Ragaku belum pernah
menjelajah pada tanah Gaza. Penglihatanku tidak mengenal satu per satu wajah-wajah
yang terluka, terpampang di berbagai media maupun baliho di beberapa sudut Jogja.
Tapi, kenapa hati ini sungguh terluka melihat mereka?
Disinilah
cintaku bermula pada bumi Palestina, tanah yang diberkahi Allah SWT itu.
Alarm
pukul 3 berdering semakin kencang, menjadi pengingatku untuk segera menjauh
dari tempat tidur yang nyaman. Segera kumatikan alarm dan beranjak menengok
anak lelakiku satu-satunya di kamar sebelah. Masih lelap dan pulas. Kututup
pelan-pelan pintu kamarnya dan kulanjutkan menuju kamar mandi. Kubasuh wajah
dan tanganku, langkahku berayun menuju ruang kerja.
Laptop
masih bertengger di atas meja kerjaku. Kunyalakan lampu meja kerja tanpa
kunyalakan lampu ruangan. Secangkir kopi yang menemaniku lembur semalam sudah dingin.
Kuminum beberapa teguk yang sudah tinggal separuh. Mataku mulai fokus pada
angka-angka di layar laptop. Tanganku dengan cepat mengetik kata demi kata, menyusun
laporan keuangan perusahaan yang harus diserahkan pagi ini.
Hawa
masih begitu dingin menjelang fajar. Suasana sepi ruangan dan cahaya ruangan
yang tidak terlalu terang menambah hening. Hanya terdengar suara detak jam
dinding di ruangan dan ketikan keybord
diantara suara kokok ayam jantan yang mulai satu per satu terdengar. Tak terasa
waktu menunjukkan pukul 04.10 WIB di pojok kanan bawah layar laptopku. Pekerjaan
pun hampir selesai, tinggal membuat analisis dan kesimpulannya.
Kuhentikan
aktivitas sambil menghabiskan sisa terakhir kopiku. Kubuka handphone yang sejak semalam dalam mode pesawat. Beberapa pesan dan
email masuk, kuabaikan dan kubuka yang kuanggap penting.
“Jangan lupa laporan
keuangan besok disiapkan. Kita rapat pukul 09.00 WIB.”
Sebuah pesan WhatsApp dari owner perusahaan tempatku bekerja.
Kuletakkan kembali handphone-ku. Tidak kubalas pesannya.
Aku
beranjak menuju dapur untuk membuat kopi lagi. Sejenak kuhilangkan penat karena
bekerja sembari istirahat, ditemani kopi dan setoples wafer coklat kesukaan, dengan
membuka beberapa akun sosial media. Tidak ada yang menarik, hanya beberapa repost tentang konflik-konflik yang
sedang terjadi, Palestina, Rohingya, Suriah, atau beberapa jualan online yang sedang menjamur.
Sayup-sayup
mulai terdengar suara adzan. Dari satu arah, kemudian berlanjut dari berbagai
penjuru. Kututup akun sosial media dan kulanjutkan pekerjaanku. Tinggal
kesimpulan. Kulihat lagi jam di sudut kanan bawah laptop, masih pukul 04.50
WIB.
Masih ada waktu buat
sholat subuh. Tanggung. Sedikit lagi. Lanjutkan saja.
Begitu terdengar bisikan godaan.
Akhirnya
kuputuskan melanjutkan pekerjaan menyusun kesimpulan. Baru mengetik beberapa
kata terdengar pintu ruangan berderit. Kutolehkan kepala melihat ke arah pintu
di samping kiri tempatku duduk. Seraut wajah samar dengan tubuh mungilnya
terlihat menuju ke arahku. Kembali kuarahkan mataku pada layar laptop.
Jari-jemariku kembali menari di keyboard.
“Ma,
temani ke kamar mandi.” Pinta Ihsan, anak lelakiku sambil menggelendot di
lengan kiriku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Bisa
sendiri kan, Nak. Mama masih kerja.” Jawabku tanpa berhenti mengetik.
Dia
hanya diam, tanpa melepaskan lenganku.
“Sana,
Naak, sekalian sholat subuh.” Kataku setelah beberapa menit.
“Mama
sudah sholat?” tanyanya.
“Belum,
sebentar lagi Mama selesai.” Jawabku.
“Bareng
Mama saja ke kamar mandi dan sholatnya,” aku pun membiarkannya. Hanya
menyuruhnya menunggu di sofa samping tempatku duduk. Lima menit kemudian aku
sudah selesai dengan pekerjaanku.
Kulihat
wajah Ihsan yang tertidur di sofa karena menungguku. Melihatnya mengingatkanku
akan perjuangan kami yang panjang. Selama 9 tahun dia telah menemani hidupku.
Dalam hati aku sangat berterima kasih bahwa dia sangat mengerti keadaanku.
Tidak banyak menuntut seperti anak-anak lainnya, namun juga bukan berarti aku
mengabaikannya.
Kami
hanya tinggal berdua. Sebulan sebelum kelahirannya, ayahnya kecelakaan dan
meninggal. Tidak ada harta yang diwariskan kepada kami karena setahun pertama
dalam pernikahan kami penuh perjuangan. Selama 2 tahun kelahirannya, kehidupan
kami di-supply orang tua dengan uang
pensiun.
Aku harus bisa mandiri.
Tidak bisa selamanya menggantungkan hidupku pada orang lain.
Tekadku waktu itu. Tahun ketiga dalam kehidupannya, aku bekerja di sebuah perusahaan,
sedangkan Ihsan masuk sekolah di PAUD fullday.
Kusisihkan rupiah demi rupiah untuk membangun kehidupan kami. Akhirnya di titik
inilah aku mampu mencukupi materi yang dia butuhkan, meski mungkin perhatian
tidak bisa full karena harus bekerja.
Selalu
meneteskan air mata ketika mengingatnya mendampingiku. Kuhapus air mataku
sebelum kukecup keningnya. Kutepuk bahunya pelan-pelan untuk membangunkannya,
agar bisa segera sholat bersama.
Hari
ini aku harus berangkat lebih awal ke kantor karena harus mencetak laporan
keuangan menjadi beberapa rangkap sebelum rapat dimulai. Pukul 07.00 WIB kami
sudah siap berangkat. Kuantarkan Ihsan menuju sekolahnya yang cukup jauh,
sekitar 30 menit perjalanan dengan mobil. Aku mulai melanjutkan perjalanan ke
kantor setelah mengantarkan Ihsan. Selebihnya perjalanan ke kantor juga lancar
dan sampai tepat pukul 07.50 WIB.
“Selamat
pagi, Bu.” Sapa Pak Herman, seorang satpam yang berdiri di depan pintu utama
sambil membukakan pintu. Usianya yang menginjak sekitar 45 tahun tidak
menyurutkan semangatnya untuk bekerja demi keluarganya. Meski dihiasi wajah
yang keriput dan kulitnya yang gelap, namun senyum dan keramahannya tidak
pernah kulihat terlepas dari pribadinya.
“Selamat
pagi, Pak.” Jawabku sambil tersenyum.
Kulanjutkan
memasuki ruanganku. Perusahaan ini menjadi tempatku awal bekerja hingga saat
ini. Aku tidak ingin berpindah karena sebuah alasan. Pemilik perusahaan ini
adalah seorang ibu yang menganggapku seperti anak sendiri. Pun beliau tidak
memiliki keturunan, sehingga rasa sayangnya dilimpahkan kepadaku dan anakku.
Hutang budi membuatku ingin berbakti, dan inilah cara yang kutempuh dengan
memberikan loyalitas pada perusahaan.
Aku
bersyukur bahwa bekerja di perusahaan ini dipertemukan dengan orang-orang baik,
meskipun ada beberapa gelintir orang yang iri dengan kedudukanku di perusahaan.
Tidak sedikit yang mengincar kedudukanku, menjadi manajer sekaligus tangan
kanan pemilik perusahaan. Akan tetapi pemilik perusahaan, Bu Sofia, bukanlah
orang yang mudah percaya dengan orang lain. Kepekaan dan indra keenam yang
dimilikinya membantunya memilih orang-orang yang tepat untuk beliau percayai.
Waktu
menunjukkan pukul 08.40 WIB. Aku segera menyiapkan berkas-berkas yang akan
digunakan untuk rapat, terutama laporan keuangan yang sudah kucetak menjadi
beberapa rangkap. Tiba-tiba pintu diketuk.
“Masuk.”
Kataku dari dalam ruangan.
Kulihat
wajah Pak Herman sambil tersenyum sambil berkata,
“Dipanggil
Bu Sofia ke ruangannya, Bu.” Ucapnya.
“Oke,
Pak. Saya segera kesana.”
Pak
Herman hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Pintu pun ditutup
pelan-pelan. Aku segera membawa beberapa barang termasuk laptop untuk rapat.
Kulangkahkan kakiku menunju ruangan bu Sofia sebelum masuk ruang rapat. Kuketuk
pintu pelan-pelan dan terdengar suara perempuan dari dalam.
“Masuk.”
“Ya,
Bu? Memanggil saya?” tanyaku setelah masuk dan menutup pintu ruangan.
“Bagaimana
laporannya? Sudah siap?” tanyanya. Beliau tidak mempermasalahkan pesan yang
tidak kubalas semalam.
“Sudah,
Bu. Hasilnya positif. Beberapa penjualan mengalami peningkatan keuntungan.” Aku
menjelaskan perkembangan keuangan perusahaan.
“Alhamdulillah”.
Ucapnya.
“Ya
sudah, kita langsung ke ruangan rapat saja. Bapak mungkin sudah menunggu di
sana.” Kata bu Sofia.
”Baik,
Bu”. Kataku sambil mengikuti di belakangnya.
Orang
yang disebut Bapak oleh bu Sofia adalah suaminya. Dalam setiap rapat, suami bu
Sofia sering hadir untuk melihat perkembangan perusahaan. Meskipun suaminya
memiliki perusahaan sendiri, kehadirannya dalam pertemuan rapat perusahaan yang
dikelola oleh bu Sofia hal penting baginya. Terutama jika mengalami
peningkatan, maka suaminya akan memberikan tambahan modal sebagai investasi.
Pukul
09.00 WIB seluruh pihak sudah hadir dan rapat dimulai. Bu Sofia selalu
menegaskan bahwa waktu adalah penting. Oleh karena itu jika sudah waktunya
tetap dimulai meskipun belum ada yang hadir. Rapat ditutup sebelum adzan dhuhur
berkumandang. Aku bersyukur bahwa semua agenda berjalan lancar.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 14.10 WIB. Sejak awal bekerja, aku berusaha untuk
memberikan reward untuk anakku jika
pekerjaan lancar seperti mengajaknya jalan-jalan atau membelikan sesuatu. Aku
tidak akan bisa bekerja tanpa pengertiannya. Seperti hari ini. Aku ingin
mengajaknya jalan-jalan dan bermain di Timezone,
tempat kesukaannya.
“Bu,
saya boleh ijin pulang lebih awal?” tanyaku pada bu Sofia. Dari awal aku bercerita
jujur bahwa aku adalah single parent,
dan beliau sangat memahami waktu sempitku memberikan perhatian pada anak.
“Boleh.
Sudah tidak ada pekerjaan lagi?” tanyanya.
“Sudah
selesai semua, Bu.” Jawabku
Setelah
mendapat ijin, aku melangkah keluar untuk menjemput anakku. Beberapa pasang
mata melirikku sambil berbisik-bisik dengan teman sebelahnya. Aku sudah tidak
peduli dengan komentar mereka, positif ataupun negatif.
Perjalanan
kutempuh melewati Malioboro. Cuaca Jogja semakin panas jika siang hari. Perempatan
titik nol kilometer semakin panas dengan banyaknya kendaraan terutama mobil
yang berhenti karena tertahan lampu merah. Seketika mobil kuberhentikan
mendadak ketika mobil didepanku juga berhenti mendadak. Lama mobil tidak
bergerak dan membuatku penasaran.
Saat
rasa penasaranku memuncak, seorang tukang parkir berjalan di samping mobilku
sambil memberi aba-aba dari arah berlawanan. Aku langsung menurunkan kaca mobil
dan bertanya.
“Ada
apa, Pak? Tumben macet.” Tanyaku.
“Ada
demo, Bu.” Jawabnya.
“Owh.
Makasih Pak.” Kataku sambil menurunkan kaca jendela. Dia pun mengangguk dan
langsung kembali ikut mengatur lalu lintas agar bebas macet.
Perlahan-lahan,
mobil di depanku bergerak. Aku pun melajukan mobilku secara pelan-pelan.
Kulihat banyak perempuan berjilbab lebar membawa spanduk dan papan bertulisakan
“Palestina” di kiri jalan. Para perempuan itu berjalan pelan-pelan menuju arah
barat. Saat melewati titik nol kilometer, kulihat disana lebih banyak. Bahkan
tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki dengan berbagai jas universitas
masing-masing.
Apa yang mereka
perjuangkan? Di tengah panas terik seperti ini?
Batinku masih penasaran, namun aku meninggalkan mereka yang masih berorasi dan
melajukan mobilku semakin cepat menuju sekolah anakku karena waktu pulangnya
sudah lewat sekitar 15 menit.
Sekolah
sudah mulai sepi.
“Ihsan
ada di ruang perpustakaan, Bu.” Kata pak Heri mengejutkanku dari belakang. Aku
langsung menolehnya dan dia hanya tersenyum.
“Ah
iya, Pak. Terima kasih.” Ucapku. Mungkin ia langsung paham ketika melihatku
celingukan mencari Ihsan.
Sampai
di ruang perpustakaan, Ihsan masih asyik dengan buku yang dibacanya tentang
planet.
“Maaf,
Nak. Tadi terjebak macet.” Kataku.
“Iya,
Ma. Tidak apa-apa.” Ucapnya sambil lesu.
“Mau
jalan-jalan?” tanyaku menawari, dan kulihat senyumnya langsung mengembang dan
memelukku.
“Maaauuuuuuuuuuuuuuu!”
teriaknya kegirangan.
Sore
itu aku benar-benar menyediakan waktuku untuknya, melepas semua pekerjaan dari
hati dan pikiranku. Kami menghabiskan waktu bersama hingga malam, dan baru
sampai di rumah pukul sembilan malam. Aku menyuruhnya untuk mmbersihkan badan
kemudian tidur. Setelah kupastikan dia tidur, aku pun merebahkan badan melepas
penat.
Tiba-tiba
aku terpikir oleh kejadian tadi siang. Bagaimana mereka rela berpanas-panasan
menyuarakan tentang Palestina. Akhirnya aku bangkit dari tidurku, mulai membuka
laptop di ruang kerjaku hanya untuk membaca tentang satu negara itu. Meski sulit
memahami sejarahnya, namun sedikit gambaran tentangnya mulai terkuak.
Penjajahan Yahudi atas Palestina mulai membuatku geram. Semenjak 1947 rakyat
Palestina berjuang melawan penjajahan Israel. Berbagai video telah beredar
tentang kekejaman Israel. Perempuan dan anak-anak dibantai, bahkan petugas
medis ditembak. Ini sangat jauh dari etika perang.
Mataku
mulai meredup. Benar saja, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kumatikan
laptop dan aku beranjak tidur.
Esok
paginya, rutinitas seperti biasa. Mengantarkan anak sekolah dan bekerja. Hari
ini pekerjaan tidak banyak. Aku masih penasaran tentang Palestina. Aku mencoba
menghubungi teman kuliahku yang juga seorang perempuan berjilbab lebar yang
seorang aktivis dan menurutku sangat memahami tentang Palestina. Kami masih
berhubungan baik meskipun hanya sekedar chat.
“Assalamu’alaikum,
Ukhti,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah, Ukh. Apa kabar?” balasnya
“Alhamdulillah
baik. Aku mau menanyakan sesuatu.”
“Ya,
tentang apa?”
“Palestina.
Jelaskan tentangnya.” Pintaku.
“Boleh,
Ukh. Tapi tidak sekarang ya. Kebetulan saya lagi di luar ada acara. Nanti saya
emailkan saja. Bisa minta alamat email ya?”
“Boleh
sekali, Ukh. Maaf merepotkan.”
“Tidak
kok, Ukh. Saya senang bisa berbagi ilmu denganmu.”
“Alhamdulillah.
Silahkan dilanjut aktivitasnya dulu, Ukh. Nanti saja saya tunggu emailnya.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum.” Kataku menutup chat via WhatsApp.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah.”
Kulanjutkan
untuk mengecek beberapa to do list
yang mungkin belum selesai. Satu per satu sudah kuselesaikan. Waktu sudah
menunjukkan pukul 3 sore. Aku berkemas-kemas untuk pulang sambil menjemput
Ihsan di sekolahnya.
Sore
kuhabiskan bersamanya di rumah. Membuatkan masakan kesukaannya, omelet. Aku
mendengarkan cerita kegiatannya selama di sekolah sambil membersihkan rumah. Kulanjutkan
dengan menemaninya mengerjakan pekerjaan rumah dan membaca buku hingga pukul 9
malam. Seperti biasanya, setelah memastikan keperluan yang harus dibawa esok,
aku mengingatkan agar ia membersihkan diri kemudian tidur.
Aku
pun merasa lelah hari ini. Kubaringkan tubuhku dan memejamkan mata. Kudengar
bunyi handphone berbunyi. Aku lupa
untuk mengatur mode pesawat seperti biasanya. Sebuah email masuk.
“Assalamu’alaikum, Ukh.
Ini kulampirkan tulisan yang pernah aku susun, tentang Palestina.”
Aku
langsung mengambil kacamataku, duduk di kasur dan fokus membaca lampiran yang
dikirimkan temanku.
Palestina
merupakan sebuah negara yang sebelum dijajah Israel merupakan negara di bawah
kekhilafahan Turki Utsmani (Kesultanan Ottoman) selama sekitar 400 tahun
(1517-1918). Sejak penaklukan oleh Sultan Salim pada tahun 1514 hingga
keruntuhan kekhilafahan Turki Utsmani pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid
II, Palestina hidup dengan damai. Kesultanan Ottoman membangun pemerintahan
berdasarkan perintah dalam Al-Qur’an yang menerapkan sistem bangsa (millet)
yaitu mengizinkan orang-orang dengan berbeda keyakinan hidup menurut keyakinan
dan sistem hukumnya sendiri. Bahkan orang Nasrani dan Yahudi menemukan
toleransi, keamanan, dan kebebasan.
Sistem khilafah
Turki Ustmani mulai terancam saat revolusi Perancis, beberapa paham Barat mulai
masuk seperti sekulerisme dan nasionalisme. Paham-paham ini pun menjadi alasan
berbagai wilayah di bawah pemerintahan Turki Utsmani untuk membebaskan diri dan
mendirikan sendiri negaranya. Saat inilah gerakan Zionisme juga menyusup dengan misi menguasai Palestina yang
akan dijadikan negara Yahudi. Perjuangan mempertahankan tanah Palestina
terutama saat pemerintahan Sultan Abdul Hamid II. Yahudi yang begitu rakus
menawarkan ratusan juta lira untuk memberikan ijin Yahudi membeli tanah di
Palestina. Akan tetapi Sultan Hamid II menolaknya.
Sultan Hamid II
adalah tokoh terakhir yang berjuang mempertahankan kekhalifahan, memperjuangkan
untuk tegaknya Islam di bumi yang berada di bawah pemerintahannya. Dia menolak dengan
mati-matian untuk tidak mengijinkan Yahudi memiliki tanah di Palestina.
Kebijakan ini membuat Dinasti Turki Usmani dianggap sebagai batu penghalang
bagi imprealisme Barat, termasuk Freemasonry yang menyusupkan berbagai paham
seperti sekulerisme, nasionalisme, dan paham lain yang bertentangan dengan
kehidupan khilafah.
Yahudi dengan gerakan
Zionisme-nya berusaha mendirikan negara Yahudi (Juden Staat) di tanah Palestina
yang saat itu menjadi wilayah kekuasaan Turki. Yahudi sangat licik berupaya
menjatuhkan pemerintahan Sultan Hamid II. Konspirasi untuk meruntuhkan
kekuasaan Islam di Turki dilakukan secara gencar. Di antaranya menyusupkan
sebanyak 50.000 Yahudi Dunamah dari Salonika, sebuah wilayah yang sekarang
menjadi bagian Yunani Timur, ke dalam Gerakan Persatuan dan Pembangunan yang
bertujuan merongrong kekuasaan Sultan Abdul Hamid II.
Pada tahun 1924,
Pemerintah Turki Usmani berhasil ditumbangkan dengan menyusupkan kader-kader
Freemasonry dengan menggerakan Revolusi Turki Muda (Young Turk Movement) pada
1908 M. Zionisme bersikeras menggagas der Juden Staat yang didukung sepenuhnya
oleh Inggris dalam Perjanjian Balfour. Pada 15 Mei 1948 inilah bermula sebuah
negara ilegal kaum Yahudi berdiri di tanah kaum muslimin Palestina.
Dibalik
runtuhnya khilafah Turki Ustmani ada seorang Yahudi, yang juga tokoh
Freemasonry, Mustafa Kemal Ataturk. Dialah yang kemudian menjadi presiden
pertama Turki dan akhirnya menghapus jabatan khalifah dengan alasan khilafah
adalah milik semua kaum muslim, sehingga tidak pada tempatnya jika hanya
dibebankan pada Turki. Khalifah terakhir Turki Usmani, Abdul Majid II,
dipersilahkan meninggalkan Turki. Maka berakhirlah kekuasaan Turki Usmani yang
telah berdiri kurang lebih 6 abad.
Membaca
tulisan temanku membuatku segar dan tidak mengantuk lagi. Dia juga mengirimkan
beberapa link sumber untuk kupahami
tentang Palestina. Selain tulisan, ada banyak link video yang membuatku menguras air mata melihat nasib kaum
muslimin yang terjajah di negeri sendiri. Juga geram dengan perlakuan para
Yahudi Israel yang sangat tidak manusiawi.
Semalaman
aku begadang membaca berbagai literatur tentang negara tangguh satu ini. Tapi
ada satu hal yang membuatku penasaran. Kenapa
kita juga harus berjuang mati-matian membela Palestina?
Paginya
aku sudah tidak sabar menghubungi temanku lagi.
“Assalamu’alaikum,
Ukh. Sudah kubaca dan kubuka semua link
yang Ukhti kirimkan. Tapi ada satu lagi pertanyaanku. Kenapa kita juga harus
berjuang mati-matian membela Palestina?”
Pesan
WhatsApp-ku belum dibaca sampai
siang. Hingga selepas asar baru terlihat pesanku dibaca namun belum ada
balasan. Akhirnya pertanyaan itu tenggelam dalam aktivitasku bersama Ihsan.
Malam mengantarkanku pada lelah, dan seperti biasa aku cek handphone sebelum kumatikan.
Terlihat
sebuah pesan masuk. Ternyata temanku mengirimkan melalui email meskipun tidak
membalas chat-ku.
“Assalamu’alaikum,
Ukh. Afwan sekali tadi tidak sempat membalas chat di WA. Ini jawaban pertanyaan
tadi ya. Palestina bukan hanya sebuah negara dengan muslim-muslimahnya yang
sangat tangguh. Disana juga ada Al-Aqsa, sebuah masjid dengan keindahan
sejarahnya. Masjid itu termasuk masjid yang dimiliki kaum muslimin, satu dari
tiga masjid suci umat Islam seluruh dunia, selain Masjidil Haram di Makah dan
Masjid Nabawi di Madinah. Itu artinya Al-Aqsa adalah tanggung jawab kita
bersama.
Masjid Al-Aqsa
merupakan masjid kedua yang pertama kali dibangun di bumi. Masjid Al-Aqsa juga
menjadi saksi dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Kenapa Yahudi Israel
sangat bersikeras merebut Palestina terutama menguasai Al-Aqsa? Sejarah
mencatat, di kota itu, Nabi Sulaiman membangun sebuah tempat ibadah Yahudi
pertama yang indah dan megah yang disebut dengan Haekal atau Harem Syarief (tempat
yang mulia). Tempat itu juga dilengkapi dengan singgasananya. Bagi kaum Yahudi,
Haikal Sulaiman merupakan pusat dari dunia, bukan Makkah. Yahudi juga meyakini
bahwa Haikal Sulaiman pusat seluruh kepercayaan dan pemerintahan segala bangsa.
Itulah kenapa
Yahudi sangat keras merebut Palestina, untuk menghancurkan Al-Aqsa dan
membangun kembali Haikal Sulaiman. Sejak menjajah Palestina, kaum Zionis selalu
berupaya merusak Masjidil Aqsha. Pada tahun 1969, sekelompok Yahudi fanatik
berupaya membakar Masjid ini. Bahkan melakukan penggalian di bawah tanah
Masjidil Aqsha dengan alasan tengah melakukan riset arkeologis, padahal untuk
menghancurkan masjid Al-Aqsa dengan air dalam jumlah besar melalui terowongan-terowongan
yang digalinya untuk merusak pondasi masjid. Bukan rahasia lagi bahwa Yahudi
sangat menginginkan Palestina untuk merusak masjid Al-Aqsa. Selain itu, Zionis Israel
melarang kumandang adzan Subuh di Kota Al-Quds dengan alasan mengganggu warga
permukiman Zionis. Bahkan Zionis kini berani menyakiti, menyerang bahkan
membunuh warga Palestina yang memasuki wilayah Masjid Al-Aqsa untuk mendirikan
shalat di sana. Untuk shalat saja dilarang, bahkan siapapun disakiti,
anak-anak, perempuan, warga sipil. Mereka hanya ingin shalat, memenuhi undangan
Rabb untuk shalat lima waktu. Padahal beribadah adalah sebuah hak setiap
manusia.
Alasan lain
adalah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pernah bersabda bahwa perumpamaan
orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling cinta
adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka
anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam (Shahih
Muslim No.4685). Maka jika saudara kita disana disakiti, maka kita pun
merasakan sakitnya. Itulah kenapa kita membela kaum muslimin disana, kita pun
juga sakit disini. Jadi, membela Palestina tidak hanya urusan kemanusiaan,
namun urusan keimanan.
Jika Ukhti melihat,
muslimin di Palestina adalah kaum yang sangat tangguh. Bayangkan sejak tahun
1947 mereka dijajah, hingga detik ini mereka tidak mengeluh. Diantara tumpahan
darah dan air mata, diantara desing peluru, hati mereka lebih kuat dari
peluru-peluru yang dilancarkan Israel. Hingga kematian menjemput, mereka
tersenyum dengan jihad mereka. Diantara teriakan tentara Israel yang ganas
melarang ibadah, teriakan takbir lebih menggema di seluruh Quds. Mereka tidak
mengemis dan menyerah. Mereka hanya punya hati pada Pemilik Langit. Bahkan
diantara kesulitan yang mereka hadapi, anak-anak Palestina menghafal Al-Qur’an.
Tidak ada waktu untuk bermaksiat karena setiap detik bisa saja bertemu dengan
Rabb. Doakan mereka Ukht, doa menjadi senjata kaum muslimin.
Penjelasannya
sangat runut meski panjang. Mampu membuka mataku, menemukan sudut pandang baru
tentang satu negara yang menjadi inspirasi hidupku. Hakikat hidup mulai
kutemukan. Jika di sini aku memiliki kebebasan beribadah, seharusnya bisa lebih
khusyuk melaksanakan perintah Allah SWT. Jika disini aku memiliki kesehatan,
maka harusnya Al-Qur’an lebih bisa kuhafal dan kupelajari.
Namun
kenyataan sangat jauh. Untuk sekedar sholat lima waktu saja sering tidak tepat.
Allah yang memanggilku lewat adzan-Nya, namun aku sering terlambat datang. Jika
Allah mencariku, aku tidak ditemukan di barisan sholat tepat waktu seperti
mereka.
Mereka,
muslimin Palestian berada di barisan kesabaran. Bagaimana denganku? Aku masih
mengeluh padahal kehilanganku terhadap seseorang tidaklah seburuk anak-anak
Gaza yang kehilangan orang tua dimasa kecilnya, kehilangan rumah dan materi,
kehilangan lingkungan untuk tumbuh besar seperti anak-anak merdeka lainnya.
Tapi mereka kehilangan waktu untuk hafalan Al-Qur’an.
Mereka,
muslimin Palestina berada pada barisan jihad. Aku hanya berjihad dengan
menafkahi anakku. Jauh dari perjuangan mereka. Anak-anak dan perempuan yang
seharusnya dilindungi, dengan ketidakmanusiaan Yahudi Israel mereka berjuang
bertahan.
Cintaku
menyusup di relung hati, untuk para perempuan saudaraku di sana, untuk
anak-anak dengan kehidupan yang jauh dari hingar bingar duniawi, untuk para
lelaki yang berjuang mempertahankan jengkal demi jengkal yang menjadi hak
mereka, untuk para lansia yang masih tegap menentang kesewenangan penjajah.
Tapi lihatlah diantara itu semua, mereka masih bisa tersenyum dan tidak lari, mereka
tidak mengemis pada negara-negara adikuasa, karena mereka yakin pada janji
Allah, yakin pada Pemilik Jiwa, yakin bahwa di sisi Allah sebaik-baik tempat
kembali. Jihad.
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Kumatikan handphone-ku. Kuberanjak menengok kamar anak lelakiku. Kukecup
keningnya dan kudoakan menjadi generasi sholeh seperti anak-anak Palestina yang
tangguh. Aku bersyukur bahwa kami hidup dengan kebebasan menjalankan agama.
Segera
kulangkahkan kaki mengambil air wudhu. Sudah sangat lama tidak tahajud meskipun
Dia sering memberiku waktu sebelum fajar. Kali ini tidak hanya doa untukku dan
anakku, tapi juga jiwa-jiwa yang di Palestina. Cinta ini mulai tumbuh pada bumi
Gaza. Ruhku seperti menjejak di bumi Palestina, berada diantara kehidupan para
perempuan dan anak-anak Gaza yang begitu tangguh menghadapi zionisme selama berpuluh-puluh
tahun, dengan luka yang tak pernah kubayangkan.