Sabtu, 17 November 2018

AKAN SAMPAI PADA MIMPIMU, NAK!


Menjadi perempuan karir sudah pernah didiskusikannya dengan suami. Riana, yang merupakan lulusan kedokteran, spesialis Ginekologi bercita-cita mengabdikan dirinya dalam dunia kedokteran.

“Aku ingin melindungi para perempuan agar tidak tersentuh dengan yang bukan mahram. Para perempuan saat ini sangat rentan dengan pelecehan”, ungkapnya suatu malam dengan suaminya.

“Aku mendukungmu. Tapi bagaimana dengan generasi kita? Aku ingin kamu bisa mendidiknya dengan tanganmu sendiri,” tanya suaminya.

“Insya Allah aku akan berusaha menyeimbangkan, menjalankan pengabdianku sebagai ibu dan istri, juga pengabdian untuk masyarakat,” jawabnya mencoba meyakinkan suaminya.

“Baiklah kalau itu keputusanmu dan kamu bisa menjalankan, aku bisa mendukung. Namun nanti jika di tengah jalan ada ketidakseimbangan, aku berharap kamu lebih memilih memprioritaskan mendidik anak-anak,” kata suaminya.

“Baiklah,” kata Riana. Suaminya mengecup kening Riana, mengakhiri diskusi malam dengan santun.

Suami Riana, Rudi yang juga seorang dokter, sangat paham dengan karakter Riana. Rudi mengetahui tentang Riana selama masa perkuliahan 4 tahun terakhir. Riana memang menjadi buah bibir di gedung perkuliahan spesialis, selain cantik, juga sangat cerdas. Rudi menyimpulkan bahwa Riana sebagai orang yang gigih berjuang, berambisi mencapai sesuatu yang menjadi prinsipnya, juga orang yang bisa diandalkan. Ini terbukti dari berbagai tugas yang diberikan dosen maupun nilai akademis yang memuaskan sehingga Riana selalu menduduki peringkat tertinggi dalam studinya.

Rudi memang menaruh hati kepada Riana, namun ia merasa minder karena merasa orang biasa yang berjuang untuk mengangkat derajat keluarganya menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam. Akan tetapi Riana bukanlah orang yang ramah dengan laki-laki, meski banyak yang menyukainya. Ia sangat cuek dan menjaga jarak dengan yang namanya laki-laki, tidak heran jika ia sering terlihat jutek dengan para laki-laki. Justru ini yang semakin membuat Rudi jatuh hati, Riana bukan perempuan gampangan.

“Kamu kenapa sih Ri? Tiap ketemu cowok pasti jutek?” tanya salah seorang teman dekatnya, Ari.

“Entah, aku gak suka aja. Kayaknya banyak modus.” Jawab Riana sambil tertawa.

Ari pun hanya melengos, mendengar jawaban Riana yang dinilai asal. Bahkan niatnya menjodohkan dengan kakaknya yang menaruh hati pada Riana pun urung. Riana yang beberapa kali mengerjakan tugas di rumah Ari cukup membuat kakaknya, Heri, jatuh hati. Wirausahawan muda yang sangat mandiri, tampan, dan kaya itu menjadi incaran banyak perempuan. Saking kayanya bahkan biaya sekolah Ari menjadi tanggungan sepenuhnya kakak lelakinya itu.

Kegigihan Riana membuahkan hasil, menjadi lulusan terbaik dengan waktu paling cepat. Panggilan kerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jogja membuatnya merasa sangat bersyukur. Allah telah mudahkan jalannya meniti menuntaskan pendidikan melalui beasiswa, pun mendapatkan pekerjaan sesuai dengan passion-nya.

Usianya memang hampir menginjak 30 tahun, namun keinginan berkeluarga belumlah ada. Hal ini karena ia masih ingin membahagiakan orang tuanya yang sudah renta. Ia, yang merupakan anak sulung ingin menghajikan orang tua sebelum dipanggil Allah. Maka dengan sekuat hati ia menabung.

“Ibu ingin melihatmu menikah, ada yang menjagamu saat ibu atau ayah tidak ada.” Ungkap ibunya suatu malam.

“Yang jaga kan Allah, Bu. Insya Allah nanti kalau sudah waktunya jodoh akan datang kok, Bu,” jawab Riana berkilah dengan lembut.

Ibunya hanya menghela nafas panjang, merasa tidak ada gunanya berdebat dengan Riana. Ibunya sangat tahu jika Riana tidak menginginkan sesuatu dan dipaksa maka hasilnya tidak baik. Akhirnya ibunya hanya banyak berdoa, mengirimkan seorang laki-laki soleh untuk Riana.

Dua tahun praktik di rumah sakit, Riana banyak mendapatkan curahan hati mengenai pengalaman para pasiennya yang tidak menyenangkan. Pengalaman periksa dengan dokter Ginekologi yang seringnya laki-laki dan memberikan kesan yang tidak menyamankan. Hal itu membuat Riana bertekad kelak untuk mendirikan praktik sendiri demi menjaga dan melindungi hak-hak perempuan.

Tahun ketiga Riana bekerja, beberapa teman seangkatan terlihat praktik di rumah sakit yang sama, termasuk Ari. Pertemuan yang membuat Riana merasakan teman seperjuangan. Ari pun merasakan mendapat guru dalam menjalankan pekerjaannya. Saat itu pulalah meja operasi menjadi media pertemuan dengan Rudi.

Riana memang tidak mengenal Rudi, tapi berbeda dengan Rudi yang telah menyimpan mimpi untuk Riana. Awal pertemuan memang dirasakan bahwa Riana sangat dingin terhadapnya. Namun seiring waktu dengan banyak kasus yang terjadi, Riana terpaksa banyak  berdiskusi dengan Rudi. Beberapa kerjasama dalam operasi sering dilakukan, mendiskusikan hasilnya dan membuat penemuan-penemuan baru.

Riana terlihat mulai ramah terhadap Rudi, bahkan menghabiskan istirahat siang bersama dengan berdiskusi. Namun Riana masih tetap Riana yang dulu, menutup hati untuk menjalin komitmen, menetapkan tujuan dalam rule yang disepakati hatinya.

Sebenarnya Rudi sudah berkali-kali memberikan kode untuk serius dengan Riana, namun tidak juga ditanggapi Riana.

“Aku mencintai seorang perempuan, yang ketika melihatnya aku sangat menginginkannya menjadi pendampingku,” dia bercerita kepada ibunya.

Perempuan tua itu menjadi orang yang paling perhatian jika Rudi sudah bercerita. Pun sebagai anak satu-satunya, waktunya telah ia habiskan untuk mendidik Rudi dengan baik. Dengan kehidupan sederhana, Rudi bukanlah orang yang  suka bercerita tentang hal-hal yang tidak serius. Kehidupannya mengajarkan untuk menghargai hidup, tidak main-main dengan waktunya, dan menjaga benar ucapannya.

“Kamu mengenalnya dengan baik?” tanya Ibunya.

“Ya, sejak 7 tahun yang lalu aku sering mengamatinya. Rudi tidak punya banyak kriteria untuk calon menantumu, Bu. Tapi solehahnya insya Allah ada padanya”  

“Oh, ya? 7 tahun bukan waktu yang sebentar kamu menaruh hati pada satu perempuan. Apa yang menghalangimu mendapatkannya?”

“Aku sudah mencoba menarik perhatiannya. Mencoba memberikan semacam tanda bahwa aku suka, tapi sepertinya dia tidak menyukaiku”

“Nak, jangan datangi perempuannya. Datangi walinya,” nasehat ibunya.

Rudi hanya menunduk dalam-dalam, menyadari langkahnya yang terburu-buru.

“Nanti malam sholat tahajud dan istikharah sama ibu,” ucap ibunya sambil mengusap-usap bahu Rudi, menyadari bahwa ada kegalauan berat tersimpan dalam hatinya.

Kamu akan sampai pada mimpimu, Nak. Insya Allah.

Ucap ibunya dalam hati. Maka mulai malam itu adalah malam-malam perjuangan Rudi dan ibunya. Memohon pada Rabb untuk satu permintaan mulia, menyempurnakan agamanya.

Tiga minggu kemudian Rudi membuka percakapan,

“Bolehkah aku mengunjungi orang tuamu bersama ibuku?” tanya Rudi santun

Riana sedikit membelalakkan matanya, kaget luar biasa, namun seketika ia bisa mengontrol rasa keterkejutannya.

“Keperluannya apa ya?” Riana berpura-pura menanyakan, padahal sudah lama memang ia paham gelagat Rudi yang menyukainya, namun ia berusaha cuek karena mengingat komitmennya.

“Kami ingin bersilaturahmi, menjalin hubungan dua keluarga dengan baik” jawab Rudi. Jawaban diplomatis yang cukup membuat Riana mengakhiri pembicaraan.

“Baiklah. Akan kutanyakan orang tuaku kapan mereka siap. Akan kukabari waktunya”

Riana berlalu sambil berpura-pura seperti biasanya, yang jutek dan dingin. Meski Rudi tahu Riana sedikit salah tingkah. Itu membuat Rudi tersenyum.

Akhirnya pertemuan kedua keluarga dijadwalkan. Pembicaraan diawali dengan perkenalan keduanya, hingga fokus pada tujuan utama pertemuan.

“Secara baik-baik, saya ingin melamarkan keponakan saya untuk Riana,” kata paman Rudi.

Rudi memang anak yatim, ayahnya telah meninggal dalam kecelakaan kerja sepuluh tahun silam. Karena itulah ia sangat mencintai ibunya, sebagai orang tua satu-satunya.

“Kami tidak bisa menjawabnya, anak kamilah yang memiliki hak dalam hal ini,” jawab ayah Riana

Ibunya masuk memanggil Riana, kemudian duduk di samping ibunya sambil menunduk.

“Bagaimana, Nduk? Nak Rudi ingin meminangmu. Apakah kamu bersedia?” tanya ibunya.

“Sebenarnya Riana mau, Bu. Tapi Riana telah berjanji untuk menghajikan ibu sama ayah dulu  baru menikah” jawab Riana masih dengan menunduk.

Nduk, ndak apa-apa kamu menikah dulu. Insya Allah masih ada waktu, Allah akan mudahkan niatmu terlaksana” ucap ibu, yang diiyakan oleh ayahnya.

Riana lama diam. Bimbang untuk menjawab. Setelah didesak akhirnya ia menjawab,

“Baiklah kalau itu ridho ibu dan ayah, Riana bersedia”

Rudi pun berucap syukur penuh dalam hati. Doa ibunyalah yang membuka kemudahan baginya.

Tak lama untuk melangsungkan pernikahan, Rudi dan Riana bersepakat mengadakannya dengan sederhana. Beberapa anak asuh Rudi juga menjadi pelengkap para tamu yang mendoakan kelanggengan hubungan mereka.

Sujud syukur bahwa tujuh tahunnya adalah doa yang menjadi kenyataan. Ibunya pun menjadi andil dalam kehidupan Rudi.

“Ada hadiah untuk ibu dan ayah,” kata Rudi seminggu kemudian.

Kejutan yang tak pernah Riana bayangkan. Hadiah terbesar dalam pernikahannya. Mencari ridho orang tua maka mendapatkan ridho Allah. Benarlah yang diriwayatkan Riwayat Ath Thabarani dan dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi bahwa ridha Rabb terletak pada ridha kedua orang tua dan murka-Nya terletak pada kemurkaan keduanya.

Keduanya telah mendapatkan ridho orang tua, maka mereka sampai pada mimpi masing-masing.

“Akan sampai pada mimpimu, Sayang.” Ucap Rudi sembari mengecup kening istrinya.

Doa yang sama untuk istrinya, bahwa karena ia tahu bahwa ridho suami adalah kemudahan bagi istrinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar