Kamis, 20 Oktober 2022

Pola Pengasuhan Ibu Milenial

 

“Didiklah anakmu sesuai zamannya, karena anak-anak tidak hidup pada zamanmu”

Begitulah Khalifah ke-4 dalam periode Khulafaur Rasyidin sekaligus menantu Rasulullah SAW, Ali bin Abi Thalib r.a. berpesan. Julukannya sebagai “Gerbang Pengetahuan” telah menyampaikan pesan tersebut 14 abad yang lalu, dan hingga saat ini masih berlaku. Dinamika zaman menuntut para orang tua, terutama ibu sebagai madrasah pertama seorang anak untuk selalu belajar dan menyesuaikan perkembangan zaman dalam pengasuhannya.

Perempuan dengan kelahiran 1981-1996 atau pada tahun 2022 berusia sekitar 25-40 dikenal sebagai generasi milenial (gen Y) dan umumnya sudah memasuki kehidupan rumah tangga. Ibu milenial menghadapi kenyataan bahwa generasi yang diasuhnya sudah jauh berbeda dengan dirinya saat mendapatkan pengasuhan dari orang tuanya yaitu gen X. Seorang ibu milenial dituntut untuk selalu update dan upgrade mengenai berbagai ilmu untuk mendukung pengasuhan.

Era milenial sangat berbeda dengan sebelumnya. Dalam pengasuhan, ibu milenial harus terlibat dan masuk dalam dunia anak untuk menyelaraskan frekuensi dengan anak. Ibu harus melepaskan beban pikirannya sejenak yang dapat menghambat totalitas interaksi dengan anaknya. Di sisi lain, ibu juga dapat melibatkan anak dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukannya untuk menambah pengalaman anak. Anak dapat memiliki wacana dan wawasan yang luas ketika bersama orang tua. Tidak hanya itu, anak dapat membangun empati dan tanggung jawab dari sikap yang dimiliki orang tua.

Seorang ibu harus mampu membesarkan hati anaknya manakala seorang anak mencurahkan kegelisahan, kekecewaan, luka, sakit hati, dan hal buruk yang menimpanya. Seorang ibu pantang mengucapkan, “Ibu saja dulu bisa saat seperti itu, masak kamu tidak?”. Ingat bahwa seorang anak pun tidak mau dibandingkan, terutama yang mengucapkan adalah orang terdekatnya. Hal yang pantang dilakukan adalah menggurui dan menghakimi karena hal tersebut membuat anak merasa tersudut dan merasa sendirian. Ibu milenial diharapkan dapat duduk, mendengarkan, memberikan ruang bagi anak mengungkapkan segala yang ada di pikirannya, bahkan meluapkan emosinya tanpa memutus adegan tersebut. Dengan hal itu, anak akan merasa nyaman dan lega. Kenyamanan anak terhadap ibu membuatnya dapat terbuka dengan berbagai hal yang dipikirkan, dialami, dikeluhkan, maupun dihadapi langsung.

Keterbukaan anak merupakan kunci dalam mengontrol anak secara tidak langsung. Orang tua, terutama ibu dapat mengetahui sejauh mana dan bagaimana perilaku anak dengan keterbukaan dan komunikasinya. Hal utama yang dilakukan ibu ketika mendengar cerita anak adalah tidak menggurui dan menghakimi. Anak diajak berdiskusi mengenai masalah yang dihadapinya, menelusuri penyebab, menawarkan berbagai solusi serta memberikan gambaran konsekuensi masing-masing solusi, dan akhirnya memastikan anak siap dengan pilihan solusinya.

Keterlibatan, perhatian, dan pendampingan yang diberikan ibu dapat membuat anak yakin bahwa ibu dapat diandalkan dalam melewati masa-masa sulitnya. Kehadiran ibu dalam berbagai kondisi anak meminimalkan anak mencari pelarian di luar rumah terutama aktivitas atau lingkungan negatif. Hal ini karena apa yang anak butuhkan sudah dipenuhi oleh orang tua.

Ibu milenial tidak dapat memaksakan anak untuk menuruti segala keinginan atau perintahnya. Anak-anak dari ibu milenial cenderung kritis, sehingga tidak serta merta selalu menuruti seperti pendidikan yang dilaluinya dulu. Anak-anak cenderung menanyakan alasan kenapa harus berbuat seperti yang ibu perintahkan. Seorang ibu milenial harus mampu menjawab secara logis alasan serta konsekuensi jika tidak melakukannya. Komuniksi menjadi bagian penting dalam pengasuhan karena seorang ibu dan anak dapat membangun bonding tanpa jurang pemisah meskipun ada kalanya keduanya saling memberikan privasi.

Memiliki ibu yang asyik menjadi dambaan setiap anak. Ibu dapat menjadi pendidik, pengayom, sekaligus teman berbagi. Ibu milenial pun harus menyesuaikan dunia anak, termasuk di tengah-tengah gempuran teknologi seperti gadget, handphone dengan berbagai fitur yang menarik, dan pendidikan yang mulai beralih dengan mengkombinasikan offline dan online. Sebagai orang tua, kita tidak bisa melarang anak-anak untuk tidak menggunakannya karena pada kenyataannya saat ini benda-benda tersebut sangat dibutuhkan. Hanya saja ibu harus pandai dalam mengkomunikasikan penggunaan teknologi dengan tepat.

Ibu dapat membangun kesepakatan dengan anak-anaknya dalam penggunaan teknologi. Selain itu, teknologi juga bisa diarahkan untuk yang lebih bermanfaat misalnya dalam mendukung pendidikan dengan mengakses situs-situs yang bermanfaat. Anak juga dibiasakan berdiskusi bersama terhadap hal-hal yang dilihat, dilalui, dirasakan, maupun dihadapi baik ketika bersama orang tua maupun saat bersosialisasi dengan lingkungannya sendiri.

Orang tua juga harus memiliki keahlian dalam menggunakan teknologi lebih baik dari anak. Hal ini untuk mengimbangi anak agar tetap dapat mengasuh dan mendampingi anak. Bahkan seorang anak dapat terasah kemampuan, minat, dan bakatnya di bidang teknologi. Dalam hal ini, orang tua wajib memfasilitasinya karena saat ini tidak bisa menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah formal. Sekolah formal hanya sebagian kecil dari lingkungan anak yang membangun masa depannya. Arahan dan pendampingan penuh dari orang tua, terutama ibu sangat penting di era milenial untuk menyiapkan generasi sesuai zamannya. Sudah banyak bukti bahwa sekolah formal tidak menjamin kesuksesan anak di masa depan.