Setiap perempuan pasti memimpikan
kehidupan yang baik untuk masa depannya. Pemahaman setiap orang tentang kehidupan
yang baik memang relatif dan subyektif, namun sebagian besar menggunakan beberapa
indikator seperti mendapatkan pasangan sesuai impian, mapan secara finansial,
memiliki anak-anak yang sesuai harapan, karir dan pekerjaan yang bagus,
memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan sekitarnya, sebagai tolok ukur pencapaian
kehidupan yang baik.
Gambaran kehidupan
tersebut dianut oleh sebagian besar orang yang menjadi patokan ideal, dan
sebagian kecil orang pun memiliki tolok ukur sendiri bagaimana sebuah kehidupan
baik itu tercapai. Seperti beberapa perempuan yang kukenal, dan bahkan aku
sendiri. Kami tidak menuntut banyak hal seperti orang pada umumnya untuk bisa
memiliki kehidupan yang baik. Bagi kami, cukup berarti bagi orang-orang yang
disayangi dan membersamainya dalam kehidupan sudah menggambarkan kehidupan yang
baik, bahkan kami menangguhkan komitmen. Kami single, but not available. Kami memandang kehidupan yang baik dari
sudut pandang berbeda.
Ada banyak alasan untuk
tetap “single”, seperti aku dan kedua
sahabatku. Dua alasan terbesarku untuk menunda menikah adalah orang tua dan
kakakku. Secara logika, aku ingin memiliki pasangan seperti teman-teman yang
lain, berkeluarga, memiliki anak-anak yang lucu, pasangan yang mendukung. Akan
tetapi secara hati aku tidak sanggup melakukan itu karena aku masih ingin
mempersembahkan waktu dan hidupku untuk berbakti pada orang tua. Di masa
pensiun, fisik mereka sudah sangat lemah dan juga sering sakit, terutama ibu
yang terkena jantung.
Aku mempertimbangkan
bahwa dengan pernikahan mungkin aku akan disibukkan dengan keluarga, pasangan
dan anak-anak. Jika saat ini aku masih sendiri akan sangat mungkin menggunakan
waktuku secara totalitas untuk menjaga orang tua dan kakakku. Selain itu, belum
tentu jika aku menikah, pasangan akan selalu rela memberikan waktuku untuk
orang tua dan kakakku.
Sahabatku pun memilih jalan
hidupnya sendiri dengan tetap menjadi single,
dengan membesarkan keempat anaknya. Pernikahannya yang berusia 16 tahun tidak
lagi dapat dipertahankan. Kekerasan rumah tangga yang membuatnya menggugat cerai
untuk menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya. Tanpa sepengetahuan siapapun dan
hanya orang tua, ia berjuang dengan mengeluarkan uang tabungan yang digunakan
untuk membayar pengacara demi mendapatkan kebebasan. Pengadilan pun memutuskan
untuk mengabulkan pengasuhan anak-anak tetap di tangannya. Hal itu membuatnya
lega.
Masalah belum selesai
dengan putusan pengadilan. Ancaman dari mantan suaminya terus berlangsung, yang
memaksanya untuk mencari tempat aman dan bersembunyi sementara waktu. Tidak
banyak yang tahu dimana mereka tinggal, bahkan rekan kerja di tempatnya
mengajar. Semua tersimpan aman bertahun-tahun, yang akhirnya beberapa sahabat dekat
mengetahui permasalahannya. Sebagian kecewa, namun sebagian tetap menghormati
dengan keputusannya. Bahkan menawarkan untuk mencarikan pasangan hidup yang
baru. Akan tetapi ia menolaknya, bukan karena tidak membutuhkan. Trauma dan
rasa tidak aman akan ancaman mantan suaminya membuatnya berpikir ulang untuk
menerima seseorang menjadi bagian hidupnya.
Hal lain yang
membuatnya tetap single adalah
pertimbangan penerimaan anak-anaknya yang belum tentu setuju dengan pilihannya.
Luka mendalam yang diterima anak-anaknya membuatnya lebih memilih menyembuhkan
hati anak-anaknya. Sendirian membesarkan anak-anak tidaklah mudah, namun ia
sudah memilih untuk mengesampingkan keegoisannya dengan memberikan seluruh
waktu dari sisa hidupnya untuk anak-anaknya. Prioritas yang menurutnya tepat untuk
dijalani, menjadi single dan
membesarkan anak-anaknya dengan hatinya.
Tidak jauh berbeda
dengan sahabatku satunya. Kekecewaan karena penelantaran pasangannya memutuskan
untuk menjalani hidup dengan membesarkan kedua putrinya sendirian. Ibunya yang stroke menjadi tambahan beban dalam
hidupnya. Merawat tiga orang dengan perhatian khusus tanpa dukungan sosial dari
siapapun memang berat, namun ia juga tidak yakin jika dengan mempertahankan dan
memiliki pasangan dapat menyelesaikan permasalahan. Maka ia merelakan hidupnya untuk
menjalani tanpa pasangan, memilih untuk tidak terikat dengan seseorang.
Kami hanya sebagian kecil gambaran dari para perempuan
yang berjuang untuk orang-orang yang kami cintai dan hormati. Kami tetap
memperjuangkan kehormatan sebagai perempuan, ibu, maupun istri, dan kami hanya available untuk yang harus kami jaga dan
lindungi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar