Minggu, 31 Desember 2017

MEMBANGUN JEMBATAN

Dalam kehidupan, kita tidak lepas dari hubungan dengan manusia lain, bahkan makhluk hidup lainnya. Itu sudah hukum manusia sebagai makhluk sosial. Saling membutuhkan, saling terhubung. Saling mengisi, saling melengkapi. Sebuah perjalanan manusia yang harus dipenuhi hingga ujung usia.

Pun saat ini. Perjalananku sejauh 389 km dari Malang menuju Jogja adalah bagian dari itu. Aku menamakannya dengan "membangun jembatan". Ini adalah caraku membuka gerbang kehidupan untuk generasiku mendatang. Jika kelak aku tidak ada, anak-anakku akan paham bahwa warisan penting bukanlah harta, tapi aku menyediakan jalan untuk mencapai lebih dari itu.

Kelak, anak-anakku juga akan paham, bagaimana mereka harus mendidik anak-anaknya dengan jalan membngun jembatan. Jembatan itulah penghubung satu generasi dengan generasi lainnya, terkoneksi melalui yang namanya silaturahmi.

Malang, 31 Desember 2017
Di penghujung tahun, penghujung untuk menepi dan menyepi


***
Dalam suatu pernikahan, setiap orang pasti menginginkan hubungan yang harmonis dan langgeng hingga akhir usia. Akan tetapi jalan mulus kehidupan tidak selalu berpihak pada setiap impian itu. Akhir pernikahan tanpa maut menjadi sebuah mimpi buruk, menyisakan beban tersendiri dalam lingkungan sosial yang diselami. Sebagian orang yang mengalami akhir pernikahan dengan perceraian menarik diri dari kehidupan sosial seperti teman, tempat kerja, bahkan keluarga. Tidak sedikit yang berjuang dengan mengabaikan status demi kelangsungan hidupnya dan anak-anaknya pasca perceraian.
Hal yang pasti adalah setiap pasangan yang memutuskan bercerai harus memahami konsekuensi yang dihadapi kemudian, entah untuk dirinya dan terutama untuk anak-anaknya. Beban psikologis yang dirasakan anak-anak dengan kehilangan keseimbangan kehidupan, penerimaan masyarakat yang menurun dan menilai negatif anak dengan keluarga broken home, atau kehilangan potongan cerita tentang kehidupan keluarga seperti keluarga normal lainnya. Gangguan psikologis yang dihadapi dari ibu yang bercerai juga rentan ditularkan kepada anak, terlebih jika sang ibu harus bekerja, sementara anak-anak menuntut perhatian namun tidak terpenuhi maka anak hanya akan mencari perhatian di luar. Jika tidak terkontrol maka akan mencari pelarian negatif.
Bagaimanapun sebuah masyarakat di dunia timur yang dikenal santun dan beradab masih memandang tabu sebuah perceraian. Perceraian akan menjadi bahan gunjingan bagi para ibu yang merasa memiliki kesempurnaan hidup seperti suami yang mendukung penuh, anak-anak yang baik, finansial yang tercukupi. Inilah sanksi sosial terberat yang bisa dirasakan seorang perempuan yang bercerai dan menjadi “ancaman” baginya dan anak-anak di mata masyarakat.
 Tapi tidak semuanya, sebagian perempuan tangguh yang berada di luar sana terbukti mampu berjuang mengatasi masalah pasca perceraian. Mereka memutuskan mengabaikan berbagai “ancaman” tersebut dan memilih menentukan skala prioritas demi kelangsungan hidup sehingga layak dipandang sebagai perempuan terhormat. Semuanya tidak mudah dan berat dilalui, namun para perempuan itu bisa dan mampu membuktikan diri. Mereka tidak menutup diri, tetap menjalin hubungan baik dengan berbagai karakter manusia dalam lingkungan sosial karena menyadari bahwa ia adalah makhluk sosial. Bahkan masih tetap menjalin hubungan baik dengan mantan suami dan keluarganya. Ini yang kualami dan kujalani.
Kebesaran jiwa, penerimaan diri, berdamai dengan masalah, dan mengembalikan semuanya pada Tuhan adalah kunci untuk mendewasakan diri. Perlu memandang jauh ke depan untuk dapat melihat keuntungan dan kerugian dengan mengambil langkah-langkah itu. Sebagian besar masih mempertanyakan, “untuk apa bersusah payah menjaga hubungan dengan orang yang telah menyakiti?”, atau komentar dengan nada negatif, “kurang kerjaan!”. Akan tetapi ada juga yang merasa surprise, “kok bisa?”, karena menyadari bahwa tidak semua orang bisa.
Kenyataannya hal itu bisa terjadi. Tetap menjaga hubungan baik dengan mantan suami dan keluarganya. Pengalamanku membuktikan bahwa langkah itu justru tidak menurunkan harga diri, juga tidak dianggap remeh oleh keluarga mantan suami. Satu-satunya alasan mempertahankan hubungan baik itu adalah menjadi jembatan bagi anak-anak kelak untuk tetap mengenal dua keluarga yang pernah bersatu. Dengan langkah ini pula anak-anak tetap dapat mendapatkan dua kehidupan yang pernah dijalani, kehidupan dari sang ayah juga dari sang ibu. Inilah maksud “membangun jembatan” itu, membangun dua kehidupan meskipun tidak lagi bersama dan tetap terhubung dengan tujuan anak-anak agar mendapatkan dua sisi dengan seimbang.
Tidak ada yang tidak mungkin. Komunikasi yang baik, berbagi tugas pengasuhan, dan mengenalkan anak-anak tentang keluarga dapat membantu anak-anak mengurangi beban psikologis. Kesalahan cukup pada dua pihak dewasa, orang tua. Anak hanya perlu mendengarkan dan menjalani kehidupan setelahnya tanpa berkurang satu pun hak-haknya, bukan lagi sebagai korban. Satu hal yang paling penting adalah, kami tidak perlu mengemukakan alasan perpisahan di depan anak-anak. Hal ini untuk menghindari timbulnya kebencian pada salah stau orang tua karena suatu kesalahan yang menyebabkan perceraian.
Hal yang sering dilakukan adalah mengabaikan sentimen negatif dari masyarakat nyinyir, hanya untuk mempertahankan kehidupan yang paling penting yaitu kehidupan para generasi penerus. Maka dari itu perlu merapat pada orang-orang yang memiliki dukungan sosial yang sehat, yang memberikan support baik materi maupun non materi, bukan orang-orang yang tidak produktif yang hanya bisa menggunjingkan kesalahan orang.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar