Sabtu, 18 Agustus 2018

SINGLE NOT AVAILABLE (I)

Aku terbangun oleh alarm dari kamar sebelah, kamar ibu. Mataku setengah terbuka oleh kantuk, sejenak diam dan kemudian kugapai handphone yang kuletakkan di meja samping tempat tidur. Waktu masih menunjukkan pukul 3 tepat di pagi hari. Kuletakkan kembali handphone di samping bantalku, dan kutarik bedcover untuk menyelimuti tubuhku. Hujan semalaman menyisakan dingin yang sangat. Awal September hujan sudah mulai sering mengguyur tanah di pinggiran kota Klaten. Tahun ini hujan datang lebih awal dari tahun lalu.
Aku mencoba memejamkan mata kembali di balik selimut tebal. Seketika terlelap dan tersentak oleh suara pintu kamar yang berderit. Aku menoleh, ibu dengan suara lembutnya sambil berdiri berkata,
“Tahajud dulu, Nduk” ucap ibu lirih. Kalau sudah beliau yang menyuruh, aku tidak berani membantah. Apapun itu selama tidak bertentangan dengan agama. Durhaka.
Aku bangun, sejenak aku duduk di tepi kasurku, mencoba membuka mata dan menajamkan konsentrasi. Kuambil lagi handphone yang ada di atas kasur, pukul 03.20 WIB. Suasana masih hening, hanya terdengar suara katak dan jangkrik yang bersahut-sahutan. Rumah kami memang berada di dekat persawahan.
Pelan-pelan aku bangun menuju kamar mandi. Terbiasa dalam suasana gelap, aku tidak perlu menghidupkan lampu untuk berjalan. Dingin semakin menusuk tulang saat tersentuh air. Kemudian menyusul di mushola kecil kami. Ibu sudah duduk, yang biasa wirid lama sambil menunggu subuh. Banyak doa yang dihafalnya, bahkan dituliskan untukku agar bisa dihafal juga. Sukhruf wudhu mengawali tahajudku. Sepi menambah sendu suasana menjelang fajar. Kami terdiam dan larut dalam doa masing-masing. Sesekali kudengar suara sesenggukan ibu, di tengah wiridnya. Aku tahu ibu tidak sekedar hafal dengan doa-doanya, tapi sangat paham dengan isinya. Itulah kenapa beliau menangis. Aku masih melanjutkan wiridku sambil menunggu subuhan.
Adzan mulai terdengar satu per satu dari berbagai penjuru. Ibu menepuk pahaku pelan,
“Fajar dulu yo, Nduk”, aku mengangguk, meski mungkin beliau tidak melihat karena gelap. Tapi pembiasaan yang beliau lakukan selama ini tidak perlu menunggu jawabku, kuanggap itu akhlak ibu yang tidak pernah mengabaikan keberadaan siapapun, meski usia muda sekalipun. Sholat fajar atau 2 rakaat sebelum subuh mengawali jamaah subuh kami.  
Kami sholat subuh berjamaah. Suara ibu terdengar serak saat alfatihah di awal. Mungkin karena sehabis beliau menangis. Kuaminkan dengan penuh keyakinan alfatihah itu, di kedua rakaatnya. Kucium tangan beliau setelah salam. Tangan yang sudah menghitam dan keriput, tangan yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa karena syarafnya yang sudah mati akibat sakit yang dideritanya. Tangan yang selalu kurindui untuk kugenggam, untuk kucium. Tak terasa menetes mengingat semua perjuangannya. Satu-satunya perempuan yang kukenal paling tegar dan sabar sepanjang hidupku.
Aku sujud untuk mengakhiri wiridku. Pelan suara ibu terdengar,
“Jangan lupa ngaji dulu, Nduk, meski cuma satu rukuk”, kali ini aku menjawab,
Injih, Bu”.
Aku berjalan pelan menuju kamar, masih dengan rukuh yang membalut tubuhku. Kuambil mushaf kecil yang ada di meja kamarku, kemudian duduk di kasur. Pelan-pelan kubaca ayat demi ayat, hingga tak terasa berlembar-lembar sudah kuhabiskan waktu bersamanya. Kututup mushaf itu dan menciumnya. Kuletakkan kembali di tempat semula. Sambil kuambil handphone, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam. Kulihat beberapa pesan WhatsApp dan email masuk. Kubuka jendela kamar, udara segar menyeruak, dengan bau tanah basah yang khas.
Aku duduk lagi sambil membaca beberapa pesan yang ternyata sebagian besar tidak begitu penting. Hanya menanyakan kabar atau sekedar say hello dari beberapa teman penulis. Dua penerbit yang menghubungi lewat email untuk meminta progres editing tulisan yang akan dipublikasikan.
Aku beranjak dari kasur dan mulai duduk di meja kerjaku. Kubuka laptop untuk mulai membalas email kedua penerbit tersebut. Aku perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan keberadaanku sekarang. Sudah hampir satu bulan ketiadaan ayah membuatku harus bolak balik Klaten Jogja untuk menemani ibu, meskipun ada rewang yang datang setiap harinya. Tapi rasa berbeda dan sama-sama kehilangan membuat kami berkumpul untuk saling menguatkan. Pelan-pelan aku membuat redaksi agar tidak menyinggung dan membuat mereka kecewa dengan kinerjaku. Beberapa menit kemudian 2 email balasan masuk sekaligus. Alhamdulillah keduanya menyetujui untuk memberikan perpanjangan waktu pengerjaan editing selama 1 minggu. Langsung kukirimkan email ucapan terima kasih kepada kedua penerbit tersebut.
Sejenak kutoleh ke arah jendela. Cahaya matahari mulai  menembus ruang kamar. Udara sedikit menghangat dan sejuk. Bau semerbak bunga tanjung menyeruap masuk hidung, menusuk tapi tidak memuakkan. Kututup laptop ku dan keluar kamar. Pelan-pelan kutengok kamar saudara kembarku. Dia masih tertidur lelap. Aku tarik selimutnya yang tersibak agar menutup sebagian tubuhnya. Kukecup keningnya, dia bergerak sebentar namun tidak bangun. Pelan-pelan aku berjalan keluar dan menutup pintunya agar dia tidak terganggu.
Kutengok ruang tengah untuk melihat kondisi ibu, kosong. Kemudian berjalan ke ruang perpusatakaan, kulihat beliau membaca buku tebal yang tidak terlihat jelas judulnya. Aku membiarkannya dan melihat di kejauhan.
Aku pun keluar rumah, menikmati suasana pagi. Kudatangi pohon tanjung yang sangat besar di depan rumah. Pohon yang sudah lama tidak kusambangi. Ibu bercerita bahwa pohon itu sudah ada sejak ibu belum ada, sementara usiaku saat ini sudah 29 tahun dan ibu sudah mencapai 60 tahun. Artinya pohon itu mungkin sudah mencapai 100 tahun lebih. Daunnya yang lebat, dengan bunga-bunga tanjung yang kecil dan berguguran. Itu kenapa kami, aku dan saudara kembarku dinamai Maora Amalia Tanjung dan Maori Amalia Tanjung. Aku Maora, dan saudara kembarku adalah Maori.
Masa kecilku kuhabiskan bermain di bawah pohon ini bersama saudara kembarku. Kami sering meronce bunga tanjung menjadi gelang atau kalung. Baunya yang sangat harum dan berwarna putih membuatnya terlihat cantik dalam rangkaian. Meski jika layu dan berubah menjadi coklat kekuningan, baunya yang harum pun tidak luntur. Itulah mengapa kami suka menaruh bunga-bunga tanjung di kamar kami untuk mengharumkan ruangan.

Itu dulu. Saat ini semuanya tak lagi sama. Saat usia kami sebelum 9 tahun, Semuanya berubah begitu drastis. Tetapi kenangan bersamanya yang aku simpan sangat lekat di ingatan.