Jumat, 12 November 2021

AKHIR HAYAT

Kehilangan seorang ibu itu sama halnya dengan kehilangan surga, sedihnya luar biasa. Air mata bisa hampir tiap hari menetes mengingatnya. Di sisi lain, ada obat hati yang menenangkan ketika saya kehilangan seorang ibu yaitu beliau meninggal selepas sholat magrib, masih menggunakan rukuh dan memegang tasbih. Bahagia hati ini mendapati seorang ibu yang sudah bersusah payah membesarkan kami anak-anaknya telah meraih mimpi terbesar dalam hidupnya, husnul khatimah.

Saya saksi hidup ibu saya, bahwa selama hidupnya sholat merupakan kegiatan yang harus diutamakan. Sesibuk apapun harus diletakkan dan harus menyegerakan sholat. Dalam keadaan apapun juga seperti sakit. Selama 16 tahun menahan rasa sakit akibat jantung, ibu pun masih menyempatkan sholat malam. Di saat lututnya sangat nyeri beberapa tahun belakangan ini, tetap menahannya untuk dapat sholat dengan berdiri sempurna. Sabarnya luar biasa. 

Pasca kepergian Bapak, 21 Juli 2021 lalu, ibu baru menjalani sholat di atas tempat tidur. Sakit fisik yang bertahun-tahun, ditambah psikis kehilangan belahan jiwa, membuat beliau semakin drop. Akan tetapi tidak berpengaruh pada penurunan kualitas sholat meski harus tayamum. Thaharah? Ibu sangat-sangat menjaganya, bahkan sangat ragu menggunakan pampers karena kondisinya untuk meminimalisir gerak fisik agar cepat pulih. Setelah dijelaskan oleh kakak kami dan ditenangkan bahwa tidak mengapa menggunakannya, ibu pun bersedia. Akan tetapi tengah malam kami dikejutkan bahwa ibu sudah di kamar mandi, tidak bisa buang air jika menggunakan pampers. Alhasil, kami menawarkan ibu menggunakan pispot. Barulah ibu bisa menyesuaikan.

Semenjak kepergian Bapak, ibu masih sholat di tempat tidur. Pernah sekali mencoba, justru memperparah kondisinya, sehingga beliau kembali sholat di tempat tidur sembari duduk. Ibu paling lama duduk saat waktu sholat malam dan sholat magrib. Sholat malam biasa dikerjakan jam 3, dan seselesainya masih duduk dengan wirid sambil menunggu subuh. Selepas subuh pun masih duduk sambil wirid, zikir, dan membaca Al-Qur'an hingga waktu sholat dhuha. Barulah selepas dhuha sudah bisa beraktivitas duniawi. Sholat magrib pun lama, duduk menunggu sholat isya sembari mengaji dan zikir, kalaupun batal kemudian wudhu atau tayamum lagi dan kembali duduk. Begitulah selama ini.

Tepat 100 hari kepergian Bapak, Ibu pun menyusul. Beberapa hari sebelumnya tidak ada tanda-tanda sakitnya. Ibu lebih banyak tertawa dan becanda. Kakak sekeluarga yang dari Jogja pun sering menengok kami untuk memulihkan harapan hidup Ibu, sehingga sangat kaget beliau pergi dengan sangat cepat. Mungkin rasa rindu ibu lebih besar kepada Bapak...

Rasa nyeri sempat dirasakan Ibu. Kondisi tersebut hal yang biasa, sehingga Ibu selalu stok obat untuk dikonsumsi di bawah lidah. Biasanya kami memberikan waktu ibu untuk tenang, sambil sesekali ditengok. Detik-detik kepergian Ibu itu tidak kusadari. Ibu hanya mengeluh nyeri sehingga saya tawarkan mengolesi minyak sambil konsumsi obat. Ibu hanya bilang, "Aku tak sholat sik ya, Ndhuk (Aku sholat dulu, ya, Ndhuk)". Saya pun memberi waktu ibu untuk sholat, sesekali saya tengok di kamarnya. Saat saya tengok ke sekian kali, Ibu masih duduk sembari menahan nyeri, duduk menghadap kiblat lengkap dengan rukuhnya. Saya tinggal ke depan untuk cek hape, mungkin hanya sekitar 2 menitan, dan kembali lagi menengok. Kali ini ibu sudah baringan, saya panggil dari pintu, tidak ada jawaban atau menoleh seperti biasanya. Saya pun mendekat, cek nadi, semakin melemah dan sempat tidak berdenyut. Saya pun reflek memanggil-manggil Ibu sambil menelpon kakak yang di Jogja. Kakak langsung menelepon bidan, dan tak berapa lama datang karena beberapa blok dari rumah. 

"Pangapunten, Mbak, ibu sudah ndak ada (Maaf, Mbak, Ibu sudah tidak ada)"

Bayangkan, hanya beberapa menit saja. Ibu saya mudah kepergiannya, bahkan masih dalam keadaan beribadah. Saya bersyukur Alloh telah mengabulkan doa beliau untuk ditetapkan pada Agama Islam dan diakhirkan dengan husnul khatimah. Tinggal kami, anak-anaknya mengikuti jejaknya. Banyak-banyak berusaha dan berdoa untuk bisa sampai husnul khatimah.

Sabtu, 06 November 2021

SECUKUPNYA, SEKEDARNYA

Salah satu pendidikan yang diwariskan orang tua pada saya adalah hidup itu harus nerimo ing pandum, jangan serakah. Istilah Jawa itu sangat lekat dalam kehidupan kami, terutama yang terkait dengan materi. Bapak dan Ibu hidup prihatin meski memiliki materi yang lebih dari cukup, karena menyadari bahwa kelak harta yang diperoleh dan digunakan akan dihisab, sehingga orang tua memiliki mindset menggunakan harta untuk pendidikan dan sosial, untuk kehidupan sehari-hari itu secukupnya, sekedarnya, sewajarnya.

Hidup Bapak dan Ibu saya dari kecil prihatin dan berjuang. Seiring waktu, perekonomian pun membaik sehingga materi bukanlah masalah bagi orang tua. Akan tetapi karena mindsetnya "secukupnya, sekedarnya" maka tidak mengambil banyak dari apa yang sudah Alloh berikan. Keseharian tetap berusaha mengontrol penggunaan dana agar tidak digunakan sia-sia, selebihnya ditabung. Selain itu, orang tua selalu berpesan bahwa tidak perlu berharap warisan, materi, atau apapun dari orang lain. Hal ini menjadikan kami selalu berusaha memenuhi kebutuhan sendiri tanpa meminta sama orang lain. "Cukup minta sama Alloh", begitu kata Ibu.

Hingga saat ini, pendidikan itu tetap terpatri. Kalau bisa memberi, dan usahakan tidak meminta pada orang lain. Sesusah apapun, simpan rasa susah dan tetap bersyukur. Di dunia ini, kita mengambil secukupnya dan sekedarnya saja.