Matanya
yang hitam bulat menatap tak berkedip belalang hijau yang menempel pada tanaman
padi di depannya. Kulitnya yang coklat tertimpa matahari pagi, dengan rambut
keriting sebahu terlihat serius dengan mulut sedikit terbuka. Dengan punggungnya
yang membungkuk, kadang ia memiringkan wajahnya tanpa melepas tatapan dari
binatang satu itu.
“Sekaaaar,
masuuuukk!” panggil gurunya dengan suara lantang.
Sekitar
10 meter jarak guru darinya membuatnya menoleh sejenak sambil tersenyum. Namun kembali
ia mengalihkan pandangannya pada belalang yang menjadi objeknya. Ternyata sudah
tidak di tempatnya. Ia pun berlari kecil menuju gurunya, meninggalkan padi-padi
yang disapa angin. Tanpa sandal atau sepatu, ia begitu menikmati menjejakkan
kaki pada tanah lembab yang semalaman diguyur hujan.
“Yuk,
masuk” gurunya mengulurkan tangannya untuk menggandeng gadis kecil itu. Perempuan
berjilbab dengan wajah putihnya terlihat begitu sabar dengan Sekar. Satu-satunya
murid yang sering keluar saat alam terasa memanggilnya.
Ya,
gadis berusia 7 tahun itu memang berbeda dengan teman-temannya. Ia begitu liar
dengan alam, seolah merasakan seperti rumahnya. Ia pun tak jijik jika bermain dengan
tanah yang becek, menceburkan kakinya di sungai irigasi sekitar sekolahnya, atau
memanjat pohon talok yang tingginya beberapa meter. Dalam sekejap sudah berada
di atas dahan, duduk santai pada batang sambil memetik dan makan talok yang
merah, menandakan sudah matang.
Satu
hal yang disyukuri ibunya Sekar, bahwa ada sekolah yang memfasilitasinya
belajar tanpa harus merasakan tekanan. Sekolah alam sedikit membuatnya bernafas
lega, yang membangun pemahaman bahwa kemampuan setiap anak berbeda.
Selama
4 tahun mengalami masa yang sulit menghadapi kehidupan sendiri. Lelahnya menapaki
takdir membesarkan buah hatinya sendiri, dengan cacian makian yang kadang
menghantamnya. Tapi kehidupan yang keras tidak membuat hatinya keras. Sekar,
menjadi alasan untuk bertahan hidup, bagaimanapun kondisinya.
“Dalam
kandungan, saya pernah terserang malaria. Itu berpengaruh terhadap gelombang otak
Sekar, sehingga sampai saat dia tumbuh semakin besar mungkin dianggap berbeda. Saya
pun tak dapat memaksakan sistem pendidikan yang ketat seperti di formal saat
ini dalam kehidupan Sekar” begitu ceritanya pada gurunya.
Ia
pun bersyukur bahwa sekolah anaknya mengajarkan tidak hanya berhitung dan
membaca yang menjadi pentingnya pendidikan, akan tetapi membangun karakter seperti
kesopanan, kesantunan, menghargai satu sama lain, menjaga teman dan lingkungan,
serta mampu menjaga diri sendiri.
Tidaklah
mudah mendekati Sekar, dia menjadi satu-satunya siswa yang pemilih. Bahkan tidak
semua guru mampu mendekatinya, karena Sekar memiliki jiwa perasa, jiwa yang
dapat merasakan ketulusan, bukan kepura-puraan. Jiwa yang peka membedakan manipulatif
dan kejujuran. Maka tak jarang ia menjauhi orang terlebih sebelum orang
tersebut mendekati karena pekanya. Kadang pula ia mendekat orang yang justru
diam tak menggubrisnya, karena ia merasa aman dan nyaman. Begitulah Sekar, unik.
Tapi,
dinamika kehidupan tetaplah berjalan. Tidak ada yang lepas dengan konflik
sebagai makluk sosial. Sekar tetaplah seorang anak yang bermain dengan rasa. Ketidaknyamanan
begitu peka dirasakan ketika salah satu teman barunya terlihat mendominasi dan
mengintimidasi. Ia merasakan bahwa kehidupannya dinilai salah,
ketidaksempurnaannya menjadi bahan pembicaraan.
“Aku
tidak mau masuk kelaaaas!” teriaknya tiba-tiba ketika gurunya mengajak Sekar
masuk seperti biasa.
“Kenapa?”
tanya gurunya sembari jongkok di hadapan Sekar, menyamakan tinggi badan untuk
dapat menatap mata Sekar, berbicara dengan hati.
“Pokoknya
tidak mauuuu!” ulangnya lebih keras.
Gurunya
menghela nafas, mencoba mencari celah untuk meredakan emosi anak didiknya.
“Kita
pernah bersepakat untuk belajar bersama kalau sudah waktunya” ucap gurunya
lembut, “Maukah Sekar menyepakatinya?”
Sekar
hanya menundukkan kepalanya, lama ia menatap tanah di bawahnya, sembari
memainkan jari-jari kakinya diantara pori-pori tanah. Gurunya pun dengan sabar membujuk
Sekar untuk masuk kelas.
Sambil
menganggukkan kepala dengan lemah, ia akhirnya luluh, menggandeng tangan
gurunya tanpa mau melepaskan hingga pintu kelas. Seketika ia bersembunyi di
balik badan gurunya sambil mengintip dari balik punggung pada salah satu
temannya.
Akhirnya
pahamlah sang guru alasan Sekar enggan masuk kelas. Siswa baru dengan rambut
panjang sepinggang, dikucir rapi itu memang kerap terdengar banyak berkomentar
dengan apapun yang dilakukan atau dimiliki Sekar. Pahamlah gurunya itu alasan ketidakpercayaan
diri Sekar.
Pada
akhirnya, seharian itu dirasakan Sekar dengan kebosanan, ketidaknyamanan, dan murung.
Pulang dengan uring-uringan dan tangis yang keras. Ibunya yang heran
mendapatkan kabar tak mengenakkan dari gurunya tentang keseharian Sekar di
sekolah.
Gadis
itu tumbuh tanpa kasih sayang ayah, yang telah meninggalkan ia dan ibunya tanpa
kabar sejak 4 tahun yang lalu. Darah aristokrat sang ayah dari Maumere, Nusa Tenggara
Timur, menjadi penghalang jalinan pernikahannya dengan perempuan Jawa dari
keluarga besarnya, meski orang tua merestui. Pada akhirnya, sang perempuanlah yang
banyak terluka.
Demam
menyerang Sekar di tengah malam. Igauannya membangunkan ibunya yang tidur di
sampingnya. Seketika dengan cekatan sang ibu mengompres meski igauan putrinya
tak berhenti. Hanya satu kata yang terdengar jelas dari suara kecilnya,
“Aku
mau pulang...pulang...pulang”
Tersentak
ia teringat sumpah ibu mertuanya saat ia memutuskan pindah ke Jawa, di saat
usia Sekar baru 1 tahun.
Sejauh apapun kalian pergi,
kemanapun menginjakkan kaki, suatu hari ia akan kembali. Aku yang akan
memanggilnya pulang. Perempuan pertama dari garis keturunanku adalah pewarisku.
Sentuhan
tangan Sekar menghentikan lamunan ibunya. Wajahnya yang pucat menatap sayu pada
wajah ibunya. Dengan segera ibunya memberikan minum pada anaknya, demam sudah
sedikit menurun.
Ia
memeluk anaknya, sambil menidurkannya kembali. Pikirannya kembali menerawang
tentang tanah dimana anaknya lahir, Maumere.
Akhirnya
lamunannya membawanya pada alam mimpi. Terlihat jelas pada mimpinya hamparan
tanah hijau yang luas, dengan tanah sedikit basah dan lembab. Kuda-kuda bebas
berlarian di alam liar. Tak jauh dari tempat itu, deburan ombak menghantam
karang-karang kecil. Anak-anak kecil berlarian di pantai, bermain dengan pasir putih
yang basah sisa air laut. Angin yang kadang kencang, kadang pula lembut menerpa
daun-daun pepohonan di sekitarnya. Semakin tenggelam dalam mimpi, tentang
rumah, tentang tanah yang dicintai gadis kecilnya.
Terbangun
oleh satu suara, ibunya membelalakkan matanya karena kaget. Putrinya berbisik
mesra di telinga ibunya,
“Ibu,
ayo pulang”
“Pulang
kemana?” ibunya berpura-pura menanyakan kepada Sekar.
Sekar
memeluk ibunya,
“Aku
ingin pulaaaaaang..huhuhu...” tangisnya pecah diantara pelukan dengan ibunya.
Ibunya
yang tak mampu berkata apa-apa hanya memeluknya erat.
Sudah saatnya, Nak. Aku akan membawamu
pada tanah kelahiranmu, Tanah Timor. Tanah yang menerimamu tanpa menghakimi dan
menuntutmu. Tanah dimana darahmu mengalir, nadimu berdetak.
Satu tahun kamu pernah hidup di sana,
cukuplah waktu menyimpan banyak kenangan tentang rumahmu, tempat dimana kamu
memang ditakdirkan untuk pulang, Maumere. Tanah dimana sesungguhnya kamu hidup,
menghabiskan masa, dan membaur dengan jiwamu di sana.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar