Senin, 12 November 2018

DENGARKAN AKU, BUNDA


Alarm dengan suara lembut membangunkan Kinanti. Waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Ia bangun dan memandang lekat kalender yang terpampang di dinding kamarnya. Ia melihat tanggal yang dilingkarinya, sambil mengucap doa dalam hati. Lama berdiri mengamati hingga pikirannya menerawang, tak sadar bahwa ayahnya telah berdiri di tengah pintu sambil menatapnya.

“Ada apa, Kinanti?” sapa ayahnya mengagetkannya.

Kinanti menoleh dan hanya tersenyum, kemudian berlari memeluk ayahnya. Tepat esok hari adalah 12 tahun kehidupannya, dan ia merasa tak kurang sedikitpun kasih sayang ayahnya.

“Terima kasih, Ayah”, bisiknya lembut tetap dalam pelukan sang ayah.

Di antara bahagianya menapak masa baru, selama itu pula ketidakseimbangan menggoyahkan kehidupannya. Kasih sayang ibunya telah hengkang sejak masa balitanya. Itu yang dirasakannya. Meski masih satu rumah, namun sentuhan seorang ibu tak dapat ia rasakan, terlebih dengan kesibukan pekerjaan ibunya yang sering keluar kota atau dinas di negara lain yang membuatnya jarang bertatap muka dengan ibunya.

Kinanti melepas pelukan sang ayah, sambil mengusap air matanya yang entah karena bahagia atau karena kesedihan yang terpendam lama, tetap berusaha tersenyum.

Tak ada kata yang keluar dari mulut ayahnya, ia pun hanya tersenyum dan meminta Kinanti tidur karena sudah tengah malam. Ayahnya sangat paham harapannya di usianya yang semakin besar membutuhkan pendampingan sang ibu sebagai sesama perempuan, tapi ia pun tak dapat berbuat apa pun.

“Kita pernah berdiskusi, pekerjaanku sangat penting. Tolong mengerti aku!” ucapan ketus istrinya beberapa tahun lalu masih terngiang dan membuatnya sesak seketika. Sejak saat itulah tidak ada lagi pembicaraan, pun segala keperluan putri satu-satunya diambil alih oleh sang ayah. Pikirannya menerawang entah kemana.

Pun dengan Kinanti, yang hanya terbaring namun juga tak dapat memejamkan mata, menatap tembok kamarnya, namun sesekali air matanya menetes meski tak ada suara tangis yang keluar.

“Bunda, sesungguhnya aku sangat kesepian. Aku ingin bercerita banyak hal. Apakah kau membenci kehadiranku hingga tak mau bicara padaku sekalipun? Apakah ketidaksempurnaanku menghalangi rasa sayangmu padaku?”

Batinnya terus berkecamuk, yang selama hidupnya ia tanyakan hanya pada diri sendiri. Ia yang terlahir dengan pendengaran yang tidak sempurna, merasa bahwa hanya ayah dan kakek neneknya yang menyayanginya dengan tulus. Masa kecilnya pun kesepian, tak ada orang tua yang mengijinkan anak-anaknya bermain dengan Kinanti. Ketika terlihat Kinanti mendekati anak-anak yang sedang berkumpul bermain tidak jauh dari rumahnya, satu per satu mulai pulang meninggalkannya. Kinanti yang saat itu berusia 3 tahun tidak tahu apa-apa dan hanya berdiri dengan kebingungannya sendiri.

Ayahnya yang sedang berdiri mengamati di dari dalam rumahnya, menangis. Seketika ia usap matanya dan keluar agar segera memeluk dan menggendong Kinanti. Berjuang tersenyum di antara gemuruh hatinya yang tak terkira sedihnya. Kinanti justru tertawa dengan pelukan sang ayah, tak menyadari apa yang membuatnya dijauhi. Sejak saat itulah sang Ayah begitu menjaganya, menguatkan hatinya setiap Kinanti menanyakan rasa tidak suka orang lain kepadanya.

Seiring waktu, Kinanti menyadari bahwa dirinya berbeda.

“Karena ini, Ayah?” ucapnya tiba-tiba dengan terbata di hadapan Ayahnya sambil menunjuk telinganya sendiri, saat usianya sudah menginjak 6 tahun, usia yang membuatnya begitu bersemangat untuk sekolah. Hatinya telah kuat, hasil tempaan sang ayah.

Ayahnya hanya tersenyum meski hatinya menangis, sambil membelai rambut putrinya yang sebahu. Sebulan lagi ia akan meninggalkannya untuk bersekolah di sekolah khusus bagi siswa berkebutuhan khusus. Ayahnya memberikan tempat sekolah terbaik meski jauh.

“Tapi Kinanti tetap yang terbaik untuk ayah” ucap sang ayah menghiburnya. Kinanti pun memeluk sang ayah sambil tertawa.

Tempatnya bersekolah cukuplah jauh, sekitar 3 jam perjalanan dari Jogja. Kota bernama Wonosobo itu cukup mengimbangi kenangan Kinanti tentang masa lalunya yang sulit. Ia sudah mampu menyesuaikan diri jika berbaur dengan kehidupan anak-anak normal lainnya. Akan tetapi satu hal yang masih ia cari. Selama hampir 7 tahun tanyanya belum terjawab. Pun ia tak lagi menanyakan, namun masih menyimpan sebuah harapan, untuk mendengar sapa sang bunda. Selama 7 tahun itu pula ia tak mendapat kunjungan dari sang Bunda, bahkan telepin pun tidak pernah. Hanya sang Ayah yang setiap seminggu sekali mengunjunginya dan selalu menguatkan hatinya.

Di antara cerita teman-teman tentang ibu, ia pun pelan-pelan menarik diri dari perbincangan, menyepi dengan menyeka air mata. Hatinya merintih merindukan apa yang dirasakan teman-temannya. Bahkan ketika nanti kembali ke Jogja, ia berjanji untuk menjadi anak yang baik bagi ibunya.

Aku berjanji akan bersikap baik, Bunda. Aku akan menurut perkataan Bunda. Kinanti hanya ingin disayang Bunda. Sapalah aku, Bunda. Aku kesepian.

Rintihannya hampir di setiap tengah malam, diantara lelapnya teman-teman yang tidur pulas dengan mimpi cita-citanya, juga terikut mimpi Kinanti tentang bundanya.

Begitulah kehidupan Kinanti selama menempuh sekolah jauh dari ayahnya, dan kini ia bisa bersama sang ayah lagi, menempuh pendidikan formal karena telah mampu menaklukkan tantangan kehidupan mengatasi kelemahannya sehingga diterima dalam lingkungan seperti anak-anak normal lainnya.

Satu yang ingin dilakukannya ketika pertama kali menjejakkan kaki di Jogja, menemui bundanya dan mengatakan bahwa ia sangat merindukannya. Namun sebelum membuka mulut, hanya kebekuan diantara keduanya yang tercipta. Wajah yang tidak ramah membuat Kinanti menahan napas dan suara, membuatnya tertunduk. Pelan-pelan air matanya menetes. Langkahnya berat menuju kamar, menutup pintu pelan-pelan, mengambil bantal dan menyusupkan kepalanya. Teriakan di antara tangisan tak terdengar dari luar, teredam oleh bantal.

Bodohnya aku! Kenapa tidak berani?!

Sesalnya dalam hati. Namun ia merasa bahwa dirinya hanya anak kecil yang suaranya tidak akan didengar.

Bunda, tolong dengarkan aku sekali saja. Meskipun aku tidak dapat mendengar dengan sempurna..

Rintihnya di antara luapan rasa sesak yang terpendam selama bertahun-tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar