Menjadi
perempuan karir sudah pernah didiskusikannya dengan suami. Riana, yang
merupakan lulusan kedokteran, spesialis Ginekologi bercita-cita mengabdikan
dirinya dalam dunia kedokteran.
“Aku
ingin melindungi para perempuan agar tidak tersentuh dengan yang bukan mahram.
Para perempuan saat ini sangat rentan dengan pelecehan”, ungkapnya suatu malam
dengan suaminya.
“Aku
mendukungmu. Tapi bagaimana dengan generasi kita? Aku ingin kamu bisa
mendidiknya dengan tanganmu sendiri,” tanya suaminya.
“Insya
Allah aku akan berusaha menyeimbangkan, menjalankan pengabdianku sebagai ibu
dan istri, juga pengabdian untuk masyarakat,” jawabnya mencoba meyakinkan
suaminya.
“Baiklah
kalau itu keputusanmu dan kamu bisa menjalankan, aku bisa mendukung. Namun
nanti jika di tengah jalan ada ketidakseimbangan, aku berharap kamu lebih
memilih memprioritaskan mendidik anak-anak,” kata suaminya.
“Baiklah,”
kata Riana. Suaminya mengecup kening Riana, mengakhiri diskusi malam dengan
santun.
Suami
Riana, Rudi yang juga seorang dokter, sangat paham dengan karakter Riana. Rudi
mengetahui tentang Riana selama masa perkuliahan 4 tahun terakhir. Riana memang
menjadi buah bibir di gedung perkuliahan spesialis, selain cantik, juga sangat
cerdas. Rudi menyimpulkan bahwa Riana sebagai orang yang gigih berjuang,
berambisi mencapai sesuatu yang menjadi prinsipnya, juga orang yang bisa
diandalkan. Ini terbukti dari berbagai tugas yang diberikan dosen maupun nilai
akademis yang memuaskan sehingga Riana selalu menduduki peringkat tertinggi
dalam studinya.
Rudi
memang menaruh hati kepada Riana, namun ia merasa minder karena merasa orang
biasa yang berjuang untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi seorang dokter
spesialis penyakit dalam. Akan tetapi Riana bukanlah orang yang ramah dengan
laki-laki, meski banyak yang menyukainya. Ia sangat cuek dan menjaga jarak
dengan yang namanya laki-laki, tidak heran jika ia sering terlihat jutek dengan
para laki-laki. Justru ini yang semakin membuat Rudi jatuh hati, Riana bukan
perempuan gampangan.
“Kamu
kenapa sih Ri? Tiap ketemu cowok pasti jutek?” tanya salah seorang teman
dekatnya, Ari.
“Entah,
aku gak suka aja. Kayaknya banyak modus.” Jawab Riana sambil tertawa.
Ari
pun hanya melengos, mendengar jawaban Riana yang dinilai asal. Bahkan niatnya
menjodohkan dengan kakaknya yang menaruh hati pada Riana pun urung. Riana yang
beberapa kali mengerjakan tugas di rumah Ari cukup membuat kakaknya, Heri, jatuh
hati. Wirausahawan muda yang sangat mandiri, tampan, dan kaya itu menjadi incaran
banyak perempuan. Saking kayanya bahkan biaya sekolah Ari menjadi tanggungan
sepenuhnya kakak lelakinya itu.
Kegigihan
Riana membuahkan hasil, menjadi lulusan terbaik dengan waktu paling cepat.
Panggilan kerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jogja membuatnya merasa
sangat bersyukur. Allah telah mudahkan jalannya meniti menuntaskan pendidikan
melalui beasiswa, pun mendapatkan pekerjaan sesuai dengan passion-nya.
Usianya
memang hampir menginjak 30 tahun, namun keinginan berkeluarga belumlah ada. Hal
ini karena ia masih ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah renta. Ia, yang
merupakan anak sulung ingin menghajikan orang tua sebelum dipanggil Allah. Maka
dengan sekuat hati ia menabung.
“Ibu
ingin melihatmu menikah, ada yang menjagamu saat ibu atau ayah tidak ada.”
Ungkap ibunya suatu malam.
“Yang
jaga kan Allah, Bu. Insya Allah nanti kalau sudah waktunya jodoh akan datang
kok, Bu,” jawab Riana berkilah dengan lembut.
Ibunya
hanya menghela nafas panjang, merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Riana.
Ibunya sangat tahu jika Riana tidak menginginkan sesuatu dan dipaksa maka
hasilnya tidak baik. Akhirnya ibunya hanya banyak berdoa, mengirimkan seorang
laki-laki soleh untuk Riana.
Dua
tahun praktik di rumah sakit, Riana banyak mendapatkan curahan hati mengenai pengalaman
para pasiennya yang tidak menyenangkan. Pengalaman periksa dengan dokter
Ginekologi yang seringnya laki-laki dan memberikan kesan yang tidak
menyamankan. Hal itu membuat Riana bertekad kelak untuk mendirikan praktik
sendiri demi menjaga dan melindungi hak-hak perempuan.
Tahun
ketiga Riana bekerja, beberapa teman seangkatan terlihat praktik di rumah sakit
yang sama, termasuk Ari. Pertemuan yang membuat Riana merasakan teman
seperjuangan. Ari pun merasakan mendapat guru dalam menjalankan pekerjaannya. Saat
itu pulalah meja operasi menjadi media pertemuan dengan Rudi.
Riana
memang tidak mengenal Rudi, tapi berbeda dengan Rudi yang telah menyimpan mimpi
untuk Riana. Awal pertemuan memang dirasakan bahwa Riana sangat dingin
terhadapnya. Namun seiring waktu dengan banyak kasus yang terjadi, Riana
terpaksa banyak berdiskusi dengan Rudi. Beberapa
kerjasama dalam operasi sering dilakukan, mendiskusikan hasilnya dan membuat
penemuan-penemuan baru.
Riana
terlihat mulai ramah terhadap Rudi, bahkan menghabiskan istirahat siang bersama
dengan berdiskusi. Namun Riana masih tetap Riana yang dulu, menutup hati untuk
menjalin komitmen, menetapkan tujuan dalam rule
yang disepakati hatinya.
Sebenarnya
Rudi sudah berkali-kali memberikan kode untuk serius dengan Riana, namun tidak
juga ditanggapi Riana.
“Aku
mencintai seorang perempuan, yang ketika melihatnya aku sangat menginginkannya
menjadi pendampingku,” dia bercerita kepada ibunya.
Perempuan
tua itu menjadi orang yang paling perhatian jika Rudi sudah bercerita. Pun
sebagai anak satu-satunya, waktunya telah ia habiskan untuk mendidik Rudi
dengan baik. Dengan kehidupan sederhana, Rudi bukanlah orang yang suka bercerita tentang hal-hal yang tidak
serius. Kehidupannya mengajarkan untuk menghargai hidup, tidak main-main dengan
waktunya, dan menjaga benar ucapannya.
“Kamu
mengenalnya dengan baik?” tanya Ibunya.
“Ya,
sejak 7 tahun yang lalu aku sering mengamatinya. Rudi tidak punya banyak
kriteria untuk calon menantumu, Bu. Tapi solehahnya insya Allah ada padanya”
“Oh,
ya? 7 tahun bukan waktu yang sebentar kamu menaruh hati pada satu perempuan.
Apa yang menghalangimu mendapatkannya?”
“Aku
sudah mencoba menarik perhatiannya. Mencoba memberikan semacam tanda bahwa aku
suka, tapi sepertinya dia tidak menyukaiku”
“Nak,
jangan datangi perempuannya. Datangi walinya,” nasehat ibunya.
Rudi
hanya menunduk dalam-dalam, menyadari langkahnya yang terburu-buru.
“Nanti
malam sholat tahajud dan istikharah sama ibu,” ucap ibunya sambil mengusap-usap
bahu Rudi, menyadari bahwa ada kegalauan berat tersimpan dalam hatinya.
Kamu akan sampai pada mimpimu, Nak.
Insya Allah.
Ucap
ibunya dalam hati. Maka mulai malam itu adalah malam-malam perjuangan Rudi dan
ibunya. Memohon pada Rabb untuk satu permintaan mulia, menyempurnakan agamanya.
Tiga
minggu kemudian Rudi membuka percakapan,
“Bolehkah
aku mengunjungi orang tuamu bersama ibuku?” tanya Rudi santun
Riana
sedikit membelalakkan matanya, kaget luar biasa, namun seketika ia bisa
mengontrol rasa keterkejutannya.
“Keperluannya
apa ya?” Riana berpura-pura menanyakan, padahal sudah lama memang ia paham
gelagat Rudi yang menyukainya, namun ia berusaha cuek karena mengingat
komitmennya.
“Kami
ingin bersilaturahmi, menjalin hubungan dua keluarga dengan baik” jawab Rudi.
Jawaban diplomatis yang cukup membuat Riana mengakhiri pembicaraan.
“Baiklah.
Akan kutanyakan orang tuaku kapan mereka siap. Akan kukabari waktunya”
Riana
berlalu sambil berpura-pura seperti biasanya, yang jutek dan dingin. Meski Rudi
tahu Riana sedikit salah tingkah. Itu membuat Rudi tersenyum.
Akhirnya
pertemuan kedua keluarga dijadwalkan. Pembicaraan diawali dengan perkenalan
keduanya, hingga fokus pada tujuan utama pertemuan.
“Secara
baik-baik, saya ingin melamarkan keponakan saya untuk Riana,” kata paman Rudi.
Rudi
memang anak yatim, ayahnya telah meninggal dalam kecelakaan kerja sepuluh tahun
silam. Karena itulah ia sangat mencintai ibunya, sebagai orang tua
satu-satunya.
“Kami
tidak bisa menjawabnya, anak kamilah yang memiliki hak dalam hal ini,” jawab
ayah Riana
Ibunya
masuk memanggil Riana, kemudian duduk di samping ibunya sambil menunduk.
“Bagaimana,
Nduk? Nak Rudi ingin meminangmu.
Apakah kamu bersedia?” tanya ibunya.
“Sebenarnya
Riana mau, Bu. Tapi Riana telah berjanji untuk menghajikan ibu sama ayah
dulu baru menikah” jawab Riana masih
dengan menunduk.
“Nduk, ndak apa-apa kamu menikah dulu.
Insya Allah masih ada waktu, Allah akan mudahkan niatmu terlaksana” ucap ibu,
yang diiyakan oleh ayahnya.
Riana
lama diam. Bimbang untuk menjawab. Setelah didesak akhirnya ia menjawab,
“Baiklah
kalau itu ridho ibu dan ayah, Riana bersedia”
Rudi
pun berucap syukur penuh dalam hati. Doa ibunyalah yang membuka kemudahan
baginya.
Tak
lama untuk melangsungkan pernikahan, Rudi dan Riana bersepakat mengadakannya
dengan sederhana. Beberapa anak asuh Rudi juga menjadi pelengkap para tamu yang
mendoakan kelanggengan hubungan mereka.
Sujud
syukur bahwa tujuh tahunnya adalah doa yang menjadi kenyataan. Ibunya pun
menjadi andil dalam kehidupan Rudi.
“Ada
hadiah untuk ibu dan ayah,” kata Rudi seminggu kemudian.
Kejutan
yang tak pernah Riana bayangkan. Hadiah terbesar dalam pernikahannya. Mencari
ridho orang tua maka mendapatkan ridho Allah. Benarlah yang diriwayatkan Riwayat Ath Thabarani dan dishahihkan
oleh Al Hafidz As Suyuthi bahwa ridha Rabb terletak pada
ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.
Keduanya telah mendapatkan ridho
orang tua, maka mereka sampai pada mimpi masing-masing.
“Akan
sampai pada mimpimu, Sayang.” Ucap Rudi sembari mengecup kening istrinya.
Doa
yang sama untuk istrinya, bahwa karena ia tahu bahwa ridho suami adalah
kemudahan bagi istrinya.