Alarm
dengan suara lembut membangunkan Kinanti. Waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Ia
bangun dan memandang lekat kalender yang terpampang di dinding kamarnya. Ia melihat
tanggal yang dilingkarinya, sambil mengucap doa dalam hati. Lama berdiri mengamati
hingga pikirannya menerawang, tak sadar bahwa ayahnya telah berdiri di tengah pintu
sambil menatapnya.
“Ada
apa, Kinanti?” sapa ayahnya mengagetkannya.
Kinanti
menoleh dan hanya tersenyum, kemudian berlari memeluk ayahnya. Tepat esok hari
adalah 12 tahun kehidupannya, dan ia merasa tak kurang sedikitpun kasih sayang ayahnya.
“Terima
kasih, Ayah”, bisiknya lembut tetap dalam pelukan sang ayah.
Di
antara bahagianya menapak masa baru, selama itu pula ketidakseimbangan menggoyahkan
kehidupannya. Kasih sayang ibunya telah hengkang sejak masa balitanya. Itu yang
dirasakannya. Meski masih satu rumah, namun sentuhan seorang ibu tak dapat ia
rasakan, terlebih dengan kesibukan pekerjaan ibunya yang sering keluar kota
atau dinas di negara lain yang membuatnya jarang bertatap muka dengan ibunya.
Kinanti
melepas pelukan sang ayah, sambil mengusap air matanya yang entah karena
bahagia atau karena kesedihan yang terpendam lama, tetap berusaha tersenyum.
Tak
ada kata yang keluar dari mulut ayahnya, ia pun hanya tersenyum dan meminta
Kinanti tidur karena sudah tengah malam. Ayahnya sangat paham harapannya di
usianya yang semakin besar membutuhkan pendampingan sang ibu sebagai sesama
perempuan, tapi ia pun tak dapat berbuat apa pun.
“Kita
pernah berdiskusi, pekerjaanku sangat penting. Tolong mengerti aku!” ucapan
ketus istrinya beberapa tahun lalu masih terngiang dan membuatnya sesak
seketika. Sejak saat itulah tidak ada lagi pembicaraan, pun segala keperluan
putri satu-satunya diambil alih oleh sang ayah. Pikirannya menerawang entah
kemana.
Pun
dengan Kinanti, yang hanya terbaring namun juga tak dapat memejamkan mata,
menatap tembok kamarnya, namun sesekali air matanya menetes meski tak ada suara
tangis yang keluar.
“Bunda, sesungguhnya aku sangat
kesepian. Aku ingin bercerita banyak hal. Apakah kau membenci kehadiranku
hingga tak mau bicara padaku sekalipun? Apakah ketidaksempurnaanku menghalangi rasa
sayangmu padaku?”
Batinnya
terus berkecamuk, yang selama hidupnya ia tanyakan hanya pada diri sendiri. Ia yang
terlahir dengan pendengaran yang tidak sempurna, merasa bahwa hanya ayah dan
kakek neneknya yang menyayanginya dengan tulus. Masa kecilnya pun kesepian, tak
ada orang tua yang mengijinkan anak-anaknya bermain dengan Kinanti. Ketika terlihat
Kinanti mendekati anak-anak yang sedang berkumpul bermain tidak jauh dari
rumahnya, satu per satu mulai pulang meninggalkannya. Kinanti yang saat itu
berusia 3 tahun tidak tahu apa-apa dan hanya berdiri dengan kebingungannya
sendiri.
Ayahnya
yang sedang berdiri mengamati di dari dalam rumahnya, menangis. Seketika ia
usap matanya dan keluar agar segera memeluk dan menggendong Kinanti. Berjuang tersenyum
di antara gemuruh hatinya yang tak terkira sedihnya. Kinanti justru tertawa
dengan pelukan sang ayah, tak menyadari apa yang membuatnya dijauhi. Sejak saat
itulah sang Ayah begitu menjaganya, menguatkan hatinya setiap Kinanti
menanyakan rasa tidak suka orang lain kepadanya.
Seiring
waktu, Kinanti menyadari bahwa dirinya berbeda.
“Karena
ini, Ayah?” ucapnya tiba-tiba dengan terbata di hadapan Ayahnya sambil menunjuk
telinganya sendiri, saat usianya sudah menginjak 6 tahun, usia yang membuatnya
begitu bersemangat untuk sekolah. Hatinya telah kuat, hasil tempaan sang ayah.
Ayahnya
hanya tersenyum meski hatinya menangis, sambil membelai rambut putrinya yang
sebahu. Sebulan lagi ia akan meninggalkannya untuk bersekolah di sekolah khusus
bagi siswa berkebutuhan khusus. Ayahnya memberikan tempat sekolah terbaik meski
jauh.
“Tapi
Kinanti tetap yang terbaik untuk ayah” ucap sang ayah menghiburnya. Kinanti pun
memeluk sang ayah sambil tertawa.
Tempatnya
bersekolah cukuplah jauh, sekitar 3 jam perjalanan dari Jogja. Kota bernama Wonosobo
itu cukup mengimbangi kenangan Kinanti tentang masa lalunya yang sulit. Ia sudah
mampu menyesuaikan diri jika berbaur dengan kehidupan anak-anak normal lainnya.
Akan tetapi satu hal yang masih ia cari. Selama hampir 7 tahun tanyanya belum
terjawab. Pun ia tak lagi menanyakan, namun masih menyimpan sebuah harapan, untuk
mendengar sapa sang bunda. Selama 7 tahun itu pula ia tak mendapat kunjungan
dari sang Bunda, bahkan telepin pun tidak pernah. Hanya sang Ayah yang setiap
seminggu sekali mengunjunginya dan selalu menguatkan hatinya.
Di
antara cerita teman-teman tentang ibu, ia pun pelan-pelan menarik diri dari
perbincangan, menyepi dengan menyeka air mata. Hatinya merintih merindukan apa
yang dirasakan teman-temannya. Bahkan ketika nanti kembali ke Jogja, ia
berjanji untuk menjadi anak yang baik bagi ibunya.
Aku berjanji akan bersikap baik,
Bunda. Aku akan menurut perkataan Bunda. Kinanti hanya ingin disayang Bunda. Sapalah
aku, Bunda. Aku kesepian.
Rintihannya
hampir di setiap tengah malam, diantara lelapnya teman-teman yang tidur pulas dengan
mimpi cita-citanya, juga terikut mimpi Kinanti tentang bundanya.
Begitulah
kehidupan Kinanti selama menempuh sekolah jauh dari ayahnya, dan kini ia bisa bersama
sang ayah lagi, menempuh pendidikan formal karena telah mampu menaklukkan
tantangan kehidupan mengatasi kelemahannya sehingga diterima dalam lingkungan
seperti anak-anak normal lainnya.
Satu
yang ingin dilakukannya ketika pertama kali menjejakkan kaki di Jogja, menemui bundanya
dan mengatakan bahwa ia sangat merindukannya. Namun sebelum membuka mulut, hanya
kebekuan diantara keduanya yang tercipta. Wajah yang tidak ramah membuat
Kinanti menahan napas dan suara, membuatnya tertunduk. Pelan-pelan air matanya
menetes. Langkahnya berat menuju kamar, menutup pintu pelan-pelan, mengambil
bantal dan menyusupkan kepalanya. Teriakan di antara tangisan tak terdengar
dari luar, teredam oleh bantal.
Bodohnya aku! Kenapa tidak berani?!
Sesalnya
dalam hati. Namun ia merasa bahwa dirinya hanya anak kecil yang suaranya tidak
akan didengar.
Bunda, tolong dengarkan aku sekali
saja. Meskipun aku tidak dapat mendengar dengan sempurna..
Rintihnya di antara luapan rasa sesak yang
terpendam selama bertahun-tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar