Sejenak pikiranku melayang, kekakuan menyerang ketika
kulihat perempuan tua dengan jarik batik
warna coklat tua dengan kebaya sederhana duduk di emperan pasar Beringharjo,
dekat pintu masuk sebelah selatan. Rambut putihnya yang disanggul, wajah yang
hitam keriput, dan gigi tinggal beberapa yang menghitam tak menyurutkan
sunggingan senyum pada setiap yang berseliweran di depannya. Menjajakan
dagangan yang entah apa dalam dalam bungkusan plastik putih.
Sesaat dadaku terasa sesak, menahan nafas dalam lelehan air
mata. Terpaku berdiri beberapa meter darinya, dalam teriknya kota Jogja. Segera
kukeluarkan DSLR, mengambil beberapa gambarnya.
Pandanganku beralih pada hasil gambar yang kuambil. Air
mata meleleh ketika aku mengingatnya, 14 tahun sudah kepergiannya, tapi tak
cukup waktu menyamarkan kenangan. Cukup lama meninggalkan, namun rasa
kehilangan tetap mengiris kalbu yang menguras air mata.
Ingatanku tertumpu pada sesosok perempuan yang lekat dalam
kehidupanku, Simbok. Bukanlah ibu kandung, meski panggilan itu untuk seorang ibu
yang telah melahirkan. Simbok 'hanya' seorang pembantu di rumah saat kecil
hingga dewasaku, yang bahkan sudah ikut keluarga kami sebelum aku lahir.
Lekat dalam ingatan, Simbok adalah perempuan yang sangat
tangguh. Diantara hantaman kedurhakaan anak cucunya, ia tetaplah seorang ibu
yang memiliki belas kasih yang teramat luas. Saat gaji bulanan yang diberikan
bapak turun, serbuan anak cucunya meludeskan tanpa sisa. Itu ceritanya. Gaji
yang tak seberapa, hanya 300 perak setiap bulannya yang saat itu belum krisis
moneter.
Bukan tidak mau menerima imbalan lebih bekerja pada
keluarga kami, itu adalah inginnya. Pengabdian tanpa terukur dengan materi,
lebih pada budi yang tak terbalas hingga mati.
“Cukup, Mbok,
segitu?” tanyaku waktu itu, saat usiaku SMA, saat dimana kritisku mulai
menanyakan banyak hal tentang kehidupan.
“Sangu suwargo, Nduk (Bekal ke surga, Nak)” jawabnya waktu itu.
Aku tidak pernah mampu menangkap jalan pikirannya tanpa bertanya.
Bapak ibuku adalah seorang guru Sekolah Dasar, dimana waktu itu unggah-ungguh sangat dijaga sehingga tak
banyak yang bisa kutanya. Sebagai anak, mendengarkan dan mematuhi apa yang
diajarkan orang tua adalah tata krama yang harus sangat kami jaga, sebagai bentuk
bakti. Akhirnya, Simbok menjadi tempat dimana aku banyak menuangkan tanya, karena merasakan tidak ada jarak dalam hubungan.
Tentang hidup, ia banyak mengajarkan makna. Bagaimana
menjadi perempuan, tata krama Jawa, yang disandingkan pada nilai ruhiyah. Tidak
sekedar duniawi yang berbau materi. Tuturnya sangat lugas, pun hasil dari menjalankan
kelurusan budi dalam kehidupan sehari-hari.
Menunggu rasa tenang perasaan, mengatur nafas dalam-dalam
membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga sedikit mampu mengendalikan emosi,
memberanikan mendekatinya.
“Ibu jualan apa?” tanyaku sembari jongkok di hadapannya.
“Niki, Mbak, wonten
kluwih, kulit mlinjo,......” suaranya
mulai tenggelam.
Rasa hati seperti diaduk-aduk. Gemuruh hati saat menatapnya
sekuat mungkin kutepis. Wajahnya sangat mirip, senyumnya, keramahannya,
suaranya, bahkan cara berpakaiannya. Hingga aku pun tak sanggup memperhatikan jawabannya,
sibuk dengan rasa kecamuk sendiri.
Bukan jualan yang mahal, bervariasi, atau yang banyak
dibutuhkan orang untuk kehidupan sehari-hari. Dagangannya sangat sederhana,
bahkan melihat rupanya mungkin yang mementingkan kualitas tak akan meliriknya. Tapi,
saat ini mungkin tidak banyak yang seperti itu. Menyambung nyawa tanpa
menggadaikan harga diri, semampu apa pun berusaha untuk jauh dari
meminta-minta.
Itu juga yang diajarkan Simbok. Jangan sampai meminta-minta
meski papa, jangan sampai merendahkan diri hanya untuk duniawi.
Nerimo ing pandum,
Nduk. Urip
iku mung sak dermo. Kudu syukur lan
sabar. (Menerima apa yang sudah diberikan oleh Allah. Hidup itu sekedar
menjalani apa yang sudah ditentukan. Harus syukur dan sabar).
Nasehatnya waktu itu, saat merasa kecewa dengan
harapan-harapan dan keinginan yang tak terkabul.
“Saya beli ya, Bu. Ini, ini, sama ini” kutunjukkan beberapa
dagangannya yang kubeli.
Tiba-tiba terlihat binar matanya, seolah rasa terima kasih
yang mendalam terucapkan. Segera diambil beberapa pesananku dan dimasukkan
dalam plastik. Tak seberapa harganya, hanya beberapa ribu rupiah, tapi
syukurnya tak henti. Kusodorkan selembar lima puluh ribuan, sengaja.
“Mbok sing alit,
Mbak. Mboten gadhah susukke (Uangnya yang kecil saja, Mbak, tidak ada
kembalian)” ucapnya.
“Mboten wonten, Bu,
pun diasta mawon, kagem jenengan
(Tidak ada, Bu. Sudah dibawa saja. Untuk ibu.)” ucapku sambil tersenyum.
Kulihat tetes air matanya, mungkin terharu.
“Matur nuwun nggih,
Mbak. Mugi-mugi lancar rejekine, dilindungi Gusti Allah, doa-doa terkabul......”
doa panjangnya yang sampai tak kuingat. Hanya kudengarkan dan kuaminkan.
Masya Allah. Pemberian tak seberapa tapi doanya sangat luar biasa.
“Sampun nggih, Bu
(Sudah ya, Bu)” pamitku. Masih kulihat kadang ia menyeka air matanya.
Segera kuberlari mencari toilet yang tidak jauh dari tempat
itu. Kutumpahkan lagi seluruh air mata hingga sesenggukan, mengingat seseorang
yang telah pergi.
Simbok masih hidup, meski raganya telah pergi. Budi baiknya
berakar pada jiwaku, yang membuatnya tak terlupakan. Kuseka air mata, mencuci
mukaku dan menghilangkan jejak kesedihan yang mendalam, meski mata terlihat
sangat bengkak. Pulang.
Hari
berikutnya aku menyempatkan diri ke pasar Beringharjo, sekedar ingin melihat
wajahnya dari jauh. Di jam yang sama seperti waktu kemarin. Tidak ada. Kutunggu
beberapa waktu, siapa tahu akan datang. Hampir satu jam aku menunggu di
seberang pintu selatan, tak kulihat sosok yang kucari. Aku memutuskan untuk
pulang.
Begitu
juga di hari berikutnya. Rasa ingin tahu tentang latar belakangnya yang
menguatkanku menunggu lebih lama, hampir 2 jam. Tapi tak juga muncul. Pun hari
berikutnya, hingga selama seminggu tak terlihat kehadirannya. Akhirnya aku
memutuskan menanyakan ke pedagang-pedagang sebelahnya. Hasilnya, mereka pun
tidak tahu karena yang berdagang di tempat itu seringnya bukan pedagang tetap.
Sedih
dan kecewa. Hanya itu yang terasa. Tapi tetap ada rasa syukur mendapatkan hasil
dokumentasinya. Tiba-tiba satu pesan masuk, Bapak yang menanyakan kapan pulang
karena menjelang hari raya kurban.
Moment
yang tepat untuk mengupas lagi tentang Simbok dengan Bapak. Hari berikutnya
akhirnya pulang. Pun dengan Bapak dan Ibu, Simbok adalah sosok dengan budinya
yang tak pernah terbalaskan oleh kami. Terkadang, rasa dosa dan penyesalan menyelimuti
kami, karena tidak banyak yang kami lakukan saat hidupnya.
“Tasih
kemutan Simbok angon menda kula, Pak? (Masih ingat ketika Simbok merawat kambing
kurbanku , Pak?)” aku membuka obrolan kami. Pada suatu sore, dimana kami sering
menghabiskan waktu bersama.
“Lha iyo, mbokdhe nganti didhodhos wedhus. Dengkule
nganti lara, ora isoh dinggo mekongkong (Lha iya, sampai diseruduk kambing.
Lututnya sakit, tidak bisa jongkok)” cerita Bapak. Begitu panggilan Bapak pada
Simbok, “Mbokdhe”, sebutan untuk orang
yang lebih tua dari ibu atau ayah.
“Ning yo ora tau ngeluh utawa wadul.
Mbokdhemu ki jan sabare ra kira. Ngurusi kowe lan mbakyumu ki ra tau nyebut
kesel, tambah resik-resik omah lan pekarangan sak mono ambane mbendino. Rung tau
Pakmu ki krungu Mbokdhemu nyebut (Tapi ya tidak pernah mengeluh atau
mencurahkan hati. Mbokdhe itu sangat
sabar. Mengurus kamu dan kakakmu tidak pernah bilang capek, ditambah
bersih-bersih rumah dan halaman yang luas sekali. Belum pernah Bapak mendengar
Mbokdhe itu mengucap keluhan).” lanjutnya
Akhirnya
kuceritakan pertemuan seminggu lalu, kutunjukkan fotonya.
“Kok plek? Kowe ra takon-takon? Omahe ngendi
opo kuwi sopo? (Kok mirip? Kamu tidak bertanya itu rumahnya dimana atau itu
siapa?)”
Kuceritakan
bahwa aku telah kehilangan jejak. Hari-hari berikutnya kutelusur tidak juga ada
hasilnya. Mungkin itu sebagai pengingat bahwa Simbok memang seharusnya tak
terlupakan. Kebaikannya yang tak pernah habis dibahas.
Dia
yang tidak pernah meminta untuk dirinya sendiri. Dia yang dengan kerendahan
hati menjalani hidup dengan qana’ah, rasa cukup dalam hati yang membuatnya kaya
dengan baik budi. Tahun ini kami berbakti, satu kambing untuk kurban dengan
namanya. Meski tak sebanding dengan segala yang dilakukannya.
Kerinduan
memelukku erat, pada perempuan yang budinya tak pernah terbalas. Pada jasanya
yang tak pernah terbayar. Oleh kami, yang meskipun tidak ada jalinan darah
namun ikatan kami sangat kuat.
Hanya
satu penyesalan hingga detik ini, bahwa aku tidak di sampingnya saat detik
terakhirnya.
Hanya mampu terangkai dalam doa
Panjatan .pengampunan bagi
perempuan pengusik jiwa
Dalam malam-malam menjelang fajar
Moga Rabb-ku menempatkanmu pada
sisi terbaik-Nya
Menyimpankan
kebaikan-kebaikanmu sebagai penolong di padang Mahsyar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar