Sabtu, 01 September 2018

CINTA DI BUMI GAZA



Ragaku belum pernah menjelajah pada tanah Gaza. Penglihatanku tidak mengenal satu per satu wajah-wajah yang terluka, terpampang di berbagai media maupun baliho di beberapa sudut Jogja. Tapi, kenapa hati ini sungguh terluka melihat mereka?
Disinilah cintaku bermula pada bumi Palestina, tanah yang diberkahi Allah SWT itu.

Alarm pukul 3 berdering semakin kencang, menjadi pengingatku untuk segera menjauh dari tempat tidur yang nyaman. Segera kumatikan alarm dan beranjak menengok anak lelakiku satu-satunya di kamar sebelah. Masih lelap dan pulas. Kututup pelan-pelan pintu kamarnya dan kulanjutkan menuju kamar mandi. Kubasuh wajah dan tanganku, langkahku berayun menuju ruang kerja.
Laptop masih bertengger di atas meja kerjaku. Kunyalakan lampu meja kerja tanpa kunyalakan lampu ruangan. Secangkir kopi yang menemaniku lembur semalam sudah dingin. Kuminum beberapa teguk yang sudah tinggal separuh. Mataku mulai fokus pada angka-angka di layar laptop. Tanganku dengan cepat mengetik kata demi kata, menyusun laporan keuangan perusahaan yang harus diserahkan pagi ini.
Hawa masih begitu dingin menjelang fajar. Suasana sepi ruangan dan cahaya ruangan yang tidak terlalu terang menambah hening. Hanya terdengar suara detak jam dinding di ruangan dan ketikan keybord diantara suara kokok ayam jantan yang mulai satu per satu terdengar. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 04.10 WIB di pojok kanan bawah layar laptopku. Pekerjaan pun hampir selesai, tinggal membuat analisis dan kesimpulannya.
Kuhentikan aktivitas sambil menghabiskan sisa terakhir kopiku. Kubuka handphone yang sejak semalam dalam mode pesawat. Beberapa pesan dan email masuk, kuabaikan dan kubuka yang kuanggap penting.

“Jangan lupa laporan keuangan besok disiapkan. Kita rapat pukul 09.00 WIB.” Sebuah pesan WhatsApp dari owner perusahaan tempatku bekerja. Kuletakkan kembali handphone-ku. Tidak kubalas pesannya.

Aku beranjak menuju dapur untuk membuat kopi lagi. Sejenak kuhilangkan penat karena bekerja sembari istirahat, ditemani kopi dan setoples wafer coklat kesukaan, dengan membuka beberapa akun sosial media. Tidak ada yang menarik, hanya beberapa repost tentang konflik-konflik yang sedang terjadi, Palestina, Rohingya, Suriah, atau beberapa jualan online yang sedang menjamur.
Sayup-sayup mulai terdengar suara adzan. Dari satu arah, kemudian berlanjut dari berbagai penjuru. Kututup akun sosial media dan kulanjutkan pekerjaanku. Tinggal kesimpulan. Kulihat lagi jam di sudut kanan bawah laptop, masih pukul 04.50 WIB.

Masih ada waktu buat sholat subuh. Tanggung. Sedikit lagi. Lanjutkan saja. Begitu terdengar bisikan godaan.
Akhirnya kuputuskan melanjutkan pekerjaan menyusun kesimpulan. Baru mengetik beberapa kata terdengar pintu ruangan berderit. Kutolehkan kepala melihat ke arah pintu di samping kiri tempatku duduk. Seraut wajah samar dengan tubuh mungilnya terlihat menuju ke arahku. Kembali kuarahkan mataku pada layar laptop. Jari-jemariku kembali menari di keyboard.

“Ma, temani ke kamar mandi.” Pinta Ihsan, anak lelakiku sambil menggelendot di lengan kiriku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Bisa sendiri kan, Nak. Mama masih kerja.” Jawabku tanpa berhenti mengetik.

Dia hanya diam, tanpa melepaskan lenganku.

“Sana, Naak, sekalian sholat subuh.” Kataku setelah beberapa menit.

“Mama sudah sholat?” tanyanya.

“Belum, sebentar lagi Mama selesai.” Jawabku.

“Bareng Mama saja ke kamar mandi dan sholatnya,” aku pun membiarkannya. Hanya menyuruhnya menunggu di sofa samping tempatku duduk. Lima menit kemudian aku sudah selesai dengan pekerjaanku.

Kulihat wajah Ihsan yang tertidur di sofa karena menungguku. Melihatnya mengingatkanku akan perjuangan kami yang panjang. Selama 9 tahun dia telah menemani hidupku. Dalam hati aku sangat berterima kasih bahwa dia sangat mengerti keadaanku. Tidak banyak menuntut seperti anak-anak lainnya, namun juga bukan berarti aku mengabaikannya.

Kami hanya tinggal berdua. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya kecelakaan dan meninggal. Tidak ada harta yang diwariskan kepada kami karena setahun pertama dalam pernikahan kami penuh perjuangan. Selama 2 tahun kelahirannya, kehidupan kami di-supply orang tua dengan uang pensiun.

Aku harus bisa mandiri. Tidak bisa selamanya menggantungkan hidupku pada orang lain. Tekadku waktu itu. Tahun ketiga dalam kehidupannya, aku bekerja di sebuah perusahaan, sedangkan Ihsan masuk sekolah di PAUD fullday. Kusisihkan rupiah demi rupiah untuk membangun kehidupan kami. Akhirnya di titik inilah aku mampu mencukupi materi yang dia butuhkan, meski mungkin perhatian tidak bisa full karena harus bekerja.

Selalu meneteskan air mata ketika mengingatnya mendampingiku. Kuhapus air mataku sebelum kukecup keningnya. Kutepuk bahunya pelan-pelan untuk membangunkannya, agar bisa segera sholat bersama.
Hari ini aku harus berangkat lebih awal ke kantor karena harus mencetak laporan keuangan menjadi beberapa rangkap sebelum rapat dimulai. Pukul 07.00 WIB kami sudah siap berangkat. Kuantarkan Ihsan menuju sekolahnya yang cukup jauh, sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil. Aku mulai melanjutkan perjalanan ke kantor setelah mengantarkan Ihsan. Selebihnya perjalanan ke kantor juga lancar dan sampai tepat pukul 07.50 WIB.

“Selamat pagi, Bu.” Sapa Pak Herman, seorang satpam yang berdiri di depan pintu utama sambil membukakan pintu. Usianya yang menginjak sekitar 45 tahun tidak menyurutkan semangatnya untuk bekerja demi keluarganya. Meski dihiasi wajah yang keriput dan kulitnya yang gelap, namun senyum dan keramahannya tidak pernah kulihat terlepas dari pribadinya.

“Selamat pagi, Pak.” Jawabku sambil tersenyum.

Kulanjutkan memasuki ruanganku. Perusahaan ini menjadi tempatku awal bekerja hingga saat ini. Aku tidak ingin berpindah karena sebuah alasan. Pemilik perusahaan ini adalah seorang ibu yang menganggapku seperti anak sendiri. Pun beliau tidak memiliki keturunan, sehingga rasa sayangnya dilimpahkan kepadaku dan anakku. Hutang budi membuatku ingin berbakti, dan inilah cara yang kutempuh dengan memberikan loyalitas pada perusahaan.
Aku bersyukur bahwa bekerja di perusahaan ini dipertemukan dengan orang-orang baik, meskipun ada beberapa gelintir orang yang iri dengan kedudukanku di perusahaan. Tidak sedikit yang mengincar kedudukanku, menjadi manajer sekaligus tangan kanan pemilik perusahaan. Akan tetapi pemilik perusahaan, Bu Sofia, bukanlah orang yang mudah percaya dengan orang lain. Kepekaan dan indra keenam yang dimilikinya membantunya memilih orang-orang yang tepat untuk beliau percayai.

Waktu menunjukkan pukul 08.40 WIB. Aku segera menyiapkan berkas-berkas yang akan digunakan untuk rapat, terutama laporan keuangan yang sudah kucetak menjadi beberapa rangkap. Tiba-tiba pintu diketuk.

“Masuk.” Kataku dari dalam ruangan.

Kulihat wajah Pak Herman sambil tersenyum sambil berkata,

“Dipanggil Bu Sofia ke ruangannya, Bu.” Ucapnya.

“Oke, Pak. Saya segera kesana.”

Pak Herman hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Pintu pun ditutup pelan-pelan. Aku segera membawa beberapa barang termasuk laptop untuk rapat. Kulangkahkan kakiku menunju ruangan bu Sofia sebelum masuk ruang rapat. Kuketuk pintu pelan-pelan dan terdengar suara perempuan dari dalam.

“Masuk.”

“Ya, Bu? Memanggil saya?” tanyaku setelah masuk dan menutup pintu ruangan.

“Bagaimana laporannya? Sudah siap?” tanyanya. Beliau tidak mempermasalahkan pesan yang tidak kubalas semalam.

“Sudah, Bu. Hasilnya positif. Beberapa penjualan mengalami peningkatan keuntungan.” Aku menjelaskan perkembangan keuangan perusahaan.

“Alhamdulillah”. Ucapnya.

“Ya sudah, kita langsung ke ruangan rapat saja. Bapak mungkin sudah menunggu di sana.” Kata bu Sofia.

”Baik, Bu”. Kataku sambil mengikuti di belakangnya.

Orang yang disebut Bapak oleh bu Sofia adalah suaminya. Dalam setiap rapat, suami bu Sofia sering hadir untuk melihat perkembangan perusahaan. Meskipun suaminya memiliki perusahaan sendiri, kehadirannya dalam pertemuan rapat perusahaan yang dikelola oleh bu Sofia hal penting baginya. Terutama jika mengalami peningkatan, maka suaminya akan memberikan tambahan modal sebagai investasi.

Pukul 09.00 WIB seluruh pihak sudah hadir dan rapat dimulai. Bu Sofia selalu menegaskan bahwa waktu adalah penting. Oleh karena itu jika sudah waktunya tetap dimulai meskipun belum ada yang hadir. Rapat ditutup sebelum adzan dhuhur berkumandang. Aku bersyukur bahwa semua agenda berjalan lancar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.10 WIB. Sejak awal bekerja, aku berusaha untuk memberikan reward untuk anakku jika pekerjaan lancar seperti mengajaknya jalan-jalan atau membelikan sesuatu. Aku tidak akan bisa bekerja tanpa pengertiannya. Seperti hari ini. Aku ingin mengajaknya jalan-jalan dan bermain di Timezone, tempat kesukaannya.

“Bu, saya boleh ijin pulang lebih awal?” tanyaku pada bu Sofia. Dari awal aku bercerita jujur bahwa aku adalah single parent, dan beliau sangat memahami waktu sempitku memberikan perhatian pada anak.

“Boleh. Sudah tidak ada pekerjaan lagi?” tanyanya.

“Sudah selesai semua, Bu.” Jawabku

Setelah mendapat ijin, aku melangkah keluar untuk menjemput anakku. Beberapa pasang mata melirikku sambil berbisik-bisik dengan teman sebelahnya. Aku sudah tidak peduli dengan komentar mereka, positif ataupun negatif.
Perjalanan kutempuh melewati Malioboro. Cuaca Jogja semakin panas jika siang hari. Perempatan titik nol kilometer semakin panas dengan banyaknya kendaraan terutama mobil yang berhenti karena tertahan lampu merah. Seketika mobil kuberhentikan mendadak ketika mobil didepanku juga berhenti mendadak. Lama mobil tidak bergerak dan membuatku penasaran.
Saat rasa penasaranku memuncak, seorang tukang parkir berjalan di samping mobilku sambil memberi aba-aba dari arah berlawanan. Aku langsung menurunkan kaca mobil dan bertanya.

“Ada apa, Pak? Tumben macet.” Tanyaku.

“Ada demo, Bu.” Jawabnya.

“Owh. Makasih Pak.” Kataku sambil menurunkan kaca jendela. Dia pun mengangguk dan langsung kembali ikut mengatur lalu lintas agar bebas macet.

Perlahan-lahan, mobil di depanku bergerak. Aku pun melajukan mobilku secara pelan-pelan. Kulihat banyak perempuan berjilbab lebar membawa spanduk dan papan bertulisakan “Palestina” di kiri jalan. Para perempuan itu berjalan pelan-pelan menuju arah barat. Saat melewati titik nol kilometer, kulihat disana lebih banyak. Bahkan tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki dengan berbagai jas universitas masing-masing.

Apa yang mereka perjuangkan? Di tengah panas terik seperti ini? Batinku masih penasaran, namun aku meninggalkan mereka yang masih berorasi dan melajukan mobilku semakin cepat menuju sekolah anakku karena waktu pulangnya sudah lewat sekitar 15 menit.

Sekolah sudah mulai sepi.

“Ihsan ada di ruang perpustakaan, Bu.” Kata pak Heri mengejutkanku dari belakang. Aku langsung menolehnya dan dia hanya tersenyum.

“Ah iya, Pak. Terima kasih.” Ucapku. Mungkin ia langsung paham ketika melihatku celingukan mencari Ihsan.

Sampai di ruang perpustakaan, Ihsan masih asyik dengan buku yang dibacanya tentang planet.

“Maaf, Nak. Tadi terjebak macet.” Kataku.

“Iya, Ma. Tidak apa-apa.” Ucapnya sambil lesu.

“Mau jalan-jalan?” tanyaku menawari, dan kulihat senyumnya langsung mengembang dan memelukku.

“Maaauuuuuuuuuuuuuuu!” teriaknya kegirangan.

Sore itu aku benar-benar menyediakan waktuku untuknya, melepas semua pekerjaan dari hati dan pikiranku. Kami menghabiskan waktu bersama hingga malam, dan baru sampai di rumah pukul sembilan malam. Aku menyuruhnya untuk mmbersihkan badan kemudian tidur. Setelah kupastikan dia tidur, aku pun merebahkan badan melepas penat.

Tiba-tiba aku terpikir oleh kejadian tadi siang. Bagaimana mereka rela berpanas-panasan menyuarakan tentang Palestina. Akhirnya aku bangkit dari tidurku, mulai membuka laptop di ruang kerjaku hanya untuk membaca tentang satu negara itu. Meski sulit memahami sejarahnya, namun sedikit gambaran tentangnya mulai terkuak. Penjajahan Yahudi atas Palestina mulai membuatku geram. Semenjak 1947 rakyat Palestina berjuang melawan penjajahan Israel. Berbagai video telah beredar tentang kekejaman Israel. Perempuan dan anak-anak dibantai, bahkan petugas medis ditembak. Ini sangat jauh dari etika perang.  
Mataku mulai meredup. Benar saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kumatikan laptop dan aku beranjak tidur.

Esok paginya, rutinitas seperti biasa. Mengantarkan anak sekolah dan bekerja. Hari ini pekerjaan tidak banyak. Aku masih penasaran tentang Palestina. Aku mencoba menghubungi teman kuliahku yang juga seorang perempuan berjilbab lebar yang seorang aktivis dan menurutku sangat memahami tentang Palestina. Kami masih berhubungan baik meskipun hanya sekedar chat.

“Assalamu’alaikum, Ukhti,” sapaku.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah, Ukh. Apa kabar?” balasnya

“Alhamdulillah baik. Aku mau menanyakan sesuatu.”

“Ya, tentang apa?”

“Palestina. Jelaskan tentangnya.” Pintaku.

“Boleh, Ukh. Tapi tidak sekarang ya. Kebetulan saya lagi di luar ada acara. Nanti saya emailkan saja. Bisa minta alamat email ya?”

“Boleh sekali, Ukh. Maaf merepotkan.”

“Tidak kok, Ukh. Saya senang bisa berbagi ilmu denganmu.”

“Alhamdulillah. Silahkan dilanjut aktivitasnya dulu, Ukh. Nanti saja saya tunggu emailnya. Terima kasih. Wassalamu’alaikum.” Kataku menutup chat via WhatsApp.

“Wa’alaikumsalam warahmatullah.”

Kulanjutkan untuk mengecek beberapa to do list yang mungkin belum selesai. Satu per satu sudah kuselesaikan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Aku berkemas-kemas untuk pulang sambil menjemput Ihsan di sekolahnya.
Sore kuhabiskan bersamanya di rumah. Membuatkan masakan kesukaannya, omelet. Aku mendengarkan cerita kegiatannya selama di sekolah sambil membersihkan rumah. Kulanjutkan dengan menemaninya mengerjakan pekerjaan rumah dan membaca buku hingga pukul 9 malam. Seperti biasanya, setelah memastikan keperluan yang harus dibawa esok, aku mengingatkan agar ia membersihkan diri kemudian tidur.

Aku pun merasa lelah hari ini. Kubaringkan tubuhku dan memejamkan mata. Kudengar bunyi handphone berbunyi. Aku lupa untuk mengatur mode pesawat seperti biasanya. Sebuah email masuk.

“Assalamu’alaikum, Ukh. Ini kulampirkan tulisan yang pernah aku susun, tentang Palestina.”

Aku langsung mengambil kacamataku, duduk di kasur dan fokus membaca lampiran yang dikirimkan temanku.

Palestina merupakan sebuah negara yang sebelum dijajah Israel merupakan negara di bawah kekhilafahan Turki Utsmani (Kesultanan Ottoman) selama sekitar 400 tahun (1517-1918). Sejak penaklukan oleh Sultan Salim pada tahun 1514 hingga keruntuhan kekhilafahan Turki Utsmani pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II, Palestina hidup dengan damai. Kesultanan Ottoman membangun pemerintahan berdasarkan perintah dalam Al-Qur’an yang menerapkan sistem bangsa (millet) yaitu mengizinkan orang-orang dengan berbeda keyakinan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Bahkan orang Nasrani dan Yahudi menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan.

Sistem khilafah Turki Ustmani mulai terancam saat revolusi Perancis, beberapa paham Barat mulai masuk seperti sekulerisme dan nasionalisme. Paham-paham ini pun menjadi alasan berbagai wilayah di bawah pemerintahan Turki Utsmani untuk membebaskan diri dan mendirikan sendiri negaranya. Saat inilah gerakan Zionisme juga  menyusup dengan misi menguasai Palestina yang akan dijadikan negara Yahudi. Perjuangan mempertahankan tanah Palestina terutama saat pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Yahudi yang begitu rakus menawarkan ratusan juta lira untuk memberikan ijin Yahudi membeli tanah di Palestina. Akan tetapi Sultan Hamid II menolaknya.

Sultan Hamid II adalah tokoh terakhir yang berjuang mempertahankan kekhalifahan, memperjuangkan untuk tegaknya Islam di bumi yang berada di bawah pemerintahannya. Dia menolak dengan mati-matian untuk tidak mengijinkan Yahudi memiliki tanah di Palestina. Kebijakan ini membuat Dinasti Turki Usmani dianggap sebagai batu penghalang bagi imprealisme Barat, termasuk Freemasonry yang menyusupkan berbagai paham seperti sekulerisme, nasionalisme, dan paham lain yang bertentangan dengan kehidupan khilafah.

Yahudi dengan gerakan Zionisme-nya berusaha mendirikan negara Yahudi (Juden Staat) di tanah Palestina yang saat itu menjadi wilayah kekuasaan Turki. Yahudi sangat licik berupaya menjatuhkan pemerintahan Sultan Hamid II. Konspirasi untuk meruntuhkan kekuasaan Islam di Turki dilakukan secara gencar. Di antaranya menyusupkan sebanyak 50.000 Yahudi Dunamah dari Salonika, sebuah wilayah yang sekarang menjadi bagian Yunani Timur, ke dalam Gerakan Persatuan dan Pembangunan yang bertujuan merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II.

Pada tahun 1924, Pemerintah Turki Usmani berhasil ditumbangkan dengan menyusupkan kader-kader Freemasonry dengan menggerakan Revolusi Turki Muda (Young Turk Movement) pada 1908 M. Zionisme bersikeras menggagas der Juden Staat yang didukung sepenuhnya oleh Inggris dalam Perjanjian Balfour. Pada 15 Mei 1948 inilah bermula sebuah negara ilegal kaum Yahudi berdiri di tanah kaum muslimin Palestina.

Dibalik runtuhnya khilafah Turki Ustmani ada seorang Yahudi, yang juga tokoh Freemasonry, Mustafa Kemal Ataturk. Dialah yang kemudian menjadi presiden pertama Turki dan akhirnya menghapus jabatan khalifah dengan alasan khilafah adalah milik semua kaum muslim, sehingga tidak pada tempatnya jika hanya dibebankan pada Turki. Khalifah terakhir Turki Usmani, Abdul Majid II, dipersilahkan meninggalkan Turki. Maka berakhirlah kekuasaan Turki Usmani yang telah berdiri kurang lebih 6 abad.

Membaca tulisan temanku membuatku segar dan tidak mengantuk lagi. Dia juga mengirimkan beberapa link sumber untuk kupahami tentang Palestina. Selain tulisan, ada banyak link video yang membuatku menguras air mata melihat nasib kaum muslimin yang terjajah di negeri sendiri. Juga geram dengan perlakuan para Yahudi Israel yang sangat tidak manusiawi.

Semalaman aku begadang membaca berbagai literatur tentang negara tangguh satu ini. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran. Kenapa kita juga harus berjuang mati-matian membela Palestina?

Paginya aku sudah tidak sabar menghubungi temanku lagi.

“Assalamu’alaikum, Ukh. Sudah kubaca dan kubuka semua link yang Ukhti kirimkan. Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Kenapa kita juga harus berjuang mati-matian membela Palestina?”

Pesan WhatsApp-ku belum dibaca sampai siang. Hingga selepas asar baru terlihat pesanku dibaca namun belum ada balasan. Akhirnya pertanyaan itu tenggelam dalam aktivitasku bersama Ihsan. Malam mengantarkanku pada lelah, dan seperti biasa aku cek handphone sebelum kumatikan.

Terlihat sebuah pesan masuk. Ternyata temanku mengirimkan melalui email meskipun tidak membalas chat-ku.

“Assalamu’alaikum, Ukh. Afwan sekali tadi tidak sempat membalas chat di WA. Ini jawaban pertanyaan tadi ya. Palestina bukan hanya sebuah negara dengan muslim-muslimahnya yang sangat tangguh. Disana juga ada Al-Aqsa, sebuah masjid dengan keindahan sejarahnya. Masjid itu termasuk masjid yang dimiliki kaum muslimin, satu dari tiga masjid suci umat Islam seluruh dunia, selain Masjidil Haram di Makah dan Masjid Nabawi di Madinah. Itu artinya Al-Aqsa adalah tanggung jawab kita bersama.

Masjid Al-Aqsa merupakan masjid kedua yang pertama kali dibangun di bumi. Masjid Al-Aqsa juga menjadi saksi dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Kenapa Yahudi Israel sangat bersikeras merebut Palestina terutama menguasai Al-Aqsa? Sejarah mencatat, di kota itu, Nabi Sulaiman membangun sebuah tempat ibadah Yahudi pertama yang indah dan megah yang disebut dengan Haekal atau Harem Syarief (tempat yang mulia). Tempat itu juga dilengkapi dengan singgasananya. Bagi kaum Yahudi, Haikal Sulaiman merupakan pusat dari dunia, bukan Makkah. Yahudi juga meyakini bahwa Haikal Sulaiman pusat seluruh kepercayaan dan pemerintahan segala bangsa.

Itulah kenapa Yahudi sangat keras merebut Palestina, untuk menghancurkan Al-Aqsa dan membangun kembali Haikal Sulaiman. Sejak menjajah Palestina, kaum Zionis selalu berupaya merusak Masjidil Aqsha. Pada tahun 1969, sekelompok Yahudi fanatik berupaya membakar Masjid ini. Bahkan melakukan penggalian di bawah tanah Masjidil Aqsha dengan alasan tengah melakukan riset arkeologis, padahal untuk menghancurkan masjid Al-Aqsa dengan air dalam jumlah besar melalui terowongan-terowongan yang digalinya untuk merusak pondasi masjid. Bukan rahasia lagi bahwa Yahudi sangat menginginkan Palestina untuk merusak masjid Al-Aqsa. Selain itu, Zionis Israel melarang kumandang adzan Subuh di Kota Al-Quds dengan alasan mengganggu warga permukiman Zionis. Bahkan Zionis kini berani menyakiti, menyerang bahkan membunuh warga Palestina yang memasuki wilayah Masjid Al-Aqsa untuk mendirikan shalat di sana. Untuk shalat saja dilarang, bahkan siapapun disakiti, anak-anak, perempuan, warga sipil. Mereka hanya ingin shalat, memenuhi undangan Rabb untuk shalat lima waktu. Padahal beribadah adalah sebuah hak setiap manusia.

Alasan lain adalah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah bersabda bahwa perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam (Shahih Muslim No.4685). Maka jika saudara kita disana disakiti, maka kita pun merasakan sakitnya. Itulah kenapa kita membela kaum muslimin disana, kita pun juga sakit disini. Jadi, membela Palestina tidak hanya urusan kemanusiaan, namun urusan keimanan.

Jika Ukhti melihat, muslimin di Palestina adalah kaum yang sangat tangguh. Bayangkan sejak tahun 1947 mereka dijajah, hingga detik ini mereka tidak mengeluh. Diantara tumpahan darah dan air mata, diantara desing peluru, hati mereka lebih kuat dari peluru-peluru yang dilancarkan Israel. Hingga kematian menjemput, mereka tersenyum dengan jihad mereka. Diantara teriakan tentara Israel yang ganas melarang ibadah, teriakan takbir lebih menggema di seluruh Quds. Mereka tidak mengemis dan menyerah. Mereka hanya punya hati pada Pemilik Langit. Bahkan diantara kesulitan yang mereka hadapi, anak-anak Palestina menghafal Al-Qur’an. Tidak ada waktu untuk bermaksiat karena setiap detik bisa saja bertemu dengan Rabb. Doakan mereka Ukht, doa menjadi senjata kaum muslimin.

Penjelasannya sangat runut meski panjang. Mampu membuka mataku, menemukan sudut pandang baru tentang satu negara yang menjadi inspirasi hidupku. Hakikat hidup mulai kutemukan. Jika di sini aku memiliki kebebasan beribadah, seharusnya bisa lebih khusyuk melaksanakan perintah Allah SWT. Jika disini aku memiliki kesehatan, maka harusnya Al-Qur’an lebih bisa kuhafal dan kupelajari.
Namun kenyataan sangat jauh. Untuk sekedar sholat lima waktu saja sering tidak tepat. Allah yang memanggilku lewat adzan-Nya, namun aku sering terlambat datang. Jika Allah mencariku, aku tidak ditemukan di barisan sholat tepat waktu seperti mereka.
Mereka, muslimin Palestian berada di barisan kesabaran. Bagaimana denganku? Aku masih mengeluh padahal kehilanganku terhadap seseorang tidaklah seburuk anak-anak Gaza yang kehilangan orang tua dimasa kecilnya, kehilangan rumah dan materi, kehilangan lingkungan untuk tumbuh besar seperti anak-anak merdeka lainnya. Tapi mereka kehilangan waktu untuk hafalan Al-Qur’an.
Mereka, muslimin Palestina berada pada barisan jihad. Aku hanya berjihad dengan menafkahi anakku. Jauh dari perjuangan mereka. Anak-anak dan perempuan yang seharusnya dilindungi, dengan ketidakmanusiaan Yahudi Israel mereka berjuang bertahan.

Cintaku menyusup di relung hati, untuk para perempuan saudaraku di sana, untuk anak-anak dengan kehidupan yang jauh dari hingar bingar duniawi, untuk para lelaki yang berjuang mempertahankan jengkal demi jengkal yang menjadi hak mereka, untuk para lansia yang masih tegap menentang kesewenangan penjajah. Tapi lihatlah diantara itu semua, mereka masih bisa tersenyum dan tidak lari, mereka tidak mengemis pada negara-negara adikuasa, karena mereka yakin pada janji Allah, yakin pada Pemilik Jiwa, yakin bahwa di sisi Allah sebaik-baik tempat kembali. Jihad.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Kumatikan handphone-ku. Kuberanjak menengok kamar anak lelakiku. Kukecup keningnya dan kudoakan menjadi generasi sholeh seperti anak-anak Palestina yang tangguh. Aku bersyukur bahwa kami hidup dengan kebebasan menjalankan agama.

Segera kulangkahkan kaki mengambil air wudhu. Sudah sangat lama tidak tahajud meskipun Dia sering memberiku waktu sebelum fajar. Kali ini tidak hanya doa untukku dan anakku, tapi juga jiwa-jiwa yang di Palestina. Cinta ini mulai tumbuh pada bumi Gaza. Ruhku seperti menjejak di bumi Palestina, berada diantara kehidupan para perempuan dan anak-anak Gaza yang begitu tangguh menghadapi zionisme selama berpuluh-puluh tahun, dengan luka yang tak pernah kubayangkan.


---------------