Selasa, 03 April 2018

LUPIS UNTUK RENGGANIS


Setiap jiwa akan menemukan senjanya
Satu jiwa dengan jiwa yang lain terhubung dalam benang waktu
Tersusun dalam kepingan-kepingan kehidupan
Hingga tiba masanya, satu diantaranya akan pergi dan menghilang

***

Kami bertiga tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku, Emak, dan adikku, Rengganis. Hidup yang dibilang sangat kekurangan bagiku sejak bapak meninggal 3 tahun yang lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Sangat berbeda dengan Emak. Baginya, meski sangat sulit tapi senyumnya tak pernah lepas ketika memandang kami. Aku tak pernah melihat Emak menangis sedih atau mengeluh. Emak selalu bersyukur dengan hidup yang kami jalani. Pun ketika tak sesuai keinginan, Emak tetap berprasangka baik kepada Sang Pencipta bahwa kehidupan yang Allah berikan sarat kenikmatan.
“Kita masih bisa bernafas, Nduk. Fisik kita masih lengkap, untuk melakukan banyak hal berguna. Tak baik mengeluh”, begitu selalu nasehat Emak ketika kami rewel atau mengeluh tentang kondisi kami.
Kami pun hanya diam. Mengiyakan apa yang dikatakan Emak agar tidak durhaka.
“Emak besok jualan lupis lagi?”, tanyaku.
“Insya Allah. Bantu Emak ya, Aini”, pinta emak, dan aku pun mengangguk cepat.
Ya, Emak memang penjual lupis untuk menghidupi kami. Jika dihitung secara logika, sebenarnya keuntungannya sangat sedikit. Bagiku memang sulit memahami bagaimana bisa Emak masih bisa menyekolahkan dan mencukupi berbagai kebutuhan kami.
“Itu berkah, Nduk. Kalau kita bisa hidup jujur dan banyak bersyukur pada Allah, Dia yang akan mencukupi semua kebutuhan kita.”
Sulit bisa memahami penjelasan Emak. Mungkin karena usiaku yang masih sangat muda. Hal yang tak pernah terlewatkan Emak adalah shalat lima waktu dan shalat malam. Sembahyang shalat lima waktu yang sering kulihat tepat waktu.
Nduk, jaga shalatmu. Dimanapun, kapanpun. Allah akan sayang, akan ridho. Hidup terasa ringan”, nasehat Emak di sela-sela membuat lupis.
Emak memang pandai membuat lupis karena sejak kecil membantu ibunya, atau nenek. Bahkan membantunya berjualan di pasar dan ketika nenek tidak lagi berjualan maka Emaklah yang menggantikannya. Sesudah menikah dengan Bapak pun, Emak tak berhenti berjualan lupis.
“Emak bersyukur dulu Bapakmu tidak melarang Emak berjualan lupis. Bapak senang dengan kesenangan Emak ini. Setidaknya ada jalan dari Allah untuk rezeki kita”, begitu cerita Emak yang tidak bosan mengenang Bapak.
Rengganis, adikku satu-satunya yang saat ini berusia enam tahun, paling suka lupis Emak. Hampir tiap hari makan, tapi tak pernah merasa bosan.
“Enak”, itu satu-satunya alasan yang tidak berubah selama ini kenapa sangat suka lupis Emak.
Suatu ketika Emak tidak membuat lupis karena memang sedang libur dan lelah. Seperti biasa Rengganis pun hanya dibelikan di pasar ketika minta, tapi tidak mau makan.
“Aku hanya mau lupis Emak”, rengeknya.
Mau tidak mau Emak membuatkan khusus hanya untuknya. Sejak saat itu, berjualan atau tidak, Emak selalu membuat lupis, hanya untuk Rengganis.
Pukul 3 dini hari, Emak terbiasa bangun. Shalat malam menjadi aktivitas pertama setelah bangun. Emak selalu mengajarkan untuk mengutamakan Sang Pencipta,
“Kalau kita mendahulukan yang punya hidup kita, Insya Allah kita juga akan diperhatikan dulu, Nduk”, itulah alasan Emak selalu mengutamakan shalatnya.
“Ya, Mak”, jawabku sambil menahan kantuk.
Aku melihat pagi ini Emak terasa berbeda, wajahnya terasa lebih segar dan bercahaya. Aku pikir itu karena Emak sering wudhu.
Emak biasa berangkat ke pasar pukul setengah 6 pagi, menyediakan beberapa potong lupis sebelum berangkat selagi Rengganis masih tidur. Setelahnya, aku pun bersiap-siap untuk sekolah sembari membangunkannya, untuk mandi dan bersiap-siap menyusul Emak.
Setelah kepergian Bapak, Emak berperan ganda, mencari nafkah dan mengurus kami. Adik sering ikut ke pasar untuk berjualan ataupun berbelanja bahan lupis. Aku mengantarnya menyusul Emak di pasar, sebelum berangkat ke sekolah yang letaknya memang berdekatan. Meski nenek masih ada dan menawarkan untuk merawat cucunya, namun Emak bersikeras bahwa anaknya adalah tanggung jawabnya.
“Anis sudah makan lupis Emak?”, begitu tanya Emak ketika melihat kami datang.
Rengganis pun mengangguk dan tersenyum, langsung duduk menempel di samping Emak. Dia memang sangat dekat dengan Emak.
“Berangkat ya, Mak. Assalamu’alaikum”, ucapku sambil pamit dan mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati, Nduk, yang rajin”, ucap Emak, dan aku masih melihat wajahnya yang sumringah seolah tanpa beban.
Di tengah-tengah pelajaran berlangsung, hatiku merasa tidak enak. Firasat buruk tiba-tiba muncul. Kenapa kepikiran Emak?
 Satu jam kemudian pintu diketuk. Laki-laki dengan hem putih, pakaian rapi. Guru kami pun keluar, dan mengobrol sebentar di luar kelas. Kelas tiba-tiba gaduh, seperti biasa jika tidak ada guru.
Kemudian masuk lagi guru kami, memanggilku,
“Nuraini, bisa ikut Bapak sebentar?”, hatiku semakin tidak karuan. Pasti terjadi sesuatu.
Benar saja, kabar duka pagi ini kudengar seperti firasat burukku. Emak kecelakaan ketika pulang dari pasar, dan saat ini di rumah sakit. Kami, aku dan laki-laki muda yang entah siapa, segera menyusul Emak ke rumah sakit membonceng motornya. Sepanjang perjalanan tak hentinya aku berdoa, disertai rasa khawatir yang sangat.
Kulihat seorang dokter wanita muda melihat kedatangan kami, dan tersenyum. Ia yang menangani Emak kami, begitu kata laki-laki muda yang mengunjungi guruku di sekolah tadi.
“Aini, bisa ikut dokter ya”, ucap laki-laki itu. Dokter itu pun berjalan di depanku menuju ruangan Emak dirawat.
Dari kejauhan, aku melihat adikku sedang duduk, ditemani seorang wanita muda. Rengganis langsung lari mendekapku begitu tahu kedatanganku. Menangis sekencang-kencangnya dalam dekapan. Aku menenangkannya dan meyakinkan bahwa Emak akan baik-baik saja.
“Anis tidak apa-apa?”, tanyaku, pun sambil menahan tangis, mengusap air mata di wajahnya. Aku bersyukur begitu mendengar penjelasan perawat bahwa Rengganis hanya luka lecet di tangan dan kakinya setelah diperiksa.
Aku melihat wanita muda itu mendekat,
“Maafkan aku. Aku yang tidak sengaja menabrak ibu kalian”, dan adik pun histeris dengan wanita itu. Aku hanya bisa memeluk adikku, entah apa yang akan kukatakan lagi, sementara aku pun tak dapat menahan sedihku.
“Allah...jaga Emak”, doaku dalam hati.
Tiba-tiba kulihat kegaduhan di ruangan ICU, tempat Emak ditangani. Aku mulai pasrah jika sesuatu yang buruk terjadi.
Dokter wanita yang tadi menyapaku, mendatangiku, dan memeluk kami.
“Yang sabar ya, Sayang”, kali ini aku tak dapat menahan lagi air mataku. Adikku kembali histeris, tiba-tiba hanya gelap dalam pandanganku.
Ketika membuka mata, aku sudah di rumah. Para tetangga sudah menyiapkan semuanya untuk pemakaman Emak.
Kulihat nenek mendatangiku, memelukku erat. Tak ada kata yang keluar.
Aku mencoba bangkit, mengambil air wudhu, hendak menyolatkan Emak. Adikku dalam gendongan kakek, masih sesenggukan. Lama kupandangi wajah Emak yang terlihat bersih dan tenang.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul 2, sudah saatnya kafan untuk ditutup. Aku meminta waktu beberapa menit untuk aku dan Emakku terakhir kalinya. Kali ini aku memandanginya cukup lama,
“Emak...” ucapku sambil mengusap tangannya yang hitam dan keriput. Kukecup keningnya untuk yang terakhir kali.
Mengantarnya menuju peristirahatan terakhir. Terduduk di samping tanah yang sudah bernisan dan mendoakannya. Rengganis hanya duduk diam bersandar di lenganku, masih dengan tangisannya. Aku memandanginya, ikut berurai air mata ketika melihatnya. Hanya bisa kupeluk dan kuusap kepalanya yang mungil di samping makam Emak.
“Kamu masih terlalu kecil kehilangan Bapak dan Emak, Anis”, ucapku dalam hati.
Kulepas pelukannya, dan dia hanya memandangku. Dengan matanya yang sembab dan sesenggukan, ia hanya berucap satu kalimat,
“Aku kangen lupis Emak”. Aku hanya memeluknya lagi, dan menangis keras. Tak tahu lagi harus menjawabnya apa untuk menenangkannya, juga menenangkan hatiku sendiri.

-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar