Setiap jiwa akan menemukan senjanya
Satu jiwa dengan jiwa yang lain terhubung dalam benang waktu
Tersusun dalam kepingan-kepingan kehidupan
Hingga tiba masanya, satu diantaranya akan pergi dan menghilang
***
Kami
bertiga tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Aku, Emak, dan adikku,
Rengganis. Hidup yang dibilang sangat kekurangan bagiku sejak bapak meninggal 3
tahun yang lalu, saat aku masih kelas 3 SMP.
Sangat
berbeda dengan Emak. Baginya, meski sangat sulit tapi senyumnya tak pernah
lepas ketika memandang kami. Aku tak pernah melihat Emak menangis sedih atau
mengeluh. Emak selalu bersyukur dengan hidup yang kami jalani. Pun ketika tak
sesuai keinginan, Emak tetap berprasangka baik kepada Sang Pencipta bahwa
kehidupan yang Allah berikan sarat kenikmatan.
“Kita
masih bisa bernafas, Nduk. Fisik kita
masih lengkap, untuk melakukan banyak hal berguna. Tak baik mengeluh”, begitu
selalu nasehat Emak ketika kami rewel atau mengeluh tentang kondisi kami.
Kami
pun hanya diam. Mengiyakan apa yang dikatakan Emak agar tidak durhaka.
“Emak
besok jualan lupis lagi?”, tanyaku.
“Insya
Allah. Bantu Emak ya, Aini”, pinta emak, dan aku pun mengangguk cepat.
Ya,
Emak memang penjual lupis untuk menghidupi kami. Jika dihitung secara logika,
sebenarnya keuntungannya sangat sedikit. Bagiku memang sulit memahami bagaimana
bisa Emak masih bisa menyekolahkan dan mencukupi berbagai kebutuhan kami.
“Itu
berkah, Nduk. Kalau kita bisa hidup
jujur dan banyak bersyukur pada Allah, Dia yang akan mencukupi semua kebutuhan
kita.”
Sulit
bisa memahami penjelasan Emak. Mungkin karena usiaku yang masih sangat muda. Hal
yang tak pernah terlewatkan Emak adalah shalat lima waktu dan shalat malam. Sembahyang
shalat lima waktu yang sering kulihat tepat waktu.
“Nduk, jaga shalatmu. Dimanapun,
kapanpun. Allah akan sayang, akan ridho. Hidup terasa ringan”, nasehat Emak di
sela-sela membuat lupis.
Emak
memang pandai membuat lupis karena sejak kecil membantu ibunya, atau nenek.
Bahkan membantunya berjualan di pasar dan ketika nenek tidak lagi berjualan
maka Emaklah yang menggantikannya. Sesudah menikah dengan Bapak pun, Emak tak
berhenti berjualan lupis.
“Emak
bersyukur dulu Bapakmu tidak melarang Emak berjualan lupis. Bapak senang dengan
kesenangan Emak ini. Setidaknya ada jalan dari Allah untuk rezeki kita”, begitu
cerita Emak yang tidak bosan mengenang Bapak.
Rengganis,
adikku satu-satunya yang saat ini berusia enam tahun, paling suka lupis Emak. Hampir
tiap hari makan, tapi tak pernah merasa bosan.
“Enak”,
itu satu-satunya alasan yang tidak berubah selama ini kenapa sangat suka lupis
Emak.
Suatu
ketika Emak tidak membuat lupis karena memang sedang libur dan lelah. Seperti
biasa Rengganis pun hanya dibelikan di pasar ketika minta, tapi tidak mau
makan.
“Aku
hanya mau lupis Emak”, rengeknya.
Mau
tidak mau Emak membuatkan khusus hanya untuknya. Sejak saat itu, berjualan atau
tidak, Emak selalu membuat lupis, hanya untuk Rengganis.
Pukul
3 dini hari, Emak terbiasa bangun. Shalat malam menjadi aktivitas pertama
setelah bangun. Emak selalu mengajarkan untuk mengutamakan Sang Pencipta,
“Kalau
kita mendahulukan yang punya hidup kita, Insya Allah kita juga akan
diperhatikan dulu, Nduk”, itulah
alasan Emak selalu mengutamakan shalatnya.
“Ya,
Mak”, jawabku sambil menahan kantuk.
Aku
melihat pagi ini Emak terasa berbeda, wajahnya terasa lebih segar dan
bercahaya. Aku pikir itu karena Emak sering wudhu.
Emak
biasa berangkat ke pasar pukul setengah 6 pagi, menyediakan beberapa potong
lupis sebelum berangkat selagi Rengganis masih tidur. Setelahnya, aku pun
bersiap-siap untuk sekolah sembari membangunkannya, untuk mandi dan
bersiap-siap menyusul Emak.
Setelah
kepergian Bapak, Emak berperan ganda, mencari nafkah dan mengurus kami. Adik
sering ikut ke pasar untuk berjualan ataupun berbelanja bahan lupis. Aku
mengantarnya menyusul Emak di pasar, sebelum berangkat ke sekolah yang letaknya
memang berdekatan. Meski nenek masih ada dan menawarkan untuk merawat cucunya,
namun Emak bersikeras bahwa anaknya adalah tanggung jawabnya.
“Anis
sudah makan lupis Emak?”, begitu tanya Emak ketika melihat kami datang.
Rengganis
pun mengangguk dan tersenyum, langsung duduk menempel di samping Emak. Dia
memang sangat dekat dengan Emak.
“Berangkat
ya, Mak. Assalamu’alaikum”, ucapku sambil pamit dan mencium tangannya.
“Wa’alaikumsalam.
Hati-hati, Nduk, yang rajin”, ucap
Emak, dan aku masih melihat wajahnya yang sumringah seolah tanpa beban.
Di
tengah-tengah pelajaran berlangsung, hatiku merasa tidak enak. Firasat buruk
tiba-tiba muncul. Kenapa kepikiran Emak?
Satu jam kemudian pintu diketuk. Laki-laki
dengan hem putih, pakaian rapi. Guru kami pun keluar, dan mengobrol sebentar di
luar kelas. Kelas tiba-tiba gaduh, seperti biasa jika tidak ada guru.
Kemudian
masuk lagi guru kami, memanggilku,
“Nuraini,
bisa ikut Bapak sebentar?”, hatiku semakin tidak karuan. Pasti terjadi sesuatu.
Benar
saja, kabar duka pagi ini kudengar seperti firasat burukku. Emak kecelakaan
ketika pulang dari pasar, dan saat ini di rumah sakit. Kami, aku dan laki-laki
muda yang entah siapa, segera menyusul Emak ke rumah sakit membonceng motornya.
Sepanjang perjalanan tak hentinya aku berdoa, disertai rasa khawatir yang
sangat.
Kulihat
seorang dokter wanita muda melihat kedatangan kami, dan tersenyum. Ia yang
menangani Emak kami, begitu kata laki-laki muda yang mengunjungi guruku di
sekolah tadi.
“Aini,
bisa ikut dokter ya”, ucap laki-laki itu. Dokter itu pun berjalan di depanku menuju
ruangan Emak dirawat.
Dari
kejauhan, aku melihat adikku sedang duduk, ditemani seorang wanita muda. Rengganis
langsung lari mendekapku begitu tahu kedatanganku. Menangis
sekencang-kencangnya dalam dekapan. Aku menenangkannya dan meyakinkan bahwa
Emak akan baik-baik saja.
“Anis
tidak apa-apa?”, tanyaku, pun sambil menahan tangis, mengusap air mata di
wajahnya. Aku bersyukur begitu mendengar penjelasan perawat bahwa Rengganis
hanya luka lecet di tangan dan kakinya setelah diperiksa.
Aku
melihat wanita muda itu mendekat,
“Maafkan
aku. Aku yang tidak sengaja menabrak ibu kalian”, dan adik pun histeris dengan
wanita itu. Aku hanya bisa memeluk adikku, entah apa yang akan kukatakan lagi,
sementara aku pun tak dapat menahan sedihku.
“Allah...jaga
Emak”, doaku dalam hati.
Tiba-tiba
kulihat kegaduhan di ruangan ICU, tempat Emak ditangani. Aku mulai pasrah jika
sesuatu yang buruk terjadi.
Dokter
wanita yang tadi menyapaku, mendatangiku, dan memeluk kami.
“Yang
sabar ya, Sayang”, kali ini aku tak dapat menahan lagi air mataku. Adikku
kembali histeris, tiba-tiba hanya gelap dalam pandanganku.
Ketika
membuka mata, aku sudah di rumah. Para tetangga sudah menyiapkan semuanya untuk
pemakaman Emak.
Kulihat
nenek mendatangiku, memelukku erat. Tak ada kata yang keluar.
Aku
mencoba bangkit, mengambil air wudhu, hendak menyolatkan Emak. Adikku dalam
gendongan kakek, masih sesenggukan. Lama kupandangi wajah Emak yang terlihat bersih dan tenang.
Waktu
sudah menunjukkan hampir pukul 2, sudah saatnya kafan untuk ditutup. Aku
meminta waktu beberapa menit untuk aku dan Emakku terakhir kalinya. Kali ini
aku memandanginya cukup lama,
“Emak...”
ucapku sambil mengusap tangannya yang hitam dan keriput. Kukecup keningnya
untuk yang terakhir kali.
Mengantarnya
menuju peristirahatan terakhir. Terduduk di samping tanah yang sudah bernisan
dan mendoakannya. Rengganis hanya duduk diam bersandar di lenganku, masih
dengan tangisannya. Aku memandanginya, ikut berurai air mata ketika melihatnya.
Hanya bisa kupeluk dan kuusap kepalanya yang mungil di samping makam Emak.
“Kamu
masih terlalu kecil kehilangan Bapak dan Emak, Anis”, ucapku dalam hati.
Kulepas
pelukannya, dan dia hanya memandangku. Dengan matanya yang sembab dan
sesenggukan, ia hanya berucap satu kalimat,
“Aku kangen lupis Emak”. Aku hanya memeluknya lagi,
dan menangis keras. Tak tahu lagi harus menjawabnya apa untuk menenangkannya,
juga menenangkan hatiku sendiri.
-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar