Aku
terbangun oleh alarm dari kamar sebelah, kamar ibu. Mataku setengah terbuka
oleh kantuk, sejenak diam dan kemudian kugapai handphone yang kuletakkan di meja samping tempat tidur. Waktu masih
menunjukkan pukul 3 tepat di pagi hari. Kuletakkan kembali handphone di samping bantalku, dan kutarik bedcover untuk menyelimuti tubuhku. Hujan semalaman menyisakan
dingin yang sangat. Awal September hujan sudah mulai sering mengguyur tanah di
pinggiran kota Klaten. Tahun ini hujan datang lebih awal dari tahun lalu.
Aku mencoba
memejamkan mata kembali di balik selimut tebal. Seketika terlelap dan tersentak
oleh suara pintu kamar yang berderit. Aku menoleh, ibu dengan suara lembutnya sambil
berdiri berkata,
“Tahajud
dulu, Nduk” ucap ibu lirih. Kalau
sudah beliau yang menyuruh, aku tidak berani membantah. Apapun itu selama tidak
bertentangan dengan agama. Durhaka.
Aku
bangun, sejenak aku duduk di tepi kasurku, mencoba membuka mata dan menajamkan
konsentrasi. Kuambil lagi handphone yang ada di atas kasur, pukul 03.20 WIB. Suasana
masih hening, hanya terdengar suara katak dan jangkrik yang bersahut-sahutan.
Rumah kami memang berada di dekat persawahan.
Pelan-pelan
aku bangun menuju kamar mandi. Terbiasa dalam suasana gelap, aku tidak perlu
menghidupkan lampu untuk berjalan. Dingin semakin menusuk tulang saat tersentuh
air. Kemudian menyusul di mushola kecil kami. Ibu sudah duduk, yang biasa wirid
lama sambil menunggu subuh. Banyak doa yang dihafalnya, bahkan dituliskan
untukku agar bisa dihafal juga. Sukhruf wudhu mengawali tahajudku. Sepi
menambah sendu suasana menjelang fajar. Kami terdiam dan larut dalam doa
masing-masing. Sesekali kudengar suara sesenggukan ibu, di tengah wiridnya. Aku
tahu ibu tidak sekedar hafal dengan doa-doanya, tapi sangat paham dengan isinya.
Itulah kenapa beliau menangis. Aku masih melanjutkan wiridku sambil menunggu
subuhan.
Adzan
mulai terdengar satu per satu dari berbagai penjuru. Ibu menepuk pahaku pelan,
“Fajar
dulu yo, Nduk”, aku mengangguk, meski
mungkin beliau tidak melihat karena gelap. Tapi pembiasaan yang beliau lakukan
selama ini tidak perlu menunggu jawabku, kuanggap itu akhlak ibu yang tidak pernah
mengabaikan keberadaan siapapun, meski usia muda sekalipun. Sholat fajar atau 2
rakaat sebelum subuh mengawali jamaah subuh kami.
Kami
sholat subuh berjamaah. Suara ibu terdengar serak saat alfatihah di awal.
Mungkin karena sehabis beliau menangis. Kuaminkan dengan penuh keyakinan
alfatihah itu, di kedua rakaatnya. Kucium tangan beliau setelah salam. Tangan
yang sudah menghitam dan keriput, tangan yang sudah tidak dapat merasakan
apa-apa karena syarafnya yang sudah mati akibat sakit yang dideritanya. Tangan
yang selalu kurindui untuk kugenggam, untuk kucium. Tak terasa menetes
mengingat semua perjuangannya. Satu-satunya perempuan yang kukenal paling tegar
dan sabar sepanjang hidupku.
Aku
sujud untuk mengakhiri wiridku. Pelan suara ibu terdengar,
“Jangan
lupa ngaji dulu, Nduk, meski cuma satu rukuk”,
kali ini aku menjawab,
“Injih, Bu”.
Aku
berjalan pelan menuju kamar, masih dengan rukuh yang membalut tubuhku. Kuambil
mushaf kecil yang ada di meja kamarku, kemudian duduk di kasur. Pelan-pelan
kubaca ayat demi ayat, hingga tak terasa berlembar-lembar sudah kuhabiskan waktu
bersamanya. Kututup mushaf itu dan menciumnya. Kuletakkan kembali di tempat
semula. Sambil kuambil handphone, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah
enam. Kulihat beberapa pesan WhatsApp dan email masuk. Kubuka jendela kamar,
udara segar menyeruak, dengan bau tanah basah yang khas.
Aku
duduk lagi sambil membaca beberapa pesan yang ternyata sebagian besar tidak
begitu penting. Hanya menanyakan kabar atau sekedar say hello dari beberapa
teman penulis. Dua penerbit yang menghubungi lewat email untuk meminta progres
editing tulisan yang akan dipublikasikan.
Aku
beranjak dari kasur dan mulai duduk di meja kerjaku. Kubuka laptop untuk mulai
membalas email kedua penerbit tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesuaikan diri
dengan keberadaanku sekarang. Sudah hampir satu bulan ketiadaan ayah membuatku
harus bolak balik Klaten Jogja untuk menemani ibu, meskipun ada rewang yang datang setiap harinya. Tapi
rasa berbeda dan sama-sama kehilangan membuat kami berkumpul untuk saling
menguatkan. Pelan-pelan aku membuat redaksi agar tidak menyinggung dan membuat
mereka kecewa dengan kinerjaku. Beberapa menit kemudian 2 email balasan masuk
sekaligus. Alhamdulillah keduanya menyetujui untuk memberikan perpanjangan
waktu pengerjaan editing selama 1 minggu. Langsung kukirimkan email ucapan
terima kasih kepada kedua penerbit tersebut.
Sejenak
kutoleh ke arah jendela. Cahaya matahari mulai
menembus ruang kamar. Udara sedikit menghangat dan sejuk. Bau semerbak
bunga tanjung menyeruap masuk hidung, menusuk tapi tidak memuakkan. Kututup
laptop ku dan keluar kamar. Pelan-pelan kutengok kamar saudara kembarku. Dia
masih tertidur lelap. Aku tarik selimutnya yang tersibak agar menutup sebagian
tubuhnya. Kukecup keningnya, dia bergerak sebentar namun tidak bangun.
Pelan-pelan aku berjalan keluar dan menutup pintunya agar dia tidak terganggu.
Kutengok
ruang tengah untuk melihat kondisi ibu, kosong. Kemudian berjalan ke ruang
perpusatakaan, kulihat beliau membaca buku tebal yang tidak terlihat jelas
judulnya. Aku membiarkannya dan melihat di kejauhan.
Aku pun
keluar rumah, menikmati suasana pagi. Kudatangi pohon tanjung yang sangat besar
di depan rumah. Pohon yang sudah lama tidak kusambangi. Ibu bercerita bahwa
pohon itu sudah ada sejak ibu belum ada, sementara usiaku saat ini sudah 29
tahun dan ibu sudah mencapai 60 tahun. Artinya pohon itu mungkin sudah mencapai
100 tahun lebih. Daunnya yang lebat, dengan bunga-bunga tanjung yang kecil dan
berguguran. Itu kenapa kami, aku dan saudara kembarku dinamai Maora Amalia
Tanjung dan Maori Amalia Tanjung. Aku Maora, dan saudara kembarku adalah Maori.
Masa
kecilku kuhabiskan bermain di bawah pohon ini bersama saudara kembarku. Kami
sering meronce bunga tanjung menjadi
gelang atau kalung. Baunya yang sangat harum dan berwarna putih membuatnya
terlihat cantik dalam rangkaian. Meski jika layu dan berubah menjadi coklat
kekuningan, baunya yang harum pun tidak luntur. Itulah mengapa kami suka
menaruh bunga-bunga tanjung di kamar kami untuk mengharumkan ruangan.
Itu
dulu. Saat ini semuanya tak lagi sama. Saat usia kami sebelum 9 tahun, Semuanya
berubah begitu drastis. Tetapi kenangan bersamanya yang aku simpan sangat lekat
di ingatan.