Sabtu, 01 Desember 2018

MENIKMATI PERAN

Menjadi ibu itu tantangannya super kompleks, terutama saat membersamai anak dalam pertumbuhannya. Sesuatu yang baru, atau tempat yang baru menjadi semacam uji nyali untuk anak. Di sisi lain menjadi ketakutan bagi ibu bagaimana anak menghadapinya, oleh karena itu penting untukku mengenalkan sesuatu yang baru sekaligus memberikan edukasi dalam tumbuh kembangnya. Saya rasa sangat eman untuk melepaakan masa-masa berharga ini.

Jadwal renang kali ini yang biasa di Griya Alvita pindah ke Kolam Renang UNY. Ini tempat yang pertama kalinya dikunjungi, pun melepaskan anak di tempat ini tidak bisa. Bukan karena tidak tega, tapi karena rawan untuk anak-anak yang rasa ingin tahunya lebih tinggi. Kolam renang dengan 4 lokasi memiliki kedalaman yang bervariasi yaitu 50 cm, 1 m, 1-5 meter, dan 7 m. Inilah yang riskan untuk anak-anak mengingat usianya yang baru 10 tahun pasti ingin mencoba segala sesuatu yang baru.

Akhirnya dengan berbesar hati sejenak meletakkan pekerjaan yang seharusnya pagi ini selesai, demi mendampingi dan mengawasi keamanannya.

Selesai renang, dilanjutkan dengan mencoba tempat baru yang sangat ingin dikunjungi anak lelakiku, Masjid UGM. Sejak keberangkatan menuju kolam renang tadi pagi, menara masjid yang menjulang tinggi cukup menarik perhatiannya. Sekilas menjelaskan bahwa masjid itu sangat indah. Ketertarikannya menjadi peluang besarku, sehingga selain keinginan menjelajahi tempat baru, ingin rasanya mengenalkan suasana masjid di Jogja satu per satu. Menyiapkannya menjadi seorang imam kelak di masa depan.

Ingin menjadikan hatinya terpaut pada masjid, yang kelak menjadi penolongnya di padang Mahsyar. Kadang sebagai seorang ibu, aku merasa menjadi orang yang sangat keras dan tidak sabaran, tapi aku ingin dia tahu kelak suatu hari bahwa semua yang kulakukan adalah untuk mendidiknya dan untuk kebaikannya.

Sebenarnya aku sangat ingin fokus untuk mendampinginya menghadapi tantangan zaman, dimana saat ini semakin banyak hal yang riskan yang mempengaruhi dalam tumbuh kembangnya, namun kondisi tetaplah menuntutku harus pandai membagi waktu. Aku ingin menikmati waktu untuk membersamainya sekaligus sebagai wanita karir. Keseimbangan yang sangat sulit dicapai tanpa gigih dan disiplin untuk menjalankan komitmen tersebut.

Laa haula walaaa quwwata illaa billah.

Sabtu, 17 November 2018

AKAN SAMPAI PADA MIMPIMU, NAK!


Menjadi perempuan karir sudah pernah didiskusikannya dengan suami. Riana, yang merupakan lulusan kedokteran, spesialis Ginekologi bercita-cita mengabdikan dirinya dalam dunia kedokteran.

“Aku ingin melindungi para perempuan agar tidak tersentuh dengan yang bukan mahram. Para perempuan saat ini sangat rentan dengan pelecehan”, ungkapnya suatu malam dengan suaminya.

“Aku mendukungmu. Tapi bagaimana dengan generasi kita? Aku ingin kamu bisa mendidiknya dengan tanganmu sendiri,” tanya suaminya.

“Insya Allah aku akan berusaha menyeimbangkan, menjalankan pengabdianku sebagai ibu dan istri, juga pengabdian untuk masyarakat,” jawabnya mencoba meyakinkan suaminya.

“Baiklah kalau itu keputusanmu dan kamu bisa menjalankan, aku bisa mendukung. Namun nanti jika di tengah jalan ada ketidakseimbangan, aku berharap kamu lebih memilih memprioritaskan mendidik anak-anak,” kata suaminya.

“Baiklah,” kata Riana. Suaminya mengecup kening Riana, mengakhiri diskusi malam dengan santun.

Suami Riana, Rudi yang juga seorang dokter, sangat paham dengan karakter Riana. Rudi mengetahui tentang Riana selama masa perkuliahan 4 tahun terakhir. Riana memang menjadi buah bibir di gedung perkuliahan spesialis, selain cantik, juga sangat cerdas. Rudi menyimpulkan bahwa Riana sebagai orang yang gigih berjuang, berambisi mencapai sesuatu yang menjadi prinsipnya, juga orang yang bisa diandalkan. Ini terbukti dari berbagai tugas yang diberikan dosen maupun nilai akademis yang memuaskan sehingga Riana selalu menduduki peringkat tertinggi dalam studinya.

Rudi memang menaruh hati kepada Riana, namun ia merasa minder karena merasa orang biasa yang berjuang untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam. Akan tetapi Riana bukanlah orang yang ramah dengan laki-laki, meski banyak yang menyukainya. Ia sangat cuek dan menjaga jarak dengan yang namanya laki-laki, tidak heran jika ia sering terlihat jutek dengan para laki-laki. Justru ini yang semakin membuat Rudi jatuh hati, Riana bukan perempuan gampangan.

“Kamu kenapa sih Ri? Tiap ketemu cowok pasti jutek?” tanya salah seorang teman dekatnya, Ari.

“Entah, aku gak suka aja. Kayaknya banyak modus.” Jawab Riana sambil tertawa.

Ari pun hanya melengos, mendengar jawaban Riana yang dinilai asal. Bahkan niatnya menjodohkan dengan kakaknya yang menaruh hati pada Riana pun urung. Riana yang beberapa kali mengerjakan tugas di rumah Ari cukup membuat kakaknya, Heri, jatuh hati. Wirausahawan muda yang sangat mandiri, tampan, dan kaya itu menjadi incaran banyak perempuan. Saking kayanya bahkan biaya sekolah Ari menjadi tanggungan sepenuhnya kakak lelakinya itu.

Kegigihan Riana membuahkan hasil, menjadi lulusan terbaik dengan waktu paling cepat. Panggilan kerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jogja membuatnya merasa sangat bersyukur. Allah telah mudahkan jalannya meniti menuntaskan pendidikan melalui beasiswa, pun mendapatkan pekerjaan sesuai dengan passion-nya.

Usianya memang hampir menginjak 30 tahun, namun keinginan berkeluarga belumlah ada. Hal ini karena ia masih ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah renta. Ia, yang merupakan anak sulung ingin menghajikan orang tua sebelum dipanggil Allah. Maka dengan sekuat hati ia menabung.

“Ibu ingin melihatmu menikah, ada yang menjagamu saat ibu atau ayah tidak ada.” Ungkap ibunya suatu malam.

“Yang jaga kan Allah, Bu. Insya Allah nanti kalau sudah waktunya jodoh akan datang kok, Bu,” jawab Riana berkilah dengan lembut.

Ibunya hanya menghela nafas panjang, merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Riana. Ibunya sangat tahu jika Riana tidak menginginkan sesuatu dan dipaksa maka hasilnya tidak baik. Akhirnya ibunya hanya banyak berdoa, mengirimkan seorang laki-laki soleh untuk Riana.

Dua tahun praktik di rumah sakit, Riana banyak mendapatkan curahan hati mengenai pengalaman para pasiennya yang tidak menyenangkan. Pengalaman periksa dengan dokter Ginekologi yang seringnya laki-laki dan memberikan kesan yang tidak menyamankan. Hal itu membuat Riana bertekad kelak untuk mendirikan praktik sendiri demi menjaga dan melindungi hak-hak perempuan.

Tahun ketiga Riana bekerja, beberapa teman seangkatan terlihat praktik di rumah sakit yang sama, termasuk Ari. Pertemuan yang membuat Riana merasakan teman seperjuangan. Ari pun merasakan mendapat guru dalam menjalankan pekerjaannya. Saat itu pulalah meja operasi menjadi media pertemuan dengan Rudi.

Riana memang tidak mengenal Rudi, tapi berbeda dengan Rudi yang telah menyimpan mimpi untuk Riana. Awal pertemuan memang dirasakan bahwa Riana sangat dingin terhadapnya. Namun seiring waktu dengan banyak kasus yang terjadi, Riana terpaksa banyak  berdiskusi dengan Rudi. Beberapa kerjasama dalam operasi sering dilakukan, mendiskusikan hasilnya dan membuat penemuan-penemuan baru.

Riana terlihat mulai ramah terhadap Rudi, bahkan menghabiskan istirahat siang bersama dengan berdiskusi. Namun Riana masih tetap Riana yang dulu, menutup hati untuk menjalin komitmen, menetapkan tujuan dalam rule yang disepakati hatinya.

Sebenarnya Rudi sudah berkali-kali memberikan kode untuk serius dengan Riana, namun tidak juga ditanggapi Riana.

“Aku mencintai seorang perempuan, yang ketika melihatnya aku sangat menginginkannya menjadi pendampingku,” dia bercerita kepada ibunya.

Perempuan tua itu menjadi orang yang paling perhatian jika Rudi sudah bercerita. Pun sebagai anak satu-satunya, waktunya telah ia habiskan untuk mendidik Rudi dengan baik. Dengan kehidupan sederhana, Rudi bukanlah orang yang  suka bercerita tentang hal-hal yang tidak serius. Kehidupannya mengajarkan untuk menghargai hidup, tidak main-main dengan waktunya, dan menjaga benar ucapannya.

“Kamu mengenalnya dengan baik?” tanya Ibunya.

“Ya, sejak 7 tahun yang lalu aku sering mengamatinya. Rudi tidak punya banyak kriteria untuk calon menantumu, Bu. Tapi solehahnya insya Allah ada padanya”  

“Oh, ya? 7 tahun bukan waktu yang sebentar kamu menaruh hati pada satu perempuan. Apa yang menghalangimu mendapatkannya?”

“Aku sudah mencoba menarik perhatiannya. Mencoba memberikan semacam tanda bahwa aku suka, tapi sepertinya dia tidak menyukaiku”

“Nak, jangan datangi perempuannya. Datangi walinya,” nasehat ibunya.

Rudi hanya menunduk dalam-dalam, menyadari langkahnya yang terburu-buru.

“Nanti malam sholat tahajud dan istikharah sama ibu,” ucap ibunya sambil mengusap-usap bahu Rudi, menyadari bahwa ada kegalauan berat tersimpan dalam hatinya.

Kamu akan sampai pada mimpimu, Nak. Insya Allah.

Ucap ibunya dalam hati. Maka mulai malam itu adalah malam-malam perjuangan Rudi dan ibunya. Memohon pada Rabb untuk satu permintaan mulia, menyempurnakan agamanya.

Tiga minggu kemudian Rudi membuka percakapan,

“Bolehkah aku mengunjungi orang tuamu bersama ibuku?” tanya Rudi santun

Riana sedikit membelalakkan matanya, kaget luar biasa, namun seketika ia bisa mengontrol rasa keterkejutannya.

“Keperluannya apa ya?” Riana berpura-pura menanyakan, padahal sudah lama memang ia paham gelagat Rudi yang menyukainya, namun ia berusaha cuek karena mengingat komitmennya.

“Kami ingin bersilaturahmi, menjalin hubungan dua keluarga dengan baik” jawab Rudi. Jawaban diplomatis yang cukup membuat Riana mengakhiri pembicaraan.

“Baiklah. Akan kutanyakan orang tuaku kapan mereka siap. Akan kukabari waktunya”

Riana berlalu sambil berpura-pura seperti biasanya, yang jutek dan dingin. Meski Rudi tahu Riana sedikit salah tingkah. Itu membuat Rudi tersenyum.

Akhirnya pertemuan kedua keluarga dijadwalkan. Pembicaraan diawali dengan perkenalan keduanya, hingga fokus pada tujuan utama pertemuan.

“Secara baik-baik, saya ingin melamarkan keponakan saya untuk Riana,” kata paman Rudi.

Rudi memang anak yatim, ayahnya telah meninggal dalam kecelakaan kerja sepuluh tahun silam. Karena itulah ia sangat mencintai ibunya, sebagai orang tua satu-satunya.

“Kami tidak bisa menjawabnya, anak kamilah yang memiliki hak dalam hal ini,” jawab ayah Riana

Ibunya masuk memanggil Riana, kemudian duduk di samping ibunya sambil menunduk.

“Bagaimana, Nduk? Nak Rudi ingin meminangmu. Apakah kamu bersedia?” tanya ibunya.

“Sebenarnya Riana mau, Bu. Tapi Riana telah berjanji untuk menghajikan ibu sama ayah dulu  baru menikah” jawab Riana masih dengan menunduk.

Nduk, ndak apa-apa kamu menikah dulu. Insya Allah masih ada waktu, Allah akan mudahkan niatmu terlaksana” ucap ibu, yang diiyakan oleh ayahnya.

Riana lama diam. Bimbang untuk menjawab. Setelah didesak akhirnya ia menjawab,

“Baiklah kalau itu ridho ibu dan ayah, Riana bersedia”

Rudi pun berucap syukur penuh dalam hati. Doa ibunyalah yang membuka kemudahan baginya.

Tak lama untuk melangsungkan pernikahan, Rudi dan Riana bersepakat mengadakannya dengan sederhana. Beberapa anak asuh Rudi juga menjadi pelengkap para tamu yang mendoakan kelanggengan hubungan mereka.

Sujud syukur bahwa tujuh tahunnya adalah doa yang menjadi kenyataan. Ibunya pun menjadi andil dalam kehidupan Rudi.

“Ada hadiah untuk ibu dan ayah,” kata Rudi seminggu kemudian.

Kejutan yang tak pernah Riana bayangkan. Hadiah terbesar dalam pernikahannya. Mencari ridho orang tua maka mendapatkan ridho Allah. Benarlah yang diriwayatkan Riwayat Ath Thabarani dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi bahwa ridha Rabb terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.

Keduanya telah mendapatkan ridho orang tua, maka mereka sampai pada mimpi masing-masing.

“Akan sampai pada mimpimu, Sayang.” Ucap Rudi sembari mengecup kening istrinya.

Doa yang sama untuk istrinya, bahwa karena ia tahu bahwa ridho suami adalah kemudahan bagi istrinya.

TIKET KEPULANGAN

Gerimis kecil masih tertumpah di langit Riau pada pagi buta. November memasuki musim penghujan, musim yang lambat datang di tahun ini. Tanah yang basah, hujan deras semalaman menyisakan genangan di beberapa titik halaman depan rumah. Dua pohon mangga nampak segar daunnya, dengan buahnya yang lebat.

Dingin menyusup tulang saat Lia menyentuh air hendak wudhu. Subuh ini datang lebih awal, pukul 4 kurang sepuluh. Bergegas ia menunaikan Subuhnya sebelum terbit menyapa. Suara kokok ayam bersahut-sahutan sejak fajar tiba, suaranya bergemuruh seolah hendak mengingatkan siapa saja tentang pagi yang berkah. Dilanjutkan dengan dzikir, dan tak lupa mendoakan kedua orang tuanya. Lima menit menjelang terbit, ia meraih Qur’an, membacanya dengan lirih, memahamkan diri dengan membaca terjemahan. Berlinang air matanya mengingat ibunya,

“Ba’da subuh, Nak, sebelum melihat dunia, lihatlah dulu Al-Qur’an. Dibaca dengan tartil, dipahami maknanya. Bacalah terjemahan dan tafsirnya agar kau paham” suara ibunya beberapa tahun silam menggema dalam pendengarannya.

Beberapa lembar Lia baca, sesekali mengusap matanya yang sembab dengan air mata. Memaknai tiap kata, bercampur dengan rasa rindu pada orang tua, ibunya terutama.

Cahaya matahari mulai menerobos dalam celah-celah ventilasi kamarnya. Mendung mulai menyingkir dari langit pagi. Pukul 6 matahari sudah penuh menampakkan sinarnya. Sepertinya semalam sudah puas hujan tertumpah, pagi ini cerah tanpa awan mendung.

Bergegas ia bersiap-siap diri, pukul 8 harus sudah sampai di kantor sementara perjalanan dari rumah dengan kantornya menghabiskan sekitar 1 jam. Selesai mandi, 4 rakaat dhuha ia tunaikan, pun tak lepas dari ingatannya pada ibunya yang tak bosan mengingatkan,

“Jangan lupakan dhuha, meski sunah, semoga Allah limpahkan berkah untuk hidupmu dengan merutinkan amalan ini”, ucap ibunya bertahun-tahun silam, saat ia hendak merantau menempuh pendidikan S1-nya.

Benarlah apa yang diucapkan ibunya, Allah tak kurang-kurangnya memberikan kecukupan dalam hidupnya. Cumlaude yang diraihnya, pekerjaan mapan yang dijabatnya, dan segudang pencapaian yang sudah membuat namanya melambung merupakan doa-doa ibunya dan juga ayahnya karena ridho dengan anaknya.

Diraihnya hp yang tergeletak di meja kerjanya. Sebuah pesan whatsapp,

“Bangun, Nak, tahajud dulu”, sebuah pesan dari Bapak, yang hampir setiap hari masuk. Namun kadang tak terbalas karena keterlambatan membuka.

Ini yang belum bisa rutin dilakukan Lia, tahajud. Godaan yang besar untuk membuka mata, nyamannya tidur diiringi dinginnya malam sering membuat enggan bangun dari peraduan.

Sudah 3 hari ia belum menelepon ibu. Dicarinya nomer ibunya dan mendengar suaranya yang lembut. Obrolan seputar kabar dan kegiatan Lia selama bekerja.
“Kami semua sehat, alhamdulillah. Kapan pulang?” tanya ibu.

“Iya, Bu. Diusahakan secepatnya. InsyaAllah.” Jawabnya.

Setengah jam menjelang jam 7 pagi. Lia pamit dan menutup telepon. Sebuah beban berat adalah pertanyaan “kapan pulang”. Serasa menjadi anak durhaka tak sering dapat menengok orang tua. Membayangkan masa kecilnya yang mereka perjuangan, besarnya pun belum dapat berbuat banyak.

Lia adalah sulung dari 3 bersaudara. Dua lainnya melanjutkan pendidikan di Jogja, sekaligus menemani orang tua. Sesekali memang Lia mengirimkan uang untuk sekolah adik-adiknya, sedikit meringankan beban orang tua yang sudah renta. Namun itu tidak cukup membuatnya lepas dari rasa bersalah karena merasa tak langsung menemani orang tuanya.

Setelah sarapan aku bersiap-siap untuk berangkat, sejenak kupanaskan Honda Jazz silver. Mobil yang dibelinya dengan uang tabungan selama bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan besar di Riau.

Seperti biasa, rutinitas cek laporan keuangan dan segala macam yang berkaitan dengannya lancar. Sudah hampir 1 bulan direktur perusahaan tidak masuk kantor karena banyak agenda di luar kota. Cuti, ini yang ingin diajukan Lia. Direktur yang killer, pekerjaan yang bertumpuk dan penuh dengan deadline, atau beberapa rekan sekerja yang iri dan suka menggunjingkannya tidak cukup membuatnya menyita pikiran dan perhatian. Namun rumah adalah satu-satunya impian yang menjadi distract baginya.

Sudah 11 bulan ia belum dapat mengajukan cuti, dan terakhir pulang adalah Desember tahun lalu. Sebenarnya posisinya sangat penting di perusahaan, bahkan gajinya sangat besar. Dalam waktu kurang dari 2 tahun ia sudah mampu membeli mobil dan rumah sendiri meskipun mungil. Akan tetapi, ada rasa kosong, rasa yang tidak bisa ia tuangkan atau keluhkan.

“Mohon maaf, Pak. Kapan Bapak kembali ke kantor? Ada yang perlu saya diskusikan dengan perkembangan keuangan kantor.”  Akhirnya ia memberanikan diri untuk menanyakan lewat email, sekaligus ada alasan lain yang lebih profesional.

Perlu waktu beberapa hari untuk mendapatkan respon dari direkturnya. Pesan adiknya semakin menambah rasa tidak sabarnya.

“Mbak kapan pulang? Kami kangen. Semua yang disini kangen. Bulan depan Nia wisuda. Mbak bisa datang, kan?” pesan dari Nia, adik bungsu.

“Wah, selamat ya sayang. InsyaAllah Mbak akan pulang.” Jawab Lia, yang entah apakah nanti terwujud atau tidak Lia tetap akan memperjuangkan untuk pulang.

Nia, adalah adik yang sangat istimewa. Di antara dua adiknya, ia yang paling pengertian dengan Lia. Berbeda dengan adiknya yang besar, Ria, yang cenderung cuek dengan keberadaan Lia. Lia dan kedua adiknya selisih usia masing-masing 3 tahun, namun Nia lebih dewasa.

Nia menjadi sumber informasi saat Lia jauh dari orang tua, yang rutin mengabarkan tentang keadaan ibu bapaknya, menceritakan tentang perkembangan Ria, dan apapun tentang rumah.

“Kemarin jantung ibu kumat, Mbak. Mungkin terlalu capek. Akhir-akhir ini Ibu sering mengeluhkan dada kirinya nyeri” Cerita Nia beberapa waktu lalu.

Hal yang membuat sedih adalah, ketika ibunya tidak pernah mengatakan bahwa keadaannya sakit atau sedih. Ibunya selalu bilang “Alhamdulillah kami semua baik”. Lia paham jika itu hanya untuk mengurangi beban pikiran Lia sebagai tulang punggung bagi adik-adiknya.

Bersyukur bahwa Ria sudah selesai studi 2 tahun yang lalu, pun dengan dibantu biaya dari Lia karena kedua orang tuanya sudah pensiun, hanya mengandalkan dari uang pensiun yang tidak seberapa untuk biaya hidup. Itulah alasan Lia harus bekerja lebih keras, menepiskan untuk membangun rumah tangga demi mengentaskan kebutuhan keluarganya.  

Lima hari berikutnya email terjawab, dan janji untuk bertemu dan berdiskusi dengan direkturnya telah dijadwalkan. Semuanya berjalan lancar dan sesuai harapan Lia, kecuali pengajuan cutinya yang ditolak.

Emosinya memuncak, namun dia hanyalah bawahan yang harus mengikuti aturan. Sesak dadanya menerima takdir pahit. Pulang seperti menjadi angan-angan yang semakin hilang dari bayangan. Dalam perjalanan pulang ia sudah tidak fokus lagi, pikirannya berkecamuk. Angannya melayang, air matanya mulai deras. Mengingat wajah satu per satu yang terbayang, Bapak, Ibu, Nia, dan Ria. Seketika serasa dirinya tidak berpijak, berpindah di lain dimensi.

Brakk!!

Kejadian begitu cepat. Dua mobil sama-sama ringsek. Mobil-mobil yang lain mulai menepi, beberapa orang mencoba menyelamatkan penumpang di kedua mobil karena salah satu kap mobil mulai mengeluarkan asap. Tidak sampai 10 menit mobil pemadam kebakaran dan ambulance tiba di lokasi. Dengan sigap mulai mengeluarkan ‘penghuni’ mobil yang bertabrakan. Terlihat perempuan muda berjilbab digotong, darah menetes di pelipis. Lengan bajunya yang sobek-sobek, terlihat tangannya berdarah. Matanya yang tertutup rapat, entah masih hidup atau sudah berakhir hidupnya.

Lia melongo dari dalam mobilnya. Menyaksikan seketika semuanya begitu sibuk dalam aksi penyelamatan. Ia tidak pernah membayangkan bagaimana ia jika di posisi perempuan itu. Akankah bertemu dengan keluarganya lagi? Seketika ia mempercepat lajunya, melewati lokasi kecelakaan yang selesai dievakuasi, tancap gas menuju rumah.

Desember yang juga basah

Lia sampai pada titik ini, tepat dimana ia mengharapkan sesuatu yang berbeda. Mengikuti kata hatinya, melepaskan rasa duka dan bersalah dengan orang-orang tercintanya.

Bandara Laksa Adisutjipto terasa ramai. Lia menjejakkan kakinya dengan tarikan nafas dalam, menikmati udara yang dirindukannya. Lama ia berdiri, menatap lantai di bawah kakinya, senyumnya yang  manis menyiratkan rasa bahagia yang mendalam.

Tiba-tiba sebuah pelukan dari belakang membuatnya berdiri kaku. Ia menolehkan kepalanya,

“Mbak Liaaaa”, sebuah suara kecil yang kurindukan, Nia. Sementara Bapak Ibu dan Ria berdiri tak jauh di belakangnya.

Lia tak dapat berkata apa-apa, matanya menetes memandang keduanya. Orang tua yang membesarkannya, terlihat sangat menua, wajahnya yang berkeriput memandang dengan senyum. Ia berlari memeluk ibunya, dengan kerudung besarnya yang kadang untuk mengusap air mata yang tak henti berlinang. Pun dengan ayahnya yang terlihat kurus dengan tulang-tulang yang menonjol, tak mengurangi hormat Lia pada kedua orang tuanya.

Sementara Ria, dengan malu-malu mencium tangan Lia, namun akhirnya juga memeluknya dengan haru. Tangis mewarnai pertemuan mereka.

“Jadi, Mbak boleh cuti akhirnya?” tanya Nia yang penasaran

Lia menggeleng. Dengan senyum ia merahasiakan bagaimana ia sampai bisa pulang. Tiket kepulangannya kali ini sangat mahal.

Lia melepas semuanya. Melepas karir dan materi yang ada di sana. Melayangkan surat pengunduran diri. Entah disetujui atau tidak, ia tak akan kembali. Semua aset di Riau telah dijual dan dia rela melepas karir yang menjanjikan.

Apa yang lebih nikmat dari memandang wajah tuanya yang bergurat
Apa yang lebih mahal dari memegang dan menciumi tangannya yang keriput
Melihat senyumnya yang mengembang dengan beberapa giginya yang tanggal
Bercengkerama dengannya seperti saat masa belia
Mendengar doa-doanya yang sangat panjang dan beraneka saat sungkem
Kenikmatan bertemu dengan pintu surga adalah kenikmatan yang sangat besar
Selagi masih ada usia, sempatkanlah

Karena tidak ada yang tahu kapan usia mereka masih ada

Kamis, 15 November 2018

KURBAN UNTUK SIMBOK


Sejenak pikiranku melayang, kekakuan menyerang ketika kulihat perempuan tua dengan jarik batik warna coklat tua dengan kebaya sederhana duduk di emperan pasar Beringharjo, dekat pintu masuk sebelah selatan. Rambut putihnya yang disanggul, wajah yang hitam keriput, dan gigi tinggal beberapa yang menghitam tak menyurutkan sunggingan senyum pada setiap yang berseliweran di depannya. Menjajakan dagangan yang entah apa dalam dalam bungkusan plastik putih.

Sesaat dadaku terasa sesak, menahan nafas dalam lelehan air mata. Terpaku berdiri beberapa meter darinya, dalam teriknya kota Jogja. Segera kukeluarkan DSLR, mengambil beberapa gambarnya.

Pandanganku beralih pada hasil gambar yang kuambil. Air mata meleleh ketika aku mengingatnya, 14 tahun sudah kepergiannya, tapi tak cukup waktu menyamarkan kenangan. Cukup lama meninggalkan, namun rasa kehilangan tetap mengiris kalbu yang menguras air mata.

Ingatanku tertumpu pada sesosok perempuan yang lekat dalam kehidupanku, Simbok. Bukanlah ibu kandung, meski panggilan itu untuk seorang ibu yang telah melahirkan. Simbok 'hanya' seorang pembantu di rumah saat kecil hingga dewasaku, yang bahkan sudah ikut keluarga kami sebelum aku lahir.

Lekat dalam ingatan, Simbok adalah perempuan yang sangat tangguh. Diantara hantaman kedurhakaan anak cucunya, ia tetaplah seorang ibu yang memiliki belas kasih yang teramat luas. Saat gaji bulanan yang diberikan bapak turun, serbuan anak cucunya meludeskan tanpa sisa. Itu ceritanya. Gaji yang tak seberapa, hanya 300 perak setiap bulannya yang saat itu belum krisis moneter.

Bukan tidak mau menerima imbalan lebih bekerja pada keluarga kami, itu adalah inginnya. Pengabdian tanpa terukur dengan materi, lebih pada budi yang tak terbalas hingga mati.

“Cukup, Mbok, segitu?” tanyaku waktu itu, saat usiaku SMA, saat dimana kritisku mulai menanyakan banyak hal tentang kehidupan.

Sangu suwargo, Nduk (Bekal ke surga, Nak)” jawabnya waktu itu.

Aku tidak pernah mampu menangkap jalan pikirannya tanpa bertanya. Bapak ibuku adalah seorang guru Sekolah Dasar, dimana waktu itu unggah-ungguh sangat dijaga sehingga tak banyak yang bisa kutanya. Sebagai anak, mendengarkan dan mematuhi apa yang diajarkan orang tua adalah tata krama yang harus sangat kami jaga, sebagai bentuk bakti. Akhirnya, Simbok menjadi tempat dimana aku banyak menuangkan tanya, karena merasakan tidak ada jarak dalam hubungan.

Tentang hidup, ia banyak mengajarkan makna. Bagaimana menjadi perempuan, tata krama Jawa, yang disandingkan pada nilai ruhiyah. Tidak sekedar duniawi yang berbau materi. Tuturnya sangat lugas, pun hasil dari menjalankan kelurusan budi dalam kehidupan sehari-hari.

Menunggu rasa tenang perasaan, mengatur nafas dalam-dalam membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga sedikit mampu mengendalikan emosi, memberanikan mendekatinya.

“Ibu jualan apa?” tanyaku sembari jongkok di hadapannya.

Niki, Mbak, wonten kluwih, kulit mlinjo,......” suaranya mulai tenggelam.

Rasa hati seperti diaduk-aduk. Gemuruh hati saat menatapnya sekuat mungkin kutepis. Wajahnya sangat mirip, senyumnya, keramahannya, suaranya, bahkan cara berpakaiannya. Hingga aku pun tak sanggup memperhatikan jawabannya, sibuk dengan rasa kecamuk sendiri.

Bukan jualan yang mahal, bervariasi, atau yang banyak dibutuhkan orang untuk kehidupan sehari-hari. Dagangannya sangat sederhana, bahkan melihat rupanya mungkin yang mementingkan kualitas tak akan meliriknya. Tapi, saat ini mungkin tidak banyak yang seperti itu. Menyambung nyawa tanpa menggadaikan harga diri, semampu apa pun berusaha untuk jauh dari meminta-minta.

Itu juga yang diajarkan Simbok. Jangan sampai meminta-minta meski papa, jangan sampai merendahkan diri hanya untuk duniawi.

Nerimo ing pandum, Nduk. Urip iku mung sak dermo. Kudu syukur lan sabar. (Menerima apa yang sudah diberikan oleh Allah. Hidup itu sekedar menjalani apa yang sudah ditentukan. Harus syukur dan sabar).

Nasehatnya waktu itu, saat merasa kecewa dengan harapan-harapan dan keinginan yang tak terkabul.

“Saya beli ya, Bu. Ini, ini, sama ini” kutunjukkan beberapa dagangannya yang kubeli.

Tiba-tiba terlihat binar matanya, seolah rasa terima kasih yang mendalam terucapkan. Segera diambil beberapa pesananku dan dimasukkan dalam plastik. Tak seberapa harganya, hanya beberapa ribu rupiah, tapi syukurnya tak henti. Kusodorkan selembar lima puluh ribuan, sengaja.

Mbok sing alit, Mbak. Mboten gadhah susukke (Uangnya yang kecil saja, Mbak, tidak ada kembalian)” ucapnya.

Mboten wonten, Bu, pun diasta mawon, kagem jenengan (Tidak ada, Bu. Sudah dibawa saja. Untuk ibu.)” ucapku sambil tersenyum.

Kulihat tetes air matanya, mungkin terharu.

Matur nuwun nggih, Mbak. Mugi-mugi lancar rejekine, dilindungi Gusti Allah, doa-doa terkabul......” doa panjangnya yang sampai tak kuingat. Hanya kudengarkan dan kuaminkan.

Masya Allah. Pemberian tak seberapa tapi doanya sangat luar biasa.

Sampun nggih, Bu (Sudah ya, Bu)” pamitku. Masih kulihat kadang ia menyeka air matanya.

Segera kuberlari mencari toilet yang tidak jauh dari tempat itu. Kutumpahkan lagi seluruh air mata hingga sesenggukan, mengingat seseorang yang telah pergi.

Simbok masih hidup, meski raganya telah pergi. Budi baiknya berakar pada jiwaku, yang membuatnya tak terlupakan. Kuseka air mata, mencuci mukaku dan menghilangkan jejak kesedihan yang mendalam, meski mata terlihat sangat bengkak. Pulang.

Hari berikutnya aku menyempatkan diri ke pasar Beringharjo, sekedar ingin melihat wajahnya dari jauh. Di jam yang sama seperti waktu kemarin. Tidak ada. Kutunggu beberapa waktu, siapa tahu akan datang. Hampir satu jam aku menunggu di seberang pintu selatan, tak kulihat sosok yang kucari. Aku memutuskan untuk pulang.

Begitu juga di hari berikutnya. Rasa ingin tahu tentang latar belakangnya yang menguatkanku menunggu lebih lama, hampir 2 jam. Tapi tak juga muncul. Pun hari berikutnya, hingga selama seminggu tak terlihat kehadirannya. Akhirnya aku memutuskan menanyakan ke pedagang-pedagang sebelahnya. Hasilnya, mereka pun tidak tahu karena yang berdagang di tempat itu seringnya bukan pedagang tetap.

Sedih dan kecewa. Hanya itu yang terasa. Tapi tetap ada rasa syukur mendapatkan hasil dokumentasinya. Tiba-tiba satu pesan masuk, Bapak yang menanyakan kapan pulang karena menjelang hari raya kurban.

Moment yang tepat untuk mengupas lagi tentang Simbok dengan Bapak. Hari berikutnya akhirnya pulang. Pun dengan Bapak dan Ibu, Simbok adalah sosok dengan budinya yang tak pernah terbalaskan oleh kami. Terkadang, rasa dosa dan penyesalan menyelimuti kami, karena tidak banyak yang kami lakukan saat hidupnya.

Tasih kemutan Simbok angon menda kula, Pak? (Masih ingat ketika Simbok merawat kambing kurbanku , Pak?)” aku membuka obrolan kami. Pada suatu sore, dimana kami sering menghabiskan waktu bersama.

Lha iyo, mbokdhe nganti didhodhos wedhus. Dengkule nganti lara, ora isoh dinggo mekongkong (Lha iya, sampai diseruduk kambing. Lututnya sakit, tidak bisa jongkok)” cerita Bapak. Begitu panggilan Bapak pada Simbok, “Mbokdhe”, sebutan untuk orang yang lebih tua dari ibu atau ayah.

Ning yo ora tau ngeluh utawa wadul. Mbokdhemu ki jan sabare ra kira. Ngurusi kowe lan mbakyumu ki ra tau nyebut kesel, tambah resik-resik omah lan pekarangan sak mono ambane mbendino. Rung tau Pakmu ki krungu Mbokdhemu nyebut (Tapi ya tidak pernah mengeluh atau mencurahkan hati. Mbokdhe itu sangat sabar. Mengurus kamu dan kakakmu tidak pernah bilang capek, ditambah bersih-bersih rumah dan halaman yang luas sekali. Belum pernah Bapak mendengar Mbokdhe itu mengucap keluhan).” lanjutnya

Akhirnya kuceritakan pertemuan seminggu lalu, kutunjukkan fotonya.

Kok plek? Kowe ra takon-takon? Omahe ngendi opo kuwi sopo? (Kok mirip? Kamu tidak bertanya itu rumahnya dimana atau itu siapa?)”

Kuceritakan bahwa aku telah kehilangan jejak. Hari-hari berikutnya kutelusur tidak juga ada hasilnya. Mungkin itu sebagai pengingat bahwa Simbok memang seharusnya tak terlupakan. Kebaikannya yang tak pernah habis dibahas.

Dia yang tidak pernah meminta untuk dirinya sendiri. Dia yang dengan kerendahan hati menjalani hidup dengan qana’ah, rasa cukup dalam hati yang membuatnya kaya dengan baik budi. Tahun ini kami berbakti, satu kambing untuk kurban dengan namanya. Meski tak sebanding dengan segala yang dilakukannya.

Kerinduan memelukku erat, pada perempuan yang budinya tak pernah terbalas. Pada jasanya yang tak pernah terbayar. Oleh kami, yang meskipun tidak ada jalinan darah namun ikatan kami sangat kuat.

Hanya satu penyesalan hingga detik ini, bahwa aku tidak di sampingnya saat detik terakhirnya.

Hanya mampu terangkai dalam doa
Panjatan .pengampunan bagi perempuan pengusik jiwa
Dalam malam-malam menjelang fajar
Moga Rabb-ku menempatkanmu pada sisi terbaik-Nya
Menyimpankan kebaikan-kebaikanmu sebagai penolong di padang Mahsyar

Selasa, 13 November 2018

PANGGILAN PULANG

Matanya yang hitam bulat menatap tak berkedip belalang hijau yang menempel pada tanaman padi di depannya. Kulitnya yang coklat tertimpa matahari pagi, dengan rambut keriting sebahu terlihat serius dengan mulut sedikit terbuka. Dengan punggungnya yang membungkuk, kadang ia memiringkan wajahnya tanpa melepas tatapan dari binatang satu itu.

“Sekaaaar, masuuuukk!” panggil gurunya dengan suara lantang.  

Sekitar 10 meter jarak guru darinya membuatnya menoleh sejenak sambil tersenyum. Namun kembali ia mengalihkan pandangannya pada belalang yang menjadi objeknya. Ternyata sudah tidak di tempatnya. Ia pun berlari kecil menuju gurunya, meninggalkan padi-padi yang disapa angin. Tanpa sandal atau sepatu, ia begitu menikmati menjejakkan kaki pada tanah lembab yang semalaman diguyur hujan.

“Yuk, masuk” gurunya mengulurkan tangannya untuk menggandeng gadis kecil itu. Perempuan berjilbab dengan wajah putihnya terlihat begitu sabar dengan Sekar. Satu-satunya murid yang sering keluar saat alam terasa memanggilnya.

Ya, gadis berusia 7 tahun itu memang berbeda dengan teman-temannya. Ia begitu liar dengan alam, seolah merasakan seperti rumahnya. Ia pun tak jijik jika bermain dengan tanah yang becek, menceburkan kakinya di sungai irigasi sekitar sekolahnya, atau memanjat pohon talok yang tingginya beberapa meter. Dalam sekejap sudah berada di atas dahan, duduk santai pada batang sambil memetik dan makan talok yang merah, menandakan sudah matang.

Satu hal yang disyukuri ibunya Sekar, bahwa ada sekolah yang memfasilitasinya belajar tanpa harus merasakan tekanan. Sekolah alam sedikit membuatnya bernafas lega, yang membangun pemahaman bahwa kemampuan setiap anak berbeda.

Selama 4 tahun mengalami masa yang sulit menghadapi kehidupan sendiri. Lelahnya menapaki takdir membesarkan buah hatinya sendiri, dengan cacian makian yang kadang menghantamnya. Tapi kehidupan yang keras tidak membuat hatinya keras. Sekar, menjadi alasan untuk bertahan hidup, bagaimanapun kondisinya.

“Dalam kandungan, saya pernah terserang malaria. Itu berpengaruh terhadap gelombang otak Sekar, sehingga sampai saat dia tumbuh semakin besar mungkin dianggap berbeda. Saya pun tak dapat memaksakan sistem pendidikan yang ketat seperti di formal saat ini dalam kehidupan Sekar” begitu ceritanya pada gurunya.

Ia pun bersyukur bahwa sekolah anaknya mengajarkan tidak hanya berhitung dan membaca yang menjadi pentingnya pendidikan, akan tetapi membangun karakter seperti kesopanan, kesantunan, menghargai satu sama lain, menjaga teman dan lingkungan, serta mampu menjaga diri sendiri.

Tidaklah mudah mendekati Sekar, dia menjadi satu-satunya siswa yang pemilih. Bahkan tidak semua guru mampu mendekatinya, karena Sekar memiliki jiwa perasa, jiwa yang dapat merasakan ketulusan, bukan kepura-puraan. Jiwa yang peka membedakan manipulatif dan kejujuran. Maka tak jarang ia menjauhi orang terlebih sebelum orang tersebut mendekati karena pekanya. Kadang pula ia mendekat orang yang justru diam tak menggubrisnya, karena ia merasa aman dan nyaman. Begitulah Sekar, unik.  

Tapi, dinamika kehidupan tetaplah berjalan. Tidak ada yang lepas dengan konflik sebagai makluk sosial. Sekar tetaplah seorang anak yang bermain dengan rasa. Ketidaknyamanan begitu peka dirasakan ketika salah satu teman barunya terlihat mendominasi dan mengintimidasi. Ia merasakan bahwa kehidupannya dinilai salah, ketidaksempurnaannya menjadi bahan pembicaraan.

“Aku tidak mau masuk kelaaaas!” teriaknya tiba-tiba ketika gurunya mengajak Sekar masuk seperti biasa.

“Kenapa?” tanya gurunya sembari jongkok di hadapan Sekar, menyamakan tinggi badan untuk dapat menatap mata Sekar, berbicara dengan hati.

“Pokoknya tidak mauuuu!” ulangnya lebih keras.

Gurunya menghela nafas, mencoba mencari celah untuk meredakan emosi anak didiknya.

“Kita pernah bersepakat untuk belajar bersama kalau sudah waktunya” ucap gurunya lembut, “Maukah Sekar menyepakatinya?”

Sekar hanya menundukkan kepalanya, lama ia menatap tanah di bawahnya, sembari memainkan jari-jari kakinya diantara pori-pori tanah. Gurunya pun dengan sabar membujuk Sekar untuk masuk kelas.

Sambil menganggukkan kepala dengan lemah, ia akhirnya luluh, menggandeng tangan gurunya tanpa mau melepaskan hingga pintu kelas. Seketika ia bersembunyi di balik badan gurunya sambil mengintip dari balik punggung pada salah satu temannya.

Akhirnya pahamlah sang guru alasan Sekar enggan masuk kelas. Siswa baru dengan rambut panjang sepinggang, dikucir rapi itu memang kerap terdengar banyak berkomentar dengan apapun yang dilakukan atau dimiliki Sekar. Pahamlah gurunya itu alasan ketidakpercayaan diri Sekar.

Pada akhirnya, seharian itu dirasakan Sekar dengan kebosanan, ketidaknyamanan, dan murung. Pulang dengan uring-uringan dan tangis yang keras. Ibunya yang heran mendapatkan kabar tak mengenakkan dari gurunya tentang keseharian Sekar di sekolah.

Gadis itu tumbuh tanpa kasih sayang ayah, yang telah meninggalkan ia dan ibunya tanpa kabar sejak 4 tahun yang lalu. Darah aristokrat sang ayah dari Maumere, Nusa Tenggara Timur, menjadi penghalang jalinan pernikahannya dengan perempuan Jawa dari keluarga besarnya, meski orang tua merestui. Pada akhirnya, sang perempuanlah yang banyak terluka.

Demam menyerang Sekar di tengah malam. Igauannya membangunkan ibunya yang tidur di sampingnya. Seketika dengan cekatan sang ibu mengompres meski igauan putrinya tak berhenti. Hanya satu kata yang terdengar jelas dari suara kecilnya,

“Aku mau pulang...pulang...pulang”

Tersentak ia teringat sumpah ibu mertuanya saat ia memutuskan pindah ke Jawa, di saat usia Sekar baru 1 tahun.

Sejauh apapun kalian pergi, kemanapun menginjakkan kaki, suatu hari ia akan kembali. Aku yang akan memanggilnya pulang. Perempuan pertama dari garis keturunanku adalah pewarisku.

Sentuhan tangan Sekar menghentikan lamunan ibunya. Wajahnya yang pucat menatap sayu pada wajah ibunya. Dengan segera ibunya memberikan minum pada anaknya, demam sudah sedikit menurun.

Ia memeluk anaknya, sambil menidurkannya kembali. Pikirannya kembali menerawang tentang tanah dimana anaknya lahir, Maumere.

Akhirnya lamunannya membawanya pada alam mimpi. Terlihat jelas pada mimpinya hamparan tanah hijau yang luas, dengan tanah sedikit basah dan lembab. Kuda-kuda bebas berlarian di alam liar. Tak jauh dari tempat itu, deburan ombak menghantam karang-karang kecil. Anak-anak kecil berlarian di pantai, bermain dengan pasir putih yang basah sisa air laut. Angin yang kadang kencang, kadang pula lembut menerpa daun-daun pepohonan di sekitarnya. Semakin tenggelam dalam mimpi, tentang rumah, tentang tanah yang dicintai gadis kecilnya.

Terbangun oleh satu suara, ibunya membelalakkan matanya karena kaget. Putrinya berbisik mesra di telinga ibunya,

“Ibu, ayo pulang”

“Pulang kemana?” ibunya berpura-pura menanyakan kepada Sekar.

Sekar memeluk ibunya,

“Aku ingin pulaaaaaang..huhuhu...” tangisnya pecah diantara pelukan dengan ibunya.

Ibunya yang tak mampu berkata apa-apa hanya memeluknya erat.

Sudah saatnya, Nak. Aku akan membawamu pada tanah kelahiranmu, Tanah Timor. Tanah yang menerimamu tanpa menghakimi dan menuntutmu. Tanah dimana darahmu mengalir, nadimu berdetak.

Satu tahun kamu pernah hidup di sana, cukuplah waktu menyimpan banyak kenangan tentang rumahmu, tempat dimana kamu memang ditakdirkan untuk pulang, Maumere. Tanah dimana sesungguhnya kamu hidup, menghabiskan masa, dan membaur dengan jiwamu di sana. 

---