Kamis, 10 Januari 2019

SEBATANG TEBU DAN SEBUAH LABU


Bulan Desember Jogja sudah mulai sering diguyur hujan. Sebagian besar pekerjaan telah kuselesaikan dengan baik. Liburan panjang pun sudah menanti. Kesempatan langka untuk menengok kampung halaman, pinggiran kota Klaten yang berbatasan dengan Boyolali. Jarak Jogja dengan Klaten memang dekat, dapat ditempuh selama kurang lebih 1,5 jam jika naik sepeda motor. Akan tetapi karena kesibukan yang sangat padat di Jogja, pulang pun menjadi sesuatu yang sangat jarang dilakukan, dan menjadi sesuatu yang sangat berharga.
Aku bersyukur bahwa kepulangan kali ini masih diberi kesempatan melihat wajah ayah dan ibu. Wajah yang keriput namun paling kurindukan, terutama ibu. Teringat tantangan Jasmine Elektrik dalam event #JasmineElektrikCeritaIBU untuk menuliskan cerita tentang ibu, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu di bulan Desember meskipun bagiku setiap hari adalah hari ibu. Begitu banyak kenangan yang hingga kini masih kuingat jelas tentang ibu. Kehidupan yang sederhana namun dermawan, lembut namun disiplin, penyabar, tangguh, dan hangat yang membuat orang lain nyaman setiap berada di sisinya.
Kuluangkan waktu untuk menjelajah setiap tempat bermain saat aku kecil. Tempat yang sudah jarang dijamah anak-anak jaman sekarang, persawahan yang terletak di bagian selatan kampungku. Persawahan tersebut cukup luas, dibagi menjadi dua bagian, sisi barat dan timur yang dipisahkan dengan jalan setapak selebar 2 meter dan panjang 500 meter, yang merupakan pemisah antara kampungku dengan kampung tetangga. Jalan setapak itulah tempat yang paling sering kususuri bersama teman-teman saat kecil, bermain layang-layang di pematang sawah, atau melihat teman-teman yang laki-laki bermain sepakbola di sawah yang sudah selesai panen dan belum ditanami.
Aku berdiri memandang hamparan hijau tanaman. Sebagian besar ditanam padi, dan beberapa petak sawah ditanam tebu. Tidak banyak yang berubah, hanya suasananya yang sepi, jauh dari suara tawa anak-anak bermain seperti dulu. Handphone dan gadget telah menyandera budaya permainan tradisional seperti masa kecil kami. Aku tidak menyalahkan teknologi, hanya menyayangkan kurangnya kebijaksanaan dalam menggunakannya. Kususuri jalan setapak perlahan-lahan, hanya terlihat dua orang petani yang menyambangi tanah sawahnya. Rerumputan liar tumbuh subur di pinggir jalan setapak, menandakan tak ada injakan yang menghalangi tumbuhnya. 
Hal yang paling kuingat saat di sawah adalah proses memanen tebu. Hal yang menurutku sangat menyenangkan karena suasana ramai dan banyak orang. Berderet-deret truk parkir di pinggir jalan dekat sawah untuk mengangkut tebu menuju penggilingan. Kami menunggu hingga selesai panen, bahkan melihat area sawah bekas menanam tebu yang dibakar. Momen setelahnya sungguh unik, teman-teman mencari sisa-sisa tebu untuk dimakan.
Pada awalnya aku hanya suka melihat, karena sebagian para orang tua di kampung berpesan,
“Jangan mengambil tebu, nanti kamu dibawa ke pabriknya”.
Hal yang menakutkan bagi anak kecil sepertiku. Akan tetapi semakin besar usiaku membuat penasaran dengan rasa tebu. Saat usiaku menginjak 8 tahun dan merasa sudah besar, aku bermain agak jauh bersama teman-teman, meskipun tetap di persawahan. Kali ini aku terprovokasi untuk mengambil sebatang tebu sisa panen seperti teman-teman lainnya. Sore sudah mulai sepi dan hanya aku dan teman-teman. Aku pun mengambil sebatang tebu dan membawanya pulang karena tidak ada alat untuk mengupasnya.
Sampai rumah pun ibu mengamatiku dan tebu yang kubawa,
“Kamu mendapat tebu dari mana?” tanya ibu lembut.
Kemudian kuceritakan asal mula tebu yang kubawa pulang. Ibu menghela nafas,
Nduk, meskipun tebu itu tebu sisa, kamu tidak boleh mengambilnya karena kamu tidak meminta izin pada yang punya. Meskipun kata orang ini adalah tebu yang sudah tidak layak untuk dibawa ke pabrik, namun kamu tetap tidak berhak atasnya. Mengambil tanpa izin artinya mencuri,” ibu menjelaskan dengan bahasa yang mudah kupahami.
Setelah menjelaskan itu, ibu memintaku untuk mengembalikannya di tempat semula. Sore sudah beranjak ke petang, maka kukembalikan di hari berikutnya. Sepulang sekolah, kususur lagi jalan menuju sawah tempat dimana sebatang tebu itu kuambil. Kuletakkan di tempat semula tebu itu. Siang yang terik membuatku segera pulang. 
Hal yang serupa terulang selang beberapa bulan berikutnya. Aku membawa pulang sebuah labu yang tergeletak di semak-semak sepulang sekolah dari Taman Pendidikan Al’Quran (TPA) di kampung tetangga. Kampung itu berjarak sekitar 3 km dari rumah, dan TPA kutempuh dengan berjalan kaki bersama teman-teman satu kampung yang berjumlah 4 orang seusai pulang sekolah. Hampir setiap hari kami berjalan untuk menuntut ilmu agama.
Suatu hari, teman dari kampung di TPA tempat kami mengajar, menunjukkanku jalan pintas untuk pulang. Jalan yang melalui persawahan dengan pemandangan yang indah meskipun harus menyusuri pinggir sungai yang dalam. Di sekitar sungai itulah aku melihat beberapa labu di tanah. Kata teman yang mengantarkan kami, tanaman labu itu tak bertuan, tidak ada yang pernah mengambilnya dan akhirnya membusuk. Aku berpikir sayang sekali kalau hanya terbuang, maka kuambil satu dan teman-teman sekampungku pun mengambil juga.
Sampai rumah pun ibu menanyakan asal muasal labu itu. Labu yang sudah matang berwarna kuning cukup siap untuk dimasak. Lagi-lagi ibu menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya meminta izin, dan pada akhirnya aku harus mengembalikan labu itu ke tempatnya. Sejak saat itulah setiap meminta aku akan mencari pemiliknya, bahkan ini berlaku saat di dalam rumah. Uang serupiah yang tergeletak di meja pun tidak akan hilang karena kami pasti akan meminta izin jika ingin mengambilnya.
Jika aku mengingat momen-momen itu, yang bahkan sudah hampir 27 tahun, aku baru menyadari bahwa kasih sayang ibu tak terbantahkan waktu. Kasih sayang yang dituangkan dengan pendidikan sejak dini. Pendidikan seorang ibu yang hingga detik ini sangat melekat dalam hati dan terpatri dalam ingatan. Pendidikan untuk menggambarkan betapa pentingnya izin yang menjadi sahnya kepemilikan. Seorang ibu yang berjuang menjaga putrinya menjaga adab dan menempatkan diri menjadi madrasah utama bagi anak-anaknya. Pada akhirnya aku memahami bahwa tujuannya adalah menjauhkan diri dari mengambil hak orang lain tanpa izin sehingga budaya meminta izin sangat lekat dalam kehidupan sehari-hariku.
Bahkan hingga detik ini, aku masih sangat menjaga agar tidak ada makanan yang masuk tanpa jelas asal muasalnya, atau menyimpan barang yang bukan milik sendiri tanpa izin pemilik. Aku pun mengikuti jejaknya, mengajarkan anakku untuk terbiasa meminta izin, meskipun kepada orang tua sendiri. Hanya sebatang tebu dan sebuah labu, namun cukup mengajariku tumbuh menjadi anak yang pantang menyandera hak orang lain, serta mengenal halal dan haram.

#JasmineElektrik  #JasmineElektrikCeritaIBU #MimpiIIIBU