Selasa, 13 November 2018

PANGGILAN PULANG

Matanya yang hitam bulat menatap tak berkedip belalang hijau yang menempel pada tanaman padi di depannya. Kulitnya yang coklat tertimpa matahari pagi, dengan rambut keriting sebahu terlihat serius dengan mulut sedikit terbuka. Dengan punggungnya yang membungkuk, kadang ia memiringkan wajahnya tanpa melepas tatapan dari binatang satu itu.

“Sekaaaar, masuuuukk!” panggil gurunya dengan suara lantang.  

Sekitar 10 meter jarak guru darinya membuatnya menoleh sejenak sambil tersenyum. Namun kembali ia mengalihkan pandangannya pada belalang yang menjadi objeknya. Ternyata sudah tidak di tempatnya. Ia pun berlari kecil menuju gurunya, meninggalkan padi-padi yang disapa angin. Tanpa sandal atau sepatu, ia begitu menikmati menjejakkan kaki pada tanah lembab yang semalaman diguyur hujan.

“Yuk, masuk” gurunya mengulurkan tangannya untuk menggandeng gadis kecil itu. Perempuan berjilbab dengan wajah putihnya terlihat begitu sabar dengan Sekar. Satu-satunya murid yang sering keluar saat alam terasa memanggilnya.

Ya, gadis berusia 7 tahun itu memang berbeda dengan teman-temannya. Ia begitu liar dengan alam, seolah merasakan seperti rumahnya. Ia pun tak jijik jika bermain dengan tanah yang becek, menceburkan kakinya di sungai irigasi sekitar sekolahnya, atau memanjat pohon talok yang tingginya beberapa meter. Dalam sekejap sudah berada di atas dahan, duduk santai pada batang sambil memetik dan makan talok yang merah, menandakan sudah matang.

Satu hal yang disyukuri ibunya Sekar, bahwa ada sekolah yang memfasilitasinya belajar tanpa harus merasakan tekanan. Sekolah alam sedikit membuatnya bernafas lega, yang membangun pemahaman bahwa kemampuan setiap anak berbeda.

Selama 4 tahun mengalami masa yang sulit menghadapi kehidupan sendiri. Lelahnya menapaki takdir membesarkan buah hatinya sendiri, dengan cacian makian yang kadang menghantamnya. Tapi kehidupan yang keras tidak membuat hatinya keras. Sekar, menjadi alasan untuk bertahan hidup, bagaimanapun kondisinya.

“Dalam kandungan, saya pernah terserang malaria. Itu berpengaruh terhadap gelombang otak Sekar, sehingga sampai saat dia tumbuh semakin besar mungkin dianggap berbeda. Saya pun tak dapat memaksakan sistem pendidikan yang ketat seperti di formal saat ini dalam kehidupan Sekar” begitu ceritanya pada gurunya.

Ia pun bersyukur bahwa sekolah anaknya mengajarkan tidak hanya berhitung dan membaca yang menjadi pentingnya pendidikan, akan tetapi membangun karakter seperti kesopanan, kesantunan, menghargai satu sama lain, menjaga teman dan lingkungan, serta mampu menjaga diri sendiri.

Tidaklah mudah mendekati Sekar, dia menjadi satu-satunya siswa yang pemilih. Bahkan tidak semua guru mampu mendekatinya, karena Sekar memiliki jiwa perasa, jiwa yang dapat merasakan ketulusan, bukan kepura-puraan. Jiwa yang peka membedakan manipulatif dan kejujuran. Maka tak jarang ia menjauhi orang terlebih sebelum orang tersebut mendekati karena pekanya. Kadang pula ia mendekat orang yang justru diam tak menggubrisnya, karena ia merasa aman dan nyaman. Begitulah Sekar, unik.  

Tapi, dinamika kehidupan tetaplah berjalan. Tidak ada yang lepas dengan konflik sebagai makluk sosial. Sekar tetaplah seorang anak yang bermain dengan rasa. Ketidaknyamanan begitu peka dirasakan ketika salah satu teman barunya terlihat mendominasi dan mengintimidasi. Ia merasakan bahwa kehidupannya dinilai salah, ketidaksempurnaannya menjadi bahan pembicaraan.

“Aku tidak mau masuk kelaaaas!” teriaknya tiba-tiba ketika gurunya mengajak Sekar masuk seperti biasa.

“Kenapa?” tanya gurunya sembari jongkok di hadapan Sekar, menyamakan tinggi badan untuk dapat menatap mata Sekar, berbicara dengan hati.

“Pokoknya tidak mauuuu!” ulangnya lebih keras.

Gurunya menghela nafas, mencoba mencari celah untuk meredakan emosi anak didiknya.

“Kita pernah bersepakat untuk belajar bersama kalau sudah waktunya” ucap gurunya lembut, “Maukah Sekar menyepakatinya?”

Sekar hanya menundukkan kepalanya, lama ia menatap tanah di bawahnya, sembari memainkan jari-jari kakinya diantara pori-pori tanah. Gurunya pun dengan sabar membujuk Sekar untuk masuk kelas.

Sambil menganggukkan kepala dengan lemah, ia akhirnya luluh, menggandeng tangan gurunya tanpa mau melepaskan hingga pintu kelas. Seketika ia bersembunyi di balik badan gurunya sambil mengintip dari balik punggung pada salah satu temannya.

Akhirnya pahamlah sang guru alasan Sekar enggan masuk kelas. Siswa baru dengan rambut panjang sepinggang, dikucir rapi itu memang kerap terdengar banyak berkomentar dengan apapun yang dilakukan atau dimiliki Sekar. Pahamlah gurunya itu alasan ketidakpercayaan diri Sekar.

Pada akhirnya, seharian itu dirasakan Sekar dengan kebosanan, ketidaknyamanan, dan murung. Pulang dengan uring-uringan dan tangis yang keras. Ibunya yang heran mendapatkan kabar tak mengenakkan dari gurunya tentang keseharian Sekar di sekolah.

Gadis itu tumbuh tanpa kasih sayang ayah, yang telah meninggalkan ia dan ibunya tanpa kabar sejak 4 tahun yang lalu. Darah aristokrat sang ayah dari Maumere, Nusa Tenggara Timur, menjadi penghalang jalinan pernikahannya dengan perempuan Jawa dari keluarga besarnya, meski orang tua merestui. Pada akhirnya, sang perempuanlah yang banyak terluka.

Demam menyerang Sekar di tengah malam. Igauannya membangunkan ibunya yang tidur di sampingnya. Seketika dengan cekatan sang ibu mengompres meski igauan putrinya tak berhenti. Hanya satu kata yang terdengar jelas dari suara kecilnya,

“Aku mau pulang...pulang...pulang”

Tersentak ia teringat sumpah ibu mertuanya saat ia memutuskan pindah ke Jawa, di saat usia Sekar baru 1 tahun.

Sejauh apapun kalian pergi, kemanapun menginjakkan kaki, suatu hari ia akan kembali. Aku yang akan memanggilnya pulang. Perempuan pertama dari garis keturunanku adalah pewarisku.

Sentuhan tangan Sekar menghentikan lamunan ibunya. Wajahnya yang pucat menatap sayu pada wajah ibunya. Dengan segera ibunya memberikan minum pada anaknya, demam sudah sedikit menurun.

Ia memeluk anaknya, sambil menidurkannya kembali. Pikirannya kembali menerawang tentang tanah dimana anaknya lahir, Maumere.

Akhirnya lamunannya membawanya pada alam mimpi. Terlihat jelas pada mimpinya hamparan tanah hijau yang luas, dengan tanah sedikit basah dan lembab. Kuda-kuda bebas berlarian di alam liar. Tak jauh dari tempat itu, deburan ombak menghantam karang-karang kecil. Anak-anak kecil berlarian di pantai, bermain dengan pasir putih yang basah sisa air laut. Angin yang kadang kencang, kadang pula lembut menerpa daun-daun pepohonan di sekitarnya. Semakin tenggelam dalam mimpi, tentang rumah, tentang tanah yang dicintai gadis kecilnya.

Terbangun oleh satu suara, ibunya membelalakkan matanya karena kaget. Putrinya berbisik mesra di telinga ibunya,

“Ibu, ayo pulang”

“Pulang kemana?” ibunya berpura-pura menanyakan kepada Sekar.

Sekar memeluk ibunya,

“Aku ingin pulaaaaaang..huhuhu...” tangisnya pecah diantara pelukan dengan ibunya.

Ibunya yang tak mampu berkata apa-apa hanya memeluknya erat.

Sudah saatnya, Nak. Aku akan membawamu pada tanah kelahiranmu, Tanah Timor. Tanah yang menerimamu tanpa menghakimi dan menuntutmu. Tanah dimana darahmu mengalir, nadimu berdetak.

Satu tahun kamu pernah hidup di sana, cukuplah waktu menyimpan banyak kenangan tentang rumahmu, tempat dimana kamu memang ditakdirkan untuk pulang, Maumere. Tanah dimana sesungguhnya kamu hidup, menghabiskan masa, dan membaur dengan jiwamu di sana. 

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar