Kamis, 15 November 2018

KURBAN UNTUK SIMBOK


Sejenak pikiranku melayang, kekakuan menyerang ketika kulihat perempuan tua dengan jarik batik warna coklat tua dengan kebaya sederhana duduk di emperan pasar Beringharjo, dekat pintu masuk sebelah selatan. Rambut putihnya yang disanggul, wajah yang hitam keriput, dan gigi tinggal beberapa yang menghitam tak menyurutkan sunggingan senyum pada setiap yang berseliweran di depannya. Menjajakan dagangan yang entah apa dalam dalam bungkusan plastik putih.

Sesaat dadaku terasa sesak, menahan nafas dalam lelehan air mata. Terpaku berdiri beberapa meter darinya, dalam teriknya kota Jogja. Segera kukeluarkan DSLR, mengambil beberapa gambarnya.

Pandanganku beralih pada hasil gambar yang kuambil. Air mata meleleh ketika aku mengingatnya, 14 tahun sudah kepergiannya, tapi tak cukup waktu menyamarkan kenangan. Cukup lama meninggalkan, namun rasa kehilangan tetap mengiris kalbu yang menguras air mata.

Ingatanku tertumpu pada sesosok perempuan yang lekat dalam kehidupanku, Simbok. Bukanlah ibu kandung, meski panggilan itu untuk seorang ibu yang telah melahirkan. Simbok 'hanya' seorang pembantu di rumah saat kecil hingga dewasaku, yang bahkan sudah ikut keluarga kami sebelum aku lahir.

Lekat dalam ingatan, Simbok adalah perempuan yang sangat tangguh. Diantara hantaman kedurhakaan anak cucunya, ia tetaplah seorang ibu yang memiliki belas kasih yang teramat luas. Saat gaji bulanan yang diberikan bapak turun, serbuan anak cucunya meludeskan tanpa sisa. Itu ceritanya. Gaji yang tak seberapa, hanya 300 perak setiap bulannya yang saat itu belum krisis moneter.

Bukan tidak mau menerima imbalan lebih bekerja pada keluarga kami, itu adalah inginnya. Pengabdian tanpa terukur dengan materi, lebih pada budi yang tak terbalas hingga mati.

“Cukup, Mbok, segitu?” tanyaku waktu itu, saat usiaku SMA, saat dimana kritisku mulai menanyakan banyak hal tentang kehidupan.

Sangu suwargo, Nduk (Bekal ke surga, Nak)” jawabnya waktu itu.

Aku tidak pernah mampu menangkap jalan pikirannya tanpa bertanya. Bapak ibuku adalah seorang guru Sekolah Dasar, dimana waktu itu unggah-ungguh sangat dijaga sehingga tak banyak yang bisa kutanya. Sebagai anak, mendengarkan dan mematuhi apa yang diajarkan orang tua adalah tata krama yang harus sangat kami jaga, sebagai bentuk bakti. Akhirnya, Simbok menjadi tempat dimana aku banyak menuangkan tanya, karena merasakan tidak ada jarak dalam hubungan.

Tentang hidup, ia banyak mengajarkan makna. Bagaimana menjadi perempuan, tata krama Jawa, yang disandingkan pada nilai ruhiyah. Tidak sekedar duniawi yang berbau materi. Tuturnya sangat lugas, pun hasil dari menjalankan kelurusan budi dalam kehidupan sehari-hari.

Menunggu rasa tenang perasaan, mengatur nafas dalam-dalam membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga sedikit mampu mengendalikan emosi, memberanikan mendekatinya.

“Ibu jualan apa?” tanyaku sembari jongkok di hadapannya.

Niki, Mbak, wonten kluwih, kulit mlinjo,......” suaranya mulai tenggelam.

Rasa hati seperti diaduk-aduk. Gemuruh hati saat menatapnya sekuat mungkin kutepis. Wajahnya sangat mirip, senyumnya, keramahannya, suaranya, bahkan cara berpakaiannya. Hingga aku pun tak sanggup memperhatikan jawabannya, sibuk dengan rasa kecamuk sendiri.

Bukan jualan yang mahal, bervariasi, atau yang banyak dibutuhkan orang untuk kehidupan sehari-hari. Dagangannya sangat sederhana, bahkan melihat rupanya mungkin yang mementingkan kualitas tak akan meliriknya. Tapi, saat ini mungkin tidak banyak yang seperti itu. Menyambung nyawa tanpa menggadaikan harga diri, semampu apa pun berusaha untuk jauh dari meminta-minta.

Itu juga yang diajarkan Simbok. Jangan sampai meminta-minta meski papa, jangan sampai merendahkan diri hanya untuk duniawi.

Nerimo ing pandum, Nduk. Urip iku mung sak dermo. Kudu syukur lan sabar. (Menerima apa yang sudah diberikan oleh Allah. Hidup itu sekedar menjalani apa yang sudah ditentukan. Harus syukur dan sabar).

Nasehatnya waktu itu, saat merasa kecewa dengan harapan-harapan dan keinginan yang tak terkabul.

“Saya beli ya, Bu. Ini, ini, sama ini” kutunjukkan beberapa dagangannya yang kubeli.

Tiba-tiba terlihat binar matanya, seolah rasa terima kasih yang mendalam terucapkan. Segera diambil beberapa pesananku dan dimasukkan dalam plastik. Tak seberapa harganya, hanya beberapa ribu rupiah, tapi syukurnya tak henti. Kusodorkan selembar lima puluh ribuan, sengaja.

Mbok sing alit, Mbak. Mboten gadhah susukke (Uangnya yang kecil saja, Mbak, tidak ada kembalian)” ucapnya.

Mboten wonten, Bu, pun diasta mawon, kagem jenengan (Tidak ada, Bu. Sudah dibawa saja. Untuk ibu.)” ucapku sambil tersenyum.

Kulihat tetes air matanya, mungkin terharu.

Matur nuwun nggih, Mbak. Mugi-mugi lancar rejekine, dilindungi Gusti Allah, doa-doa terkabul......” doa panjangnya yang sampai tak kuingat. Hanya kudengarkan dan kuaminkan.

Masya Allah. Pemberian tak seberapa tapi doanya sangat luar biasa.

Sampun nggih, Bu (Sudah ya, Bu)” pamitku. Masih kulihat kadang ia menyeka air matanya.

Segera kuberlari mencari toilet yang tidak jauh dari tempat itu. Kutumpahkan lagi seluruh air mata hingga sesenggukan, mengingat seseorang yang telah pergi.

Simbok masih hidup, meski raganya telah pergi. Budi baiknya berakar pada jiwaku, yang membuatnya tak terlupakan. Kuseka air mata, mencuci mukaku dan menghilangkan jejak kesedihan yang mendalam, meski mata terlihat sangat bengkak. Pulang.

Hari berikutnya aku menyempatkan diri ke pasar Beringharjo, sekedar ingin melihat wajahnya dari jauh. Di jam yang sama seperti waktu kemarin. Tidak ada. Kutunggu beberapa waktu, siapa tahu akan datang. Hampir satu jam aku menunggu di seberang pintu selatan, tak kulihat sosok yang kucari. Aku memutuskan untuk pulang.

Begitu juga di hari berikutnya. Rasa ingin tahu tentang latar belakangnya yang menguatkanku menunggu lebih lama, hampir 2 jam. Tapi tak juga muncul. Pun hari berikutnya, hingga selama seminggu tak terlihat kehadirannya. Akhirnya aku memutuskan menanyakan ke pedagang-pedagang sebelahnya. Hasilnya, mereka pun tidak tahu karena yang berdagang di tempat itu seringnya bukan pedagang tetap.

Sedih dan kecewa. Hanya itu yang terasa. Tapi tetap ada rasa syukur mendapatkan hasil dokumentasinya. Tiba-tiba satu pesan masuk, Bapak yang menanyakan kapan pulang karena menjelang hari raya kurban.

Moment yang tepat untuk mengupas lagi tentang Simbok dengan Bapak. Hari berikutnya akhirnya pulang. Pun dengan Bapak dan Ibu, Simbok adalah sosok dengan budinya yang tak pernah terbalaskan oleh kami. Terkadang, rasa dosa dan penyesalan menyelimuti kami, karena tidak banyak yang kami lakukan saat hidupnya.

Tasih kemutan Simbok angon menda kula, Pak? (Masih ingat ketika Simbok merawat kambing kurbanku , Pak?)” aku membuka obrolan kami. Pada suatu sore, dimana kami sering menghabiskan waktu bersama.

Lha iyo, mbokdhe nganti didhodhos wedhus. Dengkule nganti lara, ora isoh dinggo mekongkong (Lha iya, sampai diseruduk kambing. Lututnya sakit, tidak bisa jongkok)” cerita Bapak. Begitu panggilan Bapak pada Simbok, “Mbokdhe”, sebutan untuk orang yang lebih tua dari ibu atau ayah.

Ning yo ora tau ngeluh utawa wadul. Mbokdhemu ki jan sabare ra kira. Ngurusi kowe lan mbakyumu ki ra tau nyebut kesel, tambah resik-resik omah lan pekarangan sak mono ambane mbendino. Rung tau Pakmu ki krungu Mbokdhemu nyebut (Tapi ya tidak pernah mengeluh atau mencurahkan hati. Mbokdhe itu sangat sabar. Mengurus kamu dan kakakmu tidak pernah bilang capek, ditambah bersih-bersih rumah dan halaman yang luas sekali. Belum pernah Bapak mendengar Mbokdhe itu mengucap keluhan).” lanjutnya

Akhirnya kuceritakan pertemuan seminggu lalu, kutunjukkan fotonya.

Kok plek? Kowe ra takon-takon? Omahe ngendi opo kuwi sopo? (Kok mirip? Kamu tidak bertanya itu rumahnya dimana atau itu siapa?)”

Kuceritakan bahwa aku telah kehilangan jejak. Hari-hari berikutnya kutelusur tidak juga ada hasilnya. Mungkin itu sebagai pengingat bahwa Simbok memang seharusnya tak terlupakan. Kebaikannya yang tak pernah habis dibahas.

Dia yang tidak pernah meminta untuk dirinya sendiri. Dia yang dengan kerendahan hati menjalani hidup dengan qana’ah, rasa cukup dalam hati yang membuatnya kaya dengan baik budi. Tahun ini kami berbakti, satu kambing untuk kurban dengan namanya. Meski tak sebanding dengan segala yang dilakukannya.

Kerinduan memelukku erat, pada perempuan yang budinya tak pernah terbalas. Pada jasanya yang tak pernah terbayar. Oleh kami, yang meskipun tidak ada jalinan darah namun ikatan kami sangat kuat.

Hanya satu penyesalan hingga detik ini, bahwa aku tidak di sampingnya saat detik terakhirnya.

Hanya mampu terangkai dalam doa
Panjatan .pengampunan bagi perempuan pengusik jiwa
Dalam malam-malam menjelang fajar
Moga Rabb-ku menempatkanmu pada sisi terbaik-Nya
Menyimpankan kebaikan-kebaikanmu sebagai penolong di padang Mahsyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar