Senin, 30 April 2018

REVIEW NOVEL “JALAN PULANG”

Novel ini ditulis oleh Jazuli Imam (Mas Juju, yang merupakan pemilik kedai Djelajah di Yogyakarta) yang juga diterbitkan sendiri oleh penerbit miliknya dengan nama Penerbit Indie Djeladjah Pustaka dengan jumlah halaman sebanyak 300 lembar. Mengisahkan tentang sepasang, El dan Sekar, pendaki dan petualang, dan teman-temannya seperti Mas Dewo, Blankon, Kencing, Pejoh, dan teman-teman pendaki lainnya yang masih memegang idealisme dan anti kapitalisme.



Novel ini mengangkat kisah mereka (sebagian saya mengenal mereka), tentang penulis sendiri dan para sahabat di Djelajah Yogyakarta (tepatnya di Jalan Kaliurang, samping Perumahan Banteng 3) yang dengan idealisme dan anti kapitalis bergerak dalam dunia literasi, terutama El dan Sekar. Sekar dan El yang memiliki hubungan pribadi selama beberapa tahun, dalam perjalanan kisahnya, Sekar ditinggalkan oleh El dan hanya menyisakan sebuah surat panjang tanpa meninggalkan clue kemana perginya, pesan tentang kemerdekaan, “Dan sebagaimana sumpah kita sebagai yang merdeka, Nona. Aku, kamu, menolak tunduk pada apa-apa selain Allah”. Tidak hanya Sekar yang kehilangan, bahkan para sahabatnya pun merasakan kehilangan. Kehilangan yang sangat, yang cukup membuat Sekar kehilangan dirinya bertahun-tahun, mengobrol dengan dirinya sendiri dengan bayangan El dalam benaknya. Pada akhirnya, titik balik dimulai, Sekar memutuskan untuk “pulang”, menjadi dirinya sendiri seperti saat sebelum bersama El, menjadi dirinya sendiri setelah sebelumnya “hilang” ditelan rasa kehilangan. Djelajah, menjadi titik balik Sekar mengawali perjalanan “pulangnya”.

Saya mengambil sudut pandang bukan tentang hubungan pribadi El dan Sekar (meski disini menjadi tokoh utama), tapi kegiatan El, Sekar, dan lingkup teman-temannya yang berjuang dalam menggerakkan buku sebagai salah satu gerakan positif yang mereka perjuangkan.

Mengutip motto di Djelajah, “Kejahatan dan kesia-siaan ada sebab manusia tidak sibuk dengan kopi, buku, dan cinta”. Kopi, buku, dan cinta, ketiganya adalah simbol. Kopi sebagai simbol guyub, lingkaran, musyawarah, atau interaksi-interaksi yangg baik lainnya. Banyak sekali kejahatan dan perbuatan yang sia-sia yang bermula dari salah paham, kurang ngobrol, kurang ngopi bareng. Sebuah masalah kalau dibicarakan lewat layar kaca, telepon, mimbar, atau sekat lainnya berbeda jika dibicarakan sambil minum kopi bersama.

Buku, pun sebuah simbol. Orang bijak pernah berkata tentang ini, bahwa semakin banyak yang seseorang baca maka semakin merasa tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, seseorang menjadi lebih bijak dan mampu untuk menahan dan memproklamirkan kebenaran-kebenaran yang diyakini, sebab punya kerendahan hati untuk merasa tidak tahu apa-apa. Maka tidak jarang jika orang yang kolot atau berpikir sempit dan dangkal terhadap suatu hal, sering dalam bahasa gaul dikatakan pulangnya kurang malam, mainnya kurang jauh, bacaannya kurang banyak.

Cinta, konsep di Djelajah adalah cinta universal. Termasuk dominan disana adalah kecintaan alam dan kemanusiaan. Cinta adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan di dunia ini.

Sekar, pendaki perempuan yang cukup keras kepala, dengan idealisme kuat, menentang kapitalisme. Ia menjadi tokoh perempuan yang tangguh. Pun dengan Mas Dewo, pemilik Djelajah yang sama-sama peduli dengan kemiskinan rakyat. Sebagai penulis dan penggerak literasi cukup menyayangkan royalti bagi penulis yang hanya berapa persen, sementara keuntungan paling besar adalah toko, yang dianggap mereka sebagai monster, mencaplok toko-toko kecil sehingga tidak mampu berkembang. Inilah yang mendasari penerbit indie, tanpa melibatkan toko dan pemasaran secara online.

Gerakan literasi dalam novel ini banyak dilakukan di jalur pendakian, misalnya mendirikan rumah baca di jalur pendakian Merbabu (lereng Merbabu, tepatnya di dusun Krakas), yang juga didirikan oleh Sekar, El, Mas Dewo, dan lainnya. Idealisme juga terlihat dari gambaran eksploitasi penambangan pasir Merapi, baik yang legal maupun ilegal dimana dampak dan rasanya sama saja bagi masyarakat secara dominan, mudharat, dan kekesalan. Hingga saat ini, gerakan literasi ini tetap berjalan di berbagai tempat, dilanjutkan oleh masyarakat itu sendiri setelah mendapatkan edukasi dari Mas Dewo dan teman-temannya. Bahkan di Djelajah sendiri penulis benar-benar menyediakan beberapa rak buku yang bisa dibaca sambil ngopi atau menu lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar