Sabtu, 07 April 2018

SINGLE NOT AVAILABLE

Setiap perempuan pasti memimpikan kehidupan yang baik untuk masa depannya. Pemahaman setiap orang tentang kehidupan yang baik memang relatif dan subyektif, namun sebagian besar menggunakan beberapa indikator seperti mendapatkan pasangan sesuai impian, mapan secara finansial, memiliki anak-anak yang sesuai harapan, karir dan pekerjaan yang bagus, memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan sekitarnya, sebagai tolok ukur pencapaian kehidupan yang baik.
Gambaran kehidupan tersebut dianut oleh sebagian besar orang yang menjadi patokan ideal, dan sebagian kecil orang pun memiliki tolok ukur sendiri bagaimana sebuah kehidupan baik itu tercapai. Seperti beberapa perempuan yang kukenal, dan bahkan aku sendiri. Kami tidak menuntut banyak hal seperti orang pada umumnya untuk bisa memiliki kehidupan yang baik. Bagi kami, cukup berarti bagi orang-orang yang disayangi dan membersamainya dalam kehidupan sudah menggambarkan kehidupan yang baik, bahkan kami menangguhkan komitmen. Kami single, but not available. Kami memandang kehidupan yang baik dari sudut pandang berbeda.
Ada banyak alasan untuk tetap “single”, seperti aku dan kedua sahabatku. Dua alasan terbesarku untuk menunda menikah adalah orang tua dan kakakku. Secara logika, aku ingin memiliki pasangan seperti teman-teman yang lain, berkeluarga, memiliki anak-anak yang lucu, pasangan yang mendukung. Akan tetapi secara hati aku tidak sanggup melakukan itu karena aku masih ingin mempersembahkan waktu dan hidupku untuk berbakti pada orang tua. Di masa pensiun, fisik mereka sudah sangat lemah dan juga sering sakit, terutama ibu yang terkena jantung.
Aku mempertimbangkan bahwa dengan pernikahan mungkin aku akan disibukkan dengan keluarga, pasangan dan anak-anak. Jika saat ini aku masih sendiri akan sangat mungkin menggunakan waktuku secara totalitas untuk menjaga orang tua dan kakakku. Selain itu, belum tentu jika aku menikah, pasangan akan selalu rela memberikan waktuku untuk orang tua dan kakakku.
Sahabatku pun memilih jalan hidupnya sendiri dengan tetap menjadi single, dengan membesarkan keempat anaknya. Pernikahannya yang berusia 16 tahun tidak lagi dapat dipertahankan. Kekerasan rumah tangga yang membuatnya menggugat cerai untuk menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya. Tanpa sepengetahuan siapapun dan hanya orang tua, ia berjuang dengan mengeluarkan uang tabungan yang digunakan untuk membayar pengacara demi mendapatkan kebebasan. Pengadilan pun memutuskan untuk mengabulkan pengasuhan anak-anak tetap di tangannya. Hal itu membuatnya lega.
Masalah belum selesai dengan putusan pengadilan. Ancaman dari mantan suaminya terus berlangsung, yang memaksanya untuk mencari tempat aman dan bersembunyi sementara waktu. Tidak banyak yang tahu dimana mereka tinggal, bahkan rekan kerja di tempatnya mengajar. Semua tersimpan aman bertahun-tahun, yang akhirnya beberapa sahabat dekat mengetahui permasalahannya. Sebagian kecewa, namun sebagian tetap menghormati dengan keputusannya. Bahkan menawarkan untuk mencarikan pasangan hidup yang baru. Akan tetapi ia menolaknya, bukan karena tidak membutuhkan. Trauma dan rasa tidak aman akan ancaman mantan suaminya membuatnya berpikir ulang untuk menerima seseorang menjadi bagian hidupnya.
Hal lain yang membuatnya tetap single adalah pertimbangan penerimaan anak-anaknya yang belum tentu setuju dengan pilihannya. Luka mendalam yang diterima anak-anaknya membuatnya lebih memilih menyembuhkan hati anak-anaknya. Sendirian membesarkan anak-anak tidaklah mudah, namun ia sudah memilih untuk mengesampingkan keegoisannya dengan memberikan seluruh waktu dari sisa hidupnya untuk anak-anaknya. Prioritas yang menurutnya tepat untuk dijalani, menjadi single dan membesarkan anak-anaknya dengan hatinya.
Tidak jauh berbeda dengan sahabatku satunya. Kekecewaan karena penelantaran pasangannya memutuskan untuk menjalani hidup dengan membesarkan kedua putrinya sendirian. Ibunya yang stroke menjadi tambahan beban dalam hidupnya. Merawat tiga orang dengan perhatian khusus tanpa dukungan sosial dari siapapun memang berat, namun ia juga tidak yakin jika dengan mempertahankan dan memiliki pasangan dapat menyelesaikan permasalahan. Maka ia merelakan hidupnya untuk menjalani tanpa pasangan, memilih untuk tidak terikat dengan seseorang.
Kami hanya sebagian kecil gambaran dari para perempuan yang berjuang untuk orang-orang yang kami cintai dan hormati. Kami tetap memperjuangkan kehormatan sebagai perempuan, ibu, maupun istri, dan kami hanya available untuk yang harus kami jaga dan lindungi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar