Gerimis kecil masih tertumpah di langit Riau pada pagi buta.
November memasuki musim penghujan, musim yang lambat datang di tahun ini. Tanah
yang basah, hujan deras semalaman menyisakan genangan di beberapa titik halaman
depan rumah. Dua pohon mangga nampak segar daunnya, dengan buahnya yang lebat.
Dingin menyusup tulang saat Lia menyentuh air hendak wudhu.
Subuh ini datang lebih awal, pukul 4 kurang sepuluh. Bergegas ia menunaikan
Subuhnya sebelum terbit menyapa. Suara kokok ayam bersahut-sahutan sejak fajar
tiba, suaranya bergemuruh seolah hendak mengingatkan siapa saja tentang pagi
yang berkah. Dilanjutkan dengan dzikir, dan tak lupa mendoakan kedua orang
tuanya. Lima menit menjelang terbit, ia meraih Qur’an, membacanya dengan lirih,
memahamkan diri dengan membaca terjemahan. Berlinang air matanya mengingat
ibunya,
“Ba’da subuh, Nak, sebelum melihat dunia, lihatlah dulu
Al-Qur’an. Dibaca dengan tartil, dipahami maknanya. Bacalah terjemahan dan
tafsirnya agar kau paham” suara ibunya beberapa tahun silam menggema dalam
pendengarannya.
Beberapa lembar Lia baca, sesekali mengusap matanya yang
sembab dengan air mata. Memaknai tiap kata, bercampur dengan rasa rindu pada
orang tua, ibunya terutama.
Cahaya matahari mulai menerobos dalam celah-celah ventilasi
kamarnya. Mendung mulai menyingkir dari langit pagi. Pukul 6 matahari sudah
penuh menampakkan sinarnya. Sepertinya semalam sudah puas hujan tertumpah, pagi
ini cerah tanpa awan mendung.
Bergegas ia bersiap-siap diri, pukul 8 harus sudah sampai
di kantor sementara perjalanan dari rumah dengan kantornya menghabiskan sekitar
1 jam. Selesai mandi, 4 rakaat dhuha ia tunaikan, pun tak lepas dari ingatannya
pada ibunya yang tak bosan mengingatkan,
“Jangan lupakan dhuha, meski sunah, semoga Allah limpahkan
berkah untuk hidupmu dengan merutinkan amalan ini”, ucap ibunya bertahun-tahun silam,
saat ia hendak merantau menempuh pendidikan S1-nya.
Benarlah apa yang diucapkan ibunya, Allah tak
kurang-kurangnya memberikan kecukupan dalam hidupnya. Cumlaude yang diraihnya,
pekerjaan mapan yang dijabatnya, dan segudang pencapaian yang sudah membuat
namanya melambung merupakan doa-doa ibunya dan juga ayahnya karena ridho dengan
anaknya.
Diraihnya hp yang tergeletak di meja kerjanya. Sebuah pesan
whatsapp,
“Bangun, Nak, tahajud
dulu”, sebuah pesan dari Bapak, yang hampir setiap hari masuk. Namun kadang tak
terbalas karena keterlambatan membuka.
Ini yang belum bisa rutin dilakukan Lia, tahajud. Godaan
yang besar untuk membuka mata, nyamannya tidur diiringi dinginnya malam sering
membuat enggan bangun dari peraduan.
Sudah 3 hari ia belum menelepon ibu. Dicarinya nomer ibunya
dan mendengar suaranya yang lembut. Obrolan seputar kabar dan kegiatan Lia
selama bekerja.
“Kami semua sehat, alhamdulillah. Kapan pulang?” tanya ibu.
“Iya, Bu. Diusahakan secepatnya. InsyaAllah.” Jawabnya.
Setengah jam menjelang jam 7 pagi. Lia pamit dan menutup
telepon. Sebuah beban berat adalah pertanyaan “kapan pulang”. Serasa menjadi
anak durhaka tak sering dapat menengok orang tua. Membayangkan masa kecilnya yang
mereka perjuangan, besarnya pun belum dapat berbuat banyak.
Lia adalah sulung dari 3 bersaudara. Dua lainnya
melanjutkan pendidikan di Jogja, sekaligus menemani orang tua. Sesekali memang
Lia mengirimkan uang untuk sekolah adik-adiknya, sedikit meringankan beban
orang tua yang sudah renta. Namun itu tidak cukup membuatnya lepas dari rasa
bersalah karena merasa tak langsung menemani orang tuanya.
Setelah sarapan aku bersiap-siap untuk berangkat, sejenak
kupanaskan Honda Jazz silver. Mobil yang dibelinya dengan uang tabungan selama
bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan besar di Riau.
Seperti biasa, rutinitas cek laporan keuangan dan segala
macam yang berkaitan dengannya lancar. Sudah hampir 1 bulan direktur perusahaan
tidak masuk kantor karena banyak agenda di luar kota. Cuti, ini yang ingin
diajukan Lia. Direktur yang killer,
pekerjaan yang bertumpuk dan penuh dengan deadline,
atau beberapa rekan sekerja yang iri dan suka menggunjingkannya tidak cukup membuatnya
menyita pikiran dan perhatian. Namun rumah adalah satu-satunya impian yang
menjadi distract baginya.
Sudah 11 bulan ia belum dapat mengajukan cuti, dan terakhir
pulang adalah Desember tahun lalu. Sebenarnya posisinya sangat penting di
perusahaan, bahkan gajinya sangat besar. Dalam waktu kurang dari 2 tahun ia
sudah mampu membeli mobil dan rumah sendiri meskipun mungil. Akan tetapi, ada
rasa kosong, rasa yang tidak bisa ia tuangkan atau keluhkan.
“Mohon maaf, Pak. Kapan Bapak kembali ke kantor? Ada yang
perlu saya diskusikan dengan perkembangan keuangan kantor.” Akhirnya ia memberanikan diri untuk
menanyakan lewat email, sekaligus ada alasan lain yang lebih profesional.
Perlu waktu beberapa hari untuk mendapatkan respon dari
direkturnya. Pesan adiknya semakin menambah rasa tidak sabarnya.
“Mbak kapan pulang? Kami kangen. Semua yang disini kangen.
Bulan depan Nia wisuda. Mbak bisa datang, kan?” pesan dari Nia, adik bungsu.
“Wah, selamat ya sayang. InsyaAllah Mbak akan pulang.”
Jawab Lia, yang entah apakah nanti terwujud atau tidak Lia tetap akan
memperjuangkan untuk pulang.
Nia, adalah adik yang sangat istimewa. Di antara dua
adiknya, ia yang paling pengertian dengan Lia. Berbeda dengan adiknya yang
besar, Ria, yang cenderung cuek dengan keberadaan Lia. Lia dan kedua adiknya
selisih usia masing-masing 3 tahun, namun Nia lebih dewasa.
Nia menjadi sumber informasi saat Lia jauh dari orang tua,
yang rutin mengabarkan tentang keadaan ibu bapaknya, menceritakan tentang
perkembangan Ria, dan apapun tentang rumah.
“Kemarin jantung ibu kumat, Mbak. Mungkin terlalu capek.
Akhir-akhir ini Ibu sering mengeluhkan dada kirinya nyeri” Cerita Nia beberapa
waktu lalu.
Hal yang membuat sedih adalah, ketika ibunya tidak pernah
mengatakan bahwa keadaannya sakit atau sedih. Ibunya selalu bilang
“Alhamdulillah kami semua baik”. Lia paham jika itu hanya untuk mengurangi
beban pikiran Lia sebagai tulang punggung bagi adik-adiknya.
Bersyukur bahwa Ria sudah selesai studi 2 tahun yang lalu,
pun dengan dibantu biaya dari Lia karena kedua orang tuanya sudah pensiun,
hanya mengandalkan dari uang pensiun yang tidak seberapa untuk biaya hidup.
Itulah alasan Lia harus bekerja lebih keras, menepiskan untuk membangun rumah
tangga demi mengentaskan kebutuhan keluarganya.
Lima hari berikutnya email terjawab, dan janji untuk
bertemu dan berdiskusi dengan direkturnya telah dijadwalkan. Semuanya berjalan
lancar dan sesuai harapan Lia, kecuali pengajuan cutinya yang ditolak.
Emosinya memuncak, namun dia hanyalah bawahan yang harus
mengikuti aturan. Sesak dadanya menerima takdir pahit. Pulang seperti menjadi
angan-angan yang semakin hilang dari bayangan. Dalam perjalanan pulang ia sudah
tidak fokus lagi, pikirannya berkecamuk. Angannya melayang, air matanya mulai
deras. Mengingat wajah satu per satu yang terbayang, Bapak, Ibu, Nia, dan Ria.
Seketika serasa dirinya tidak berpijak, berpindah di lain dimensi.
Brakk!!
Kejadian begitu cepat. Dua mobil sama-sama ringsek.
Mobil-mobil yang lain mulai menepi, beberapa orang mencoba menyelamatkan
penumpang di kedua mobil karena salah satu kap mobil mulai mengeluarkan asap.
Tidak sampai 10 menit mobil pemadam kebakaran dan ambulance tiba di lokasi. Dengan
sigap mulai mengeluarkan ‘penghuni’ mobil yang bertabrakan. Terlihat perempuan muda
berjilbab digotong, darah menetes di pelipis. Lengan bajunya yang sobek-sobek,
terlihat tangannya berdarah. Matanya yang tertutup rapat, entah masih hidup
atau sudah berakhir hidupnya.
Lia melongo dari dalam mobilnya. Menyaksikan seketika
semuanya begitu sibuk dalam aksi penyelamatan. Ia tidak pernah membayangkan
bagaimana ia jika di posisi perempuan itu. Akankah bertemu dengan keluarganya
lagi? Seketika ia mempercepat lajunya, melewati lokasi kecelakaan yang selesai
dievakuasi, tancap gas menuju rumah.
Desember yang juga
basah
Lia sampai pada titik ini, tepat dimana ia mengharapkan
sesuatu yang berbeda. Mengikuti kata hatinya, melepaskan rasa duka dan bersalah
dengan orang-orang tercintanya.
Bandara Laksa Adisutjipto terasa ramai. Lia menjejakkan
kakinya dengan tarikan nafas dalam, menikmati udara yang dirindukannya. Lama ia
berdiri, menatap lantai di bawah kakinya, senyumnya yang manis menyiratkan rasa bahagia yang mendalam.
Tiba-tiba sebuah pelukan dari belakang membuatnya berdiri
kaku. Ia menolehkan kepalanya,
“Mbak Liaaaa”, sebuah suara kecil yang kurindukan, Nia.
Sementara Bapak Ibu dan Ria berdiri tak jauh di belakangnya.
Lia tak dapat berkata apa-apa, matanya menetes memandang
keduanya. Orang tua yang membesarkannya, terlihat sangat menua, wajahnya yang
berkeriput memandang dengan senyum. Ia berlari memeluk ibunya, dengan kerudung
besarnya yang kadang untuk mengusap air mata yang tak henti berlinang. Pun
dengan ayahnya yang terlihat kurus dengan tulang-tulang yang menonjol, tak
mengurangi hormat Lia pada kedua orang tuanya.
Sementara Ria, dengan malu-malu mencium tangan Lia, namun
akhirnya juga memeluknya dengan haru. Tangis mewarnai pertemuan mereka.
“Jadi, Mbak boleh cuti akhirnya?” tanya Nia yang penasaran
Lia menggeleng. Dengan senyum ia merahasiakan bagaimana ia
sampai bisa pulang. Tiket kepulangannya kali ini sangat mahal.
Lia melepas semuanya. Melepas karir dan materi yang ada di
sana. Melayangkan surat pengunduran diri. Entah disetujui atau tidak, ia tak
akan kembali. Semua aset di Riau telah dijual dan dia rela melepas karir yang
menjanjikan.
Apa yang lebih
nikmat dari memandang wajah tuanya yang bergurat
Apa yang lebih
mahal dari memegang dan menciumi tangannya yang keriput
Melihat senyumnya
yang mengembang dengan beberapa giginya yang tanggal
Bercengkerama
dengannya seperti saat masa belia
Mendengar
doa-doanya yang sangat panjang dan beraneka saat sungkem
Kenikmatan bertemu
dengan pintu surga adalah kenikmatan yang sangat besar
Selagi masih ada
usia, sempatkanlah
Karena tidak ada
yang tahu kapan usia mereka masih ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar