ulang untuk menerima seseorang menjadi bagian hidupnya.
Hal lain yang membuatnya tetap single adalah pertimbangan penerimaan anak-anaknya yang belum tentu setuju dengan pilihannya. Luka mendalam yang diterima anak-anaknya membuatnya lebih memilih menyembuhkan hati anak-anaknya. Sendirian membesarkan anak-anak tidaklah mudah, namun ia sudah memilih untuk mengesampingkan keegoisannya dengan memberikan seluruh waktu dari sisa hidupnya untuk anak-anaknya. Prioritas yang menurutnya tepat untuk dijalani, menjadi single dan membesarkan anak-anaknya dengan hatinya.
Tidak jauh berbeda dengan sahabatku satunya. Kekecewaan karena penelantaran pasangannya memutuskan untuk menjalani hidup dengan membesarkan kedua putrinya sendirian. Ibunya yang stroke menjadi tambahan beban dalam hidupnya. Merawat tiga orang dengan perhatian khusus tanpa dukungan sosial dari siapapun memang berat, namun ia juga tidak yakin jika dengan mempertahankan dan memiliki pasangan dapat menyelesaikan permasalahan. Maka ia merelakan hidupnya untuk menjalani tanpa pasangan, memilih untuk tidak terikat dengan seseorang.
Kami hanya sebagian kecil gambaran dari para perempuan yang berjuang untuk orang-orang yang kami cintai dan hormati. Kami tetap memperjuangkan kehormatan sebagai perempuan, ibu, maupun istri, dan kami hanya available untuk yang harus kami jaga dan lindungi. 

NO WASTE FOOD

Sumber daya alam menjadi komponen yang sangat penting dalam kehidupan makhluk hidup, terutama manusia karena sumber daya alam merupakan segala sesuatu dari alam yang dapat dimanfaatkan demi kelangsungan hidup manusia yang bersumber dari lingkungan sekitarnya seperti dari dalam tanah, permukaan tanah, udara, dan sebagainya.
Sumber daya alam memiliki katerbatasan dalam mencukupi kebutuhan manusia karena berbagai faktor. Peningkatan jumlah manusia mengalami perkembangan yang pesat. Cuaca ekstrim juga menjadi mimpi buruk dalam keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Tidak meratanya sumber daya alam yang dapat dicapai manusia, juga peperangan dan kondisi politik lainnya menyebabkan kelangkaan sumber daya alam yang menyebabkan kelaparan bahkan hingga kematian. Seperti diketahui bahwa sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya alam dengan ledakan populasi penduduk di dunia menyebabkan kebutuhan akan sumber daya alam tidak terpenuhi.
Hal tersebut dapat menyebabkan kelangkaan untuk sebagian wilayah, namun melimpah di wilayah lainnya. Kelangkaan sumber daya alam bukan hal yang baru di sebagian wilayah di dunia. Kemarau berkepanjangan menjadi salah satu penyebabnya karena keterbatasan air yang menghambat biotik seperti pohon dan tanaman untuk tumbuh. Selain itu, kemampuan finansial seseorang menjadi penunjang dalam mendapatkan sumber daya alam sehingga disimpulkan bahwa tidak meratanya kemampuan ekonomi/finansial menjadi penghambat dalam pemerataan sumber daya alam.
Peperangan, konflik, dan politik juga menjadi pemicu keterbatasan sumber daya alam. Sebagian wilayah akibat peperangan rusak dan tidak dapat digunakan menjadi ladang pengembangan sumber daya alam. Hal ini juga membatasi akses dalam distribusi sumber daya alam ke wilayah konflik. Kebijakan politik juga menjadi hambatan dalam penggunaan sumber daya alam.
Melihat dari berbagai kasus tersebut, seharusnya manusia yang mempunyai peluang besar dalam penggunaan sumber daya manusia lebih bijaksana mengelolanya. Sayangnya, sebagian masyarakat masih menerapkan budaya gengsi dalam penggunaannya. Misalnya jika memesan makanan di restoran, beberapa orang memesan tanpa perhitungan sehingga banyak item yang tidak habis. Sisanya akan terbuang menjadi sampah dan tidak digunakan. Padahal jika menilik berbagai kondisi yang diuraikan di atas, kesulitan dalam konsumsi sumber daya alam menjadi pembelajaran untuk mengkonsumsi sesuai kebutuhan, bukan berdasarkan kemampuan menjangkaunya.
Penggunaan sumber daya alam yang tidak bijak akan membuat konsumsi semakin meningkat, akan tetapi sebagian besar justru terbuang. Hal ini mempercepat penipisan sumber daya alam yang tersedia namun bukan karena dikonsumsi tapi terbuang sia-sia. Jika saja manusia mengkonsumsi sesuai kebutuhan maka berkurangnya sumber daya alam yang sia-sia akan dapat diminimalisir.
Untuk mengatasi kesia-siaan tersebut, banyak edukasi yang bisa dilakukan misalnya melalui media sosial yang saat ini banyak menjangkau masyarakat luas dari kelas menengah baik ke atas maupun menengah ke bawah. Edukasi dapat dilakukan dengan memberikan gambaran bagaimana negara-negara di dunia yang dilanda kemiskinan dan konflik sehingga tidak dapat makan. Hal ini diharapkan dapat menyentuh sisi manusiawi masyarakat untuk tidak lagi menyia-nyiakan sumber daya alam sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti negara-negara lain yang dilanda kondisi keterbatasan sumber daya alam tersebut, terutama makanan.

Rabu, 04 April 2018

IBU, KAU YANG SERING TERLUPA

Sebuah puisi untuk ibuku tercinta....

Ibu
Engkau tidak pernah lelah
Tidak pernah sekalipun mengeluh lelah
Engkau tetap menunggguku pulang, saat aku pergi kemanapun
Engkau tetap mendoakanku dalam setiap sujudmu, bahkan di sepertiga malammu
Tidak terlewatkan begitu saja
Meski aku lelah saat itu, engkau tetap tersenyum

Ibu
Setiap suapan yang engkau berikan, ada jutaan keikhlasan doa tertuang
Lelahmu semoga menjadi amal
Dalam tangis yang engkau sembunyikan
Dalam luka yang engkau tahan
Disana hanya untuk bahagiaku

Ibu
Waktu begitu cepat berlalu
Seperti baru kemarin engkau menggendongku, memelukku
Namun, saat ini ketika aku dewasa
Bahkan sekedar menghubungimu seolah tak ada waktu
Disana aku tahu engkau menunggu kabarku
Bahkan...selalu engkau terlebih dahulu menyapaku

Ibu
Waktumu sekarang begitu sempit
Masa tuamu sekarang begitu cepat datang
Aku masih ingin memelukmu, mendengar rintihan doamu saat ku memegang tanganmu yang semakin berkerut
Melihat senyummu menyambut kepulanganku

Ibu
Yang kutakutkan adalah aku tak di sisimu saat pergimu
Yang kutakutkan adalah saat pulang tak lagi menemukan senyummu
Yang kutakutkan adalah tak sempat meminta maafmu

Jika boleh, aku ingin menemani masa senjamu
Seperti engkau menjagaku saat kecilku
Menenangkanku saat gundahku

Ya Rabb..
Panjangkan usia ibuku
Aku sangat ingin menghabiskan waktu membaktikan diriku
Menemaninya hingga menemui-Mu


***

Selasa, 03 April 2018

LUPIS UNTUK RENGGANIS


Setiap jiwa akan menemukan senjanya
Satu jiwa dengan jiwa yang lain terhubung dalam benang waktu
Tersusun dalam kepingan-kepingan kehidupan
Hingga tiba masanya, satu diantaranya akan pergi dan menghilang

***

Kami bertiga tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku, Emak, dan adikku, Rengganis. Hidup yang dibilang sangat kekurangan bagiku sejak bapak meninggal 3 tahun yang lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Sangat berbeda dengan Emak. Baginya, meski sangat sulit tapi senyumnya tak pernah lepas ketika memandang kami. Aku tak pernah melihat Emak menangis sedih atau mengeluh. Emak selalu bersyukur dengan hidup yang kami jalani. Pun ketika tak sesuai keinginan, Emak tetap berprasangka baik kepada Sang Pencipta bahwa kehidupan yang Allah berikan sarat kenikmatan.
“Kita masih bisa bernafas, Nduk. Fisik kita masih lengkap, untuk melakukan banyak hal berguna. Tak baik mengeluh”, begitu selalu nasehat Emak ketika kami rewel atau mengeluh tentang kondisi kami.
Kami pun hanya diam. Mengiyakan apa yang dikatakan Emak agar tidak durhaka.
“Emak besok jualan lupis lagi?”, tanyaku.
“Insya Allah. Bantu Emak ya, Aini”, pinta emak, dan aku pun mengangguk cepat.
Ya, Emak memang penjual lupis untuk menghidupi kami. Jika dihitung secara logika, sebenarnya keuntungannya sangat sedikit. Bagiku memang sulit memahami bagaimana bisa Emak masih bisa menyekolahkan dan mencukupi berbagai kebutuhan kami.
“Itu berkah, Nduk. Kalau kita bisa hidup jujur dan banyak bersyukur pada Allah, Dia yang akan mencukupi semua kebutuhan kita.”
Sulit bisa memahami penjelasan Emak. Mungkin karena usiaku yang masih sangat muda. Hal yang tak pernah terlewatkan Emak adalah shalat lima waktu dan shalat malam. Sembahyang shalat lima waktu yang sering kulihat tepat waktu.
Nduk, jaga shalatmu. Dimanapun, kapanpun. Allah akan sayang, akan ridho. Hidup terasa ringan”, nasehat Emak di sela-sela membuat lupis.
Emak memang pandai membuat lupis karena sejak kecil membantu ibunya, atau nenek. Bahkan membantunya berjualan di pasar dan ketika nenek tidak lagi berjualan maka Emaklah yang menggantikannya. Sesudah menikah dengan Bapak pun, Emak tak berhenti berjualan lupis.
“Emak bersyukur dulu Bapakmu tidak melarang Emak berjualan lupis. Bapak senang dengan kesenangan Emak ini. Setidaknya ada jalan dari Allah untuk rezeki kita”, begitu cerita Emak yang tidak bosan mengenang Bapak.
Rengganis, adikku satu-satunya yang saat ini berusia enam tahun, paling suka lupis Emak. Hampir tiap hari makan, tapi tak pernah merasa bosan.
“Enak”, itu satu-satunya alasan yang tidak berubah selama ini kenapa sangat suka lupis Emak.
Suatu ketika Emak tidak membuat lupis karena memang sedang libur dan lelah. Seperti biasa Rengganis pun hanya dibelikan di pasar ketika minta, tapi tidak mau makan.
“Aku hanya mau lupis Emak”, rengeknya.
Mau tidak mau Emak membuatkan khusus hanya untuknya. Sejak saat itu, berjualan atau tidak, Emak selalu membuat lupis, hanya untuk Rengganis.
Pukul 3 dini hari, Emak terbiasa bangun. Shalat malam menjadi aktivitas pertama setelah bangun. Emak selalu mengajarkan untuk mengutamakan Sang Pencipta,
“Kalau kita mendahulukan yang punya hidup kita, Insya Allah kita juga akan diperhatikan dulu, Nduk”, itulah alasan Emak selalu mengutamakan shalatnya.
“Ya, Mak”, jawabku sambil menahan kantuk.
Aku melihat pagi ini Emak terasa berbeda, wajahnya terasa lebih segar dan bercahaya. Aku pikir itu karena Emak sering wudhu.
Emak biasa berangkat ke pasar pukul setengah 6 pagi, menyediakan beberapa potong lupis sebelum berangkat selagi Rengganis masih tidur. Setelahnya, aku pun bersiap-siap untuk sekolah sembari membangunkannya, untuk mandi dan bersiap-siap menyusul Emak.
Setelah kepergian Bapak, Emak berperan ganda, mencari nafkah dan mengurus kami. Adik sering ikut ke pasar untuk berjualan ataupun berbelanja bahan lupis. Aku mengantarnya menyusul Emak di pasar, sebelum berangkat ke sekolah yang letaknya memang berdekatan. Meski nenek masih ada dan menawarkan untuk merawat cucunya, namun Emak bersikeras bahwa anaknya adalah tanggung jawabnya.
“Anis sudah makan lupis Emak?”, begitu tanya Emak ketika melihat kami datang.
Rengganis pun mengangguk dan tersenyum, langsung duduk menempel di samping Emak. Dia memang sangat dekat dengan Emak.
“Berangkat ya, Mak. Assalamu’alaikum”, ucapku sambil pamit dan mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Nduk, yang rajin”, ucap Emak, dan aku masih melihat wajahnya yang sumringah seolah tanpa beban.
Di tengah-tengah pelajaran berlangsung, hatiku merasa tidak enak. Firasat buruk tiba-tiba muncul. Kenapa kepikiran Emak?
 Satu jam kemudian pintu diketuk. Laki-laki dengan hem putih, pakaian rapi. Guru kami pun keluar, dan mengobrol sebentar di luar kelas. Kelas tiba-tiba gaduh, seperti biasa jika tidak ada guru.
Kemudian masuk lagi guru kami, memanggilku,
“Nuraini, bisa ikut Bapak sebentar?”, hatiku semakin tidak karuan. Pasti terjadi sesuatu.
Benar saja, kabar duka pagi ini kudengar seperti firasat burukku. Emak kecelakaan ketika pulang dari pasar, dan saat ini di rumah sakit. Kami, aku dan laki-laki muda yang entah siapa, segera menyusul Emak ke rumah sakit membonceng motornya. Sepanjang perjalanan tak hentinya aku berdoa, disertai rasa khawatir yang sangat.
Kulihat seorang dokter wanita muda melihat kedatangan kami, dan tersenyum. Ia yang menangani Emak kami, begitu kata laki-laki muda yang mengunjungi guruku di sekolah tadi.
“Aini, bisa ikut dokter ya”, ucap laki-laki itu. Dokter itu pun berjalan di depanku menuju ruangan Emak dirawat.
Dari kejauhan, aku melihat adikku sedang duduk, ditemani seorang wanita muda. Rengganis langsung lari mendekapku begitu tahu kedatanganku. Menangis sekencang-kencangnya dalam dekapan. Aku menenangkannya dan meyakinkan bahwa Emak akan baik-baik saja.
“Anis tidak apa-apa?”, tanyaku, pun sambil menahan tangis, mengusap air mata di wajahnya. Aku bersyukur begitu mendengar penjelasan perawat bahwa Rengganis hanya luka lecet di tangan dan kakinya setelah diperiksa.
Aku melihat wanita muda itu mendekat,
“Maafkan aku. Aku yang tidak sengaja menabrak ibu kalian”, dan adik pun histeris dengan wanita itu. Aku hanya bisa memeluk adikku, entah apa yang akan kukatakan lagi, sementara aku pun tak dapat menahan sedihku.
“Allah...jaga Emak”, doaku dalam hati.
Tiba-tiba kulihat kegaduhan di ruangan ICU, tempat Emak ditangani. Aku mulai pasrah jika sesuatu yang buruk terjadi.
Dokter wanita yang tadi menyapaku, mendatangiku, dan memeluk kami.
“Yang sabar ya, Sayang”, kali ini aku tak dapat menahan lagi air mataku. Adikku kembali histeris, tiba-tiba hanya gelap dalam pandanganku.
Ketika membuka mata, aku sudah di rumah. Para tetangga sudah menyiapkan semuanya untuk pemakaman Emak.
Kulihat nenek mendatangiku, memelukku erat. Tak ada kata yang keluar.
Aku mencoba bangkit, mengambil air wudhu, hendak menyolatkan Emak. Adikku dalam gendongan kakek, masih sesenggukan. Lama kupandangi wajah Emak yang terlihat bersih dan tenang.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2, sudah saatnya kafan untuk ditutup. Aku meminta waktu beberapa menit untuk aku dan Emakku terakhir kalinya. Kali ini aku memandanginya cukup lama,
“Emak...” ucapku sambil mengusap tangannya yang hitam dan keriput. Kukecup keningnya untuk yang terakhir kali.
Mengantarnya menuju peristirahatan terakhir. Terduduk di samping tanah yang sudah bernisan dan mendoakannya. Rengganis hanya duduk diam bersandar di lenganku, masih dengan tangisannya. Aku memandanginya, ikut berurai air mata ketika melihatnya. Hanya bisa kupeluk dan kuusap kepalanya yang mungil di samping makam Emak.
“Kamu masih terlalu kecil kehilangan Bapak dan Emak, Anis”, ucapku dalam hati.
Kulepas pelukannya, dan dia hanya memandangku. Dengan matanya yang sembab dan sesenggukan, ia hanya berucap satu kalimat,
“Aku kangen lupis Emak”. Aku hanya memeluknya lagi, dan menangis keras. Tak tahu lagi harus menjawabnya apa untuk menenangkannya, juga menenangkan hatiku sendiri.

-----

Senin, 02 April 2018

MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI TULISAN

Sebuah esai tentang "Aku, FLP, dan Dakwah Kepenulisan"

Masyarakat Indonesia saat ini berada pada zona kehidupan yang nyaman, termasuk di Yogyakarta. Zona nyaman sebenarnya bukanlah sebuah ukuran kesejahteraan yang mutlak karena justru dengan zona nyaman maka mawas diri menurun, lengah, tingkat belajar berkurang sehingga tidak bisa berkembang menjadi lebih baik, malas bergerak menghadapi tantangan dan sebagainya. Pola kehidupan seperti ini akan menurunkan karakter seseorang dalam berjuang. Bahkan saat ini masyarakat terutama generasi muda terjebak dalam kehidupan hedonisme, mengagungkan seseorang atau kehidupannya sehingga konsep dirinya hilang, serta terbiasa dalam kehidupan yang tercukupi.
Media dan teknologi yang saat ini semakin pesat ikut andil dalam pembentukan kehidupan masyarakat yang hedonisme. Mereka mengenal dan tertarik dengan tokoh yang diidolakan, bahkan dengan fanatisme yang tinggi, apapun dan bagaimanapun kehidupan seseorang yang diidolakan mampu mempengaruhi kehidupan seseorang yang mendewakannya. Berbagai media seperti televisi, media sosial (facebook, twitter, instagram) maupun youtube mampu menghubungkan antara orang yang ditokohkan dan orang yang menokohkan. Hal ini dapat membentuk pola pikir dan mempengaruhi karakter dari orang yang menokohkan untuk mengikuti orang yang diidolakan tersebut.
Saat ini masyarakat juga banyak dihebohkan dengan film-film baru yang sedang tayang. Film remaja dengan khayalan dan kehidupan mewah yang mulai banyak menjadi tontonan dari berbagai kalangan baik orang tua, dewasa, bahkan remaja. Film yang banyak diangkat dari buku-buku, novel, dan karya sastra lainnya mampu menyita perhatian para masyarakat. Sayangnya, tidak semua film dan karya sastra tersebut mendidik. Orang tua yang seharusnya mengedukasi tidak mampu membendung euforia para generasinya dalam melihat tayangan yang terkadang belum sesuai usianya. Film dengan adegan intim, kekerasan, dan sebagainya yang bersifat destruktif banyak beredar di bioskop. Hal ini berasal dari karya sastra yang berupa tulisan.
Dapat dilihat bahwa tulisan memiliki peran penting dalam membangun mindset dan karakter masyarakat. Kenapa saat ini masyarakat berada pada hedonisme? Karena banyak tulisan yang diangkat melalui layar bioskop maupun layar televisi yang dilihat namun berkisah tentang hedonisme. Kenapa saat ini banyak remaja yang saling berkelompok (gengster) dan saling membully? Karena banyak tayangan yang menjadi kiblat para generasi muda. Kenapa kehidupan dulu dan sekarang dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bisa berbeda? Karena masyarakat dulu dikenalkan dengan perjuangan, bukan dengan khayalan yang seperti saat ini banyak terjadi.
Menulis tidak hanya sekedar memberi hiburan kepada pembaca. Tulisan-tulisan seharusnya mengandung banyak hal positif yang disampaikan oleh penulis seperti pemikiran, ide, gagasan, pengalaman yang dapat ditransfer kepada pembaca. Hal ini dapat digunakan untuk mengkonstruksi karakter positif generasi saat ini. Misalnya tulisan yang tidak hanya berkisah tentang dua orang remaja yang saling jatuh cinta. Tulisan dapat diperluas dengan bercerita tentang pengalaman hidup seseorang, tentang perjuangan hidup seseorang yang bisa menjadi contoh, tentang bagaimana menghadapi masalah dengan positif. Saat ini kita memerlukan tulisan yang menggugah semangat untuk berjuang, bukan terlena dalam kenikmatan duniawi.
Para penulis seharusnya mampu mendidik generasi muda melalui tulisan. Tulisan dengan pesan moral, filosofi kehidupan, dan jauh dari masalah yang didramatisir seperti tayangan drama dan sinetron yang saat ini banyak ditayangkan yang justru menghancurkan konsep diri masyarakat. Para penulis sebenarnya mampu menyampaikan banyak hal yang ada di sekitar lingkungan kita, bahkan pengalaman pribadi untuk belajar tentang kehidupan. Bukan hanya tentang materi, namun menyebarkan kebaikan melalui tulisan.
Dengan adanya oprec FLP wilayah Yogyakarta, ini menandakan adanya hal positif untuk membangun para generasi penulis, belajar bagaimana tulisan memberikan nilai positif bagi pembaca, dan bukan tentang khayalan duniawi yang merusak semata. Belajar menjadi hal penting bagi penulis untuk terus mengembangkan diri dalam mencapai tulisan yang berkualitas. Tulisan yang diarahkan untuk membangun karakter dan pemikiran positif serta sarana dakwah. Dengan adanya FLP wilayah Yogyakarta ini maka juga bisa menyatukan penulis dari berbagai latar belakang, ini artinya akan lebih banyak pengalaman dan kemampuan menulias yang bisa saling dipelajari antara satu penulis dengan penulis lainnya.
Tulisan menjadi sarana dakwah dalam menyampaikan pesan moral ketika penulis sebagai komunikator tidak mampu menyampaikan secara langsung kepada pembaca sebagai komunikan. Tulisan yang mampu merubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik adalah tulisan yang bagus. Hal ini berarti dakwah melalui tulisan berhasil. Tulisan yang tidak menggurui namun menjabarkan dengan bahasa yang santun dapat mengkonstruksi pemikiran menjadi lebih positif, melihat segala permasalahan dari sudut pandang positif dan berfokus pada problem solving.
Dengan semakin banyaknya penulis yang tergabung dalam FLP terutama di Yogyakarta maka semakin banyak potensi yang dimiliki untuk menyediakan bacaan yang positif bagi generasi muda. Semakin banyak penulis yang aktif di FLP maka akan semakin banyak dakwah yang bisa dilakukan melalui tulisan dengan menjangkau seluruh masyarakat dimanapun. Kepedulian para penulis diharapkan dapat memberikan andil dalam memperbaiki karakter generasi muda yang saat ini seperti hilang arah.

http://flpyogya.org